Artikel ini dipersembahkan untuk Kang Ikhwan Alim, yang sejak Desember tahun lalu mengajak saya untuk barter tulisan, yang kemudian akan diposting di blog. Saya menyanggupi sesuai dengan rekues tema dari beliau. Janji adalah janji yang harus ditepati, meskipun terlambat, ini dia saya tuliskan juga.
Perbedaan Kuliah di Indonesia dan di Belanda
Kalau ditanya apa bedanya kuliah di Belanda dan Indonesia tentu akan BEDA. Akan banyak pula poin yang terurai dari tulisan saya ini mengenai perbedaan tersebut, tentunya itu subjektvitas saya pribadi. Perspektifnya akan sempit karena saya hanya mengambil merasakan kuliah di salah satu jurusan dan di salah satu univ di Belanda. Padahal banyaaak sekali jurusan/fakultas yang tersebar di kota-kota Belanda. Beda pengalaman, beda pribadi, beda komunitas, dan beda-beda lainnya akan menghasilkan respon yang berbeda.
Oleh karena itu, saya melemparkan pertanyaan singkat pada teman-teman saya di Belanda yang sedang/pernah menjalani perkuliahan di Belanda. Kemudian semuanya saya rangkum di sini.
- Tantangan Berbahasa
Pengalaman dan tantangan yang didapat tentunya lebih banyak ketika menjalani perkuliahan di Belanda, salah satunya dari segi bahasa. Untungnya di Belanda banyak program studi yang dilaksanakan dalam Bahasa Inggris. Jadi mahasiswa asing tidak perlu menguasai Bahasa Belanda dulu untuk bisa kuliah di sini, Bahasa Inggris pun sudah cukup. Namun, tetap saja mahasiswa harus punya effort lebih besar dalam menempuh perkuliahan. Seperti dalam menyerap materi kuliah, mendengarkan dosen ketika di kelas, atau saat membaca paper dan textbook. Kuliah di Indonesia ya tentu kita sudah nyaman menikmati buku kuliah, slide dosen, modul-modul dengan Bahasa Indonesia. Walaupun ada juga beberapa textbook Bahasa Inggris yang digunakan, tapi tidak untuk semua mata kuliah. Di Belanda, ya harus siap menghadapi tantangan bahasa internasional. Tidak semua orang lho diberikan kelebihan untuk mahir berbahasa inggris. Untuk bisa menembus skor IELTS/TOEFL yang disyaratkan oleh universitas pun perjuangannya udah lumayan. Ketika mempraktekan di lapangan lebih lagi perjuangannya. Terutama dalam menulis report/paper dalam Bahasa Inggris. Tidak semudah menulis puisi gombal untuk kekasih hati. Menulis artikel dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai EYD saja masih sering salah apalagi dalam Bahasa Inggris? Belum lagi kemampuan speaking yang mumpuni harus diasah. Lidah yang medok dengan logat bahasa daerah yang kental harus dibiasakan lentur dengan casiciscus-nya Bahasa Inggris. Apalagi jika ada harus presentasi di depan umum. Jantung berdebar lebih cepat, takut belepotan ketika bicara. Nanti yang terjadi apa yang keluar dari mulut berbeda dengan yang dipikirkan di kepala.
- Etos kerja
Perbedaan budaya dan etos kerja juga terasa berbeda di Tanah Londo. Di Belanda, orang-orangnya suka berdiskusi open mind. Etos kerja orang Belanda itu efisien dan efektif, tidak suka bertele-tele, to the point dan padat berisi dalam menyampaikan sesuatu. Kalau suka mereka bilang suka kalo tidak mereka akan bilang dengan jelas. Tidak ada basa-basi atau rasa “ga enak-an” seperti orang Indonesia. Kita jangan tersinggung kalau mereka jujur apa adanya. Di sisi lainnya, mereka juga fair kok sebenarnya. Misalkan di satu diskusi, ada perbedaan pendapat antara yang satu dan lainnya, terjadi gontok-gontokan pemikiran, tapi ketika jam istirahat semua akan biasa lagi, seperti tidak ada kejadian panas sebelumnya. Etos kerja yang suka berdiskusi ini jadi membuat mahasiswa lebih bisa eksploratif dan lebih banyak membaca paper dan bahan kuliah, agar tidak kosong isi kepala.
