Suatu kali ada yang pernah menyeletuk pada saya: “You don’t need to be happy anymore. You are married, you are happy already”
Saya jadi mikir. Begitukah? Jadi menikah adalah patokan kebahagiaan untuk seseorang?
Mungkin itulah pandangan teman saya itu terhadap kebahagiaan. Terlepas dari benar atau tidaknya pendefinisian dia terhadap kebahagiaan. Ya well.. I am happy.
But sometimes I still pursue for another happiness.
Saya kadang merasa sedikit iri pada teman-teman saya yang bisa melanjutkan sekolahnya ke luar negeri, belajar di negeri orang, sambil jalan-jalan, melihat dunia lain, eh dunia baru yang luas, bergaul dengan orang baru dari berbagai negara. That’s a great happiness that not everyone can feel.
Di sisi lain, ada orang berpandangan kebahagiaan adalah di saat kamu bisa memiliki pendapatan besar dari pekerjaan bagus dan perusahaan bergengsi. That’s pride and happiness.
Lainnya, bahagia adalah ketika orang-orang melihat kamu sebagai seseorang yang sukses, dikenal masyarakat, memiliki popularitas yang baik di mata orang-orang.
Bahagia pun didekatkan dengan segala hal berbau keduniawian, yang terlihat dari luar secara kasat mata, padahal sebenarnya bersifat semu saja.
The point is. Setiap orang selalu merasa bahwa definisi bahagia adalah “milik orang lain”. Semua yang ada pada orang lain adalah kebahagiaan. Sampai-sampai lupa akan nikmat yang ia miliki (getok kepala sendiri).
Hingga akhirnya people always pursue their happiness, while they don’t realize that the happiness is in their hands. So why should bother to looking for happiness?
My definition of happiness is… my life.
What’s yours?
ah, namanya orang mon, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.. 😀
Eniwei, saya setuju kalau kebahagiaan itu privilese tiap orang, di jalan hidup masing-masing. Tapi buat saya, masih ada satu tambahannya biar bisa “happiness is my life”. Yaitu saat kita punya tujuan.
Kebahagiaan apa sih yang lebih besar dari menikmati perjalanan dan bisa sampai tujuan dengan selamat? 🙂
i’m with you bung tedjo,, setujuhhhh 🙂
bener, tujuan kita bukan hanya duniawi semata. The real life is our destination