In every relationship, we’ll find difference between the lovers. Whether you like it or not.
Yah, namanya juga manusia, kalau bisa nurut dan sejalan terus mah, mungkin dia bukan manusia biasa. Bisa diperiksa dia robot apa bukan, pake batre apa ga, heuhue. Konon katanya perbedaan justru membuat suatu hubungan menjadi indah. Memang ga mungkin membuat dua insan berbeda kromosom ini selalu sepikiran, namun seninya adalah bagaimana bisa membuat satu kesepahaman antara kedua belah pihak. That’s what make a relationship grow stronger (jiyeehh sok bijak).
Saya yakin, semua manusia yang pernah membina hubungan dengan manusia lainnya (ya masa sama embe, kalau sama embe saya gatau ceritanya mungkin lain.) pasti pernah mengalami perbedaan pendapat dan friksi-friksi, baik kecil ataupun besar. Apakah itu insan yang baru menjalin kisah kasih di sekolah yang baru berumur 2 bulan atau bahkan yang sudah berumah tangga selama 20 tahun. Sisi egoisme dari kedua belah pihak pasti ada. Tapi kalau keduanya bisa mengendalikan si kuda liar ego ini dengan tepat, duh damainya hidup :).
Contoh bagusnya saya dapat di salah satu episode How I Met Your Mother season 6, eps.20. Ketika itu Ted dan Lily menjalani tipe hubungan yang berkebalikan (dengan pasangannya masing-masing). Ted dan Zoey berada dalam posisi “challenging relationship”. Di mana selalu saja ada perbedaan pendapat antara keduanya, mulai dari hal remeh-temeh kayak nentuin toping di pizza, siapa duluan yang nutup telepon (duh peliss deh itu ya ge penting amet) sampai ke hal besar menyangkut pekerjaan mereka. Sedangkan Lily dan Marshall menjalani “supportive relationship”. Mereka selalu kompak, seiya sekata, dan saling mendukung.
Pada mulanya mereka yakin bahwa tipe hubungan yang mereka jalani adalah yang terbaik.
Ted: Some of us want a partner who challenge us to grow and evolve
Lily: Your relationship sounds exhausting
Ted: Maybe yours is a bit lazy
Masalah lalu muncul ketika keduanya justru merasa tertekan dengan tipe hubungannya itu. Ted merasa Zoey selalu menentangnya dan Lily merasa lelah terus mendukung Marshall, bahkan ketika Marshall memutuskan untuk resign dari perusahaan bergaji besar (tapi ga ramah lingkungan) dan kembali ke jalan yang dia inginkan -menjadi pengacara yang membela lingkungan hidup-, walaupun pada awalnya malah ga dibayar, heuheu. Dengan sabar Lily selalu bilang: Baby, you have my full support
Di satu titik Lily merasa udah ga tahan dan ingin memberontak. Tapi entah bagaimana caranya, dengan pengendalian diri yang baik akhirnya Lily bisa menguasai dirinya dan kembali mendukung suaminya. Ya, namanya kebaikan pasti balesannya kebaikan juga. Marshall juga merasa Lily udah begitu suportif dan sabar untuknya, maka dia akan lebih berusaha untuk dapet kerjaan yang baik untuk menghidupi keluarganya.
Akhirnya Ted pun mengakui. The support feels warm and wonderful inside.
Yap, I admit it. Walaupun kita berbeda pikiran dan pendapat, bukan berarti kita ga bisa saling mendukung. Kadang butuh sedikit kesabaran aja untuk menyesuaikan irama langkah kita. Just the words: “I support you”, “I beside you to face all obstacles” , “I know you can do it”, “Just follow your heart, and I am with you” dan sederet kalimat sederhana lainnya bisa membuat besar hati pasangan kita. Oya gak cuma kalimat lho, juga harus disusul dengan sikap suportif kita. Memang ga mudah, menekan ego dan melapangkan hati. Tentu efek positifnya akan balik lagi ke kita, berkali-kali lebih baik. Kita cuma perlu sedikit mundur satu langkah untuk bisa maju bersama 100 langkah. Bersama kita bisa! (kayak kampanye yak).
Epilog: Kids, some couples always support each other, and some couples always challenge each other. But is one really better than the other? Yes, support is better. Way better. But I’d have to learn that the hard way.
And I still learn it 🙂 *dengan harapan si suami baca ini tulisan dan ikut learn juga, hahha –> ini namanya pengen timbal balik yang instan*
Of course support is better. Challenges are for rivals and not spouse.