- Budaya
Di luar negeri kita akan bertemu dan bekerja dengan berbagai macam mahasiswa dari negara yang beda-beda. Biasa ngomong santai lu-lu gue-gue, ketika di Belanda jadi harus lebih bisa membaurkan diri ke dalam pergaulan tersebut. Kuncinya sih simple, bagaimana kita bisa diterima dengan baik, tanpa ikut terseret oleh kultur dan kebiasaan tidak lazim yang berbeda dengan kita. Kita juga belajar lebih tepo seliro sama yang berbeda budaya. Prakteknya sih sama seperti ketika kuliah di Indonesia. Ketika masuk ke universitas tertentu ada kawan yang dari Jawa, dari Sumatera, dari Kalimantan. Hanya masih terasa nyamanlah karena pergaulan kita masih dengan anak-anak Ibu Pertiwi. Tapi kalau sudah bertemu dengan orang-orang dari kebangsaan yang berbeda, bahasa yang beda, lifestyle beda, bisa terjadi juga gegar budaya, culture shock bahasa kerennya. Tidak sedikit mahasiswa Indonesia yang mengalami culture shock, baik yang jadi merasa tidak betah karena homesick atau sebaliknya malah jadi overgaul melampaui tatakrama/etika/agama yang dulu sangat kental dipegang saat masih di Indonesia.
- Pemahaman konsep
Kuliah di Belanda sangat mementingkan pemahaman konsep. Kuliah tidak hanya dibebankan di ujian saja, lebih penting konsep dasar. Pengalaman kuliah di Indonesia, ada mata kuliah yang hasil akhirnya terlalu dititikberatkan sama ujian, padahal pemahaman konsepnya kurang. Jadilah ujian seperti sesuatu momok yang menakutkan. Tidak penting lagi paham atau tidak konsepnya yang penting hasil ujian bagus. Ujian di Belanda juga tetap ganas sih.. tapi setidaknya outcome dari kuliah tidak cuma dari nilai ujian. Ada presentasi dan ada assignment. Assignment ini ya dibuat agar kita lebih paham konsepnya.
- Cara mengajar dosen
Masih menyambung dari poin nomor 4. Lebih terasa di Belanda tujuan dosen mengajar lebih ditekankan agar mahasiswanya mengerti. Mereka tidak pernah merendahkan mahasiswanya walaupun mahasiswa bertanya pertanyaan-pertanyaan mendasar. Prinsipnya adalah “There is no stupid question”. Ketika mahasiswa masih merasa tidak paham, dosen bersedia ngajarin di luar jam kuliah, tentunya dengan appointment terlebih dahulu.
- Fasilitas
Mungkin poin ini memang jadi jurang perbedaan yang cukup siginifkan antara kuliah di Indonesia dan di Belanda. Mahasiswa menjadi lebih fokus dalam menjalani perkuliahan di Belanda. Bahan bacaan lebih kaya, jurnal internasional dengan mudah bisa diakses, textbook banyak tersedia di perpustakaan, bisa juga beli buku second atau baru secara online, dengan harga terjangkau. Ini baru soal bahan bacaan. Belum lagi soal fasilitas berupa mesin, alat elektronik, perangkat laboaratorium, yaaa.. bersyukur sekali bisa menemukan rupa-rupa kelengkapan seperti itu. Salutnya untuk yang kuliah di Indonesia, dengan fasilitas yang mungkin terbatas, tapi tetap bisa mengerjakan penelitian atau tugas dengan hasil yang baik.
- Egaliter
Ini yang cukup banyak berbeda dengan budaya di Indonesia. Jika di Indonesia masih ada unggah-ungguh pada senior, tidak demikian Di Belanda. Hubungan dosen dan mahasiswa seperti tidak ada jarak. Memanggil profesor atau dosen dengan nama depannya ya biasa. Tidak perlu dengan ditambah embel-embel Sir atau Mister ketika bercakap dengan mereka atau ketika menulis email, semuanya sama. Tapi bukan berarti mahasiswa jadi bertindak kurang ajar. Mengacu pada etos kerja yang suka berdiskusi tadi, mahasiswa maupun dosen bebas berekspresi mengeluarkan pendapatnya di forum-forum diskusi. Tidak ada tatapan merendahkan dari dosen jika mahasiswa mau bertanya, mendebat, atau mengekspresikan ketidaksetujuan.
- Mandiri
Jadi mahasiswa di Belanda harus proaktif dan mandiri. Tidak pernah dosen mengingatkan mahasiswanya secara personal tentang kapan ujian, kapan harus mengumpulin tugas, atau sampai mengejar mahasiswa untuk menyelesain thesis. Semua informasi tentang perkuliahan biasanya sudah terintegrasi lewat portal kampus dan email. Jadi mahasiswa harus proaktif mencari informasi, sering cek email dan portal kampus untuk lihat apakah ada jadwal yang berubah, kapan tugas harus dikumpulkan, dan kapan jadwal meeting dengan departemen. Dosen di Indonesia masih banyak yang perhatian dengan mahasiwanya. Menanyakan kabar ketika mahasiswanya tidak pernah muncul di kelas. Kalaupun ada dosen yang cuek, tapi setidaknya kita masih punya teman yang peduli pada kita, yang mengingatkan kita untuk tidak bolos kuliah, untuk mengumpulkan tugas, atau mengingatkan jadwal ujian. Di Belanda? Mandiri dong, masa sudah besar masih harus diingatkan terus.
Selain itu, dalam pengerjaan tugas, dosen akan membebaskan mahasiswa untuk mengeksplorasi bahan. Dosen tidak melulu menuntun langkah mahasiswa dengan detail untuk kerja mahasiswa. Mereka percaya mahasiswanya mampu mengerjakannya dengan baik. Ini membuat mahasiswa jadi lebih bertanggung jawab akan tugas dan kewajibannya.
- “You did a good job!”
Ini yang patut ditiru. Selama kuliah di Belanda, saya dan kawan-kawan lainnya selalu bertemu dengan dosen-dosen yang sangat menghargai hasil kerja mahasiswanya. Ketika kita telah selesai mengerjakan tugas, merampungkan report, atau melaksanakan presentasi, feedback mereka pertama kali adalah “You did a good job!” dan terdengar tulus dan bagaikan membawa hawa segar. Lalu mereka baru memaparkan plus minus dari pekerjaan yang sudah kita buat. Intinya mereka sangat menghargai hasil jerih payah kita. Mereka tidak minim dalam memberi pujian kok. Hal seperti ini yang membuat mahasiswa jadi termotivasi dan merasa dihargai.
- Resource bagi universitas
Khusus untuk mahasiswa S3 atau PhD, perbedaan yg paling terasa adalah di Belanda ini, PhD student dianggap sebagai resource kampus. Artinya mereka bukanlah sekedar “mahasiswa biasa”, tetapi statusnya dianggap sebagai pegawai, yang menghasilkan sesuatu untuk kampus, yang keberadaannya dibutuhkan oleh universitas dan profesor. Mahasiswa S2-pun juga sering dilibatkan sebagai resource kampus. Seperti ikut menjadi bagian dalam research mahasiswa S3.
Berikut 10 poin yang bisa saya rangkum. Ketika saya menuliskan “Belanda” di tulisan ini bukan berarti seluruh universitas di Belanda pakem seperti yang saya paparkan di