Kisah ini udah sering banget saya denger. Tiap denger lagi kisahnya selalu jadi pengingat buat saya karena memang cerita kayak gini sering banget kejadian, sama saya, sama sahabat saya, sama orang-orang di sekitar saya. Mungkin kamu juga udah sering denger. Kisah ini dari Luqmanul hakim, seseorang yang memiliki kisah hidup penuh dengan hikmah. Namanya bahkan menjadi nama salah satu surat di dalam AlQuran. Cerita ini mengenai Luqman, anaknya dan seekor keledai.
Pada suatu ketika Luqman melakukan perjalanan bersama anaknya. Luqman menaiki seekor keledai dan anaknya mengikuti dengan berjalan kaki. Ketika mereka bertemu dengan orang lain dalam perjalanan, orang itu pun berkata, “Lihatlah orang tua itu, tidak punya perasaan. Ia menaiki keledai sedangkan anaknya dibiarkan berjalan kaki”.
Mendengar hal tersebut, kemudian Luqman turun dari keledainya dan menyuruh anaknya untuk menaikinya. Beberapa waktu kemudian mereka kembali bertemu orang, mereka berkata,”Lihatlah anak itu, kurang ajar sekali. Ia enak-enak naik keledai, sedangkan bapaknya dibiarkan berjalan kaki”.
Terkejut dengan perkataan orang, kemudian Luqman menyuruh anaknya menaiki keledai bersamanya. Kemudian mereka bertemu lagi dengan oranglain, yang berkata, “Kejam sekali mereka, keledai sekecil itu dinaiki oleh dua orang”.
Sekali lagi mereka merubah posisi, sekarang keduanya berjalan di samping si keledai. Setelah beberapa saat, mereka kembali bertemu seseorang, “Betapa bodohnya mereka, punya keledai tapi tidak dinaiki”.
Setiap apapun yang mereka kerjakan tidak pernah lepas dari omongan dan komentar orang. Seems so human kan yaa? Serinnggg banget kita dalam keadaan seperti itu, atau bahkan kita yang mengomentari orang lain, heuheu.. Tapi mendinglah kita jadi posisi yang dikomentari daripada yang ngomentarin. Kalo ngomentar yang jelek-jelek di belakang, jadi ghibah. Tapi kalo ngomentar di depan sama orangnya ya bikin dia tersinggung.
Mungkin dari situlah muncul moms war yang sekarang lagi kekinian yak. Working mom vs Stay at home mom, ASI vs sufor, normal vs sesar, dot vs no dot, pospak vs popok kain, pake bibik vs no bibik, dll dll.. Yang kalo udah tersulut tuh bikin semua jadi panas. Emang kita siapa sih berhak ngomenin pilihan mereka? Kayak kita tahu aja yang mereka jalanin seperti apa, kayak yang kita tahu aja yang terbaik buat mereka. Eh tapi kok gak ada dads war ya? hihi.. Mungkin karena bapak-bapak lebih masa bodoh kali ya, kan mereka lebih banyak pake logika daripada perasaan. Bagus sih.
Oiya lanjutan kisahnya Luqman dapat mengambil hikmah dari komentar orang-orang tersebut. Dirinya kemudian menasehati anaknya tentang berbagai sikap manusia dan sesuatu yang diucapkannya.
“Sesungguhnya tiada terlepas seseorang itu dari percakapan manusia. Maka orang yang berakal tiadalah dia mengambil pertimbangan melainkan kepada Allah SWT semata. Barang siapa mengenal kebenaran, itulah yang menjadi satu-satunya pertimbangannya.”
Hikmah yang bisa diambil dari kisah ini adalah bahwa sekuat apapun manusia berusaha, pilihan apapun yang manusia tempuh, kondisi apapun yang dialami manusia, tetap gak akan bisa memuaskan semua orang. Cukup saja bersandar atas keridhoan Allah dan tentunya apapun yang kita jalani/kita pilih adalah untuk kebaikan, In sya Allah.
Kalo udah kayak gitu mending tutup kuping aja dan menebalkan muka. Biarlah guguk menggonggong kafilah berlalu.
Dan tentunya kita juga (mungkin) jadi bagian dari si komentator-komentator itu. Kalo udah sadar kayak gitu, mending tutup mata aja sama tutup mulut. Biarlah urusan dia, dia yang tahu, dan doakan yang terbaik untuknya.
Wallahu a’lam bishawab
1 thought on “We Can’t (and Never) Satisfy Everybody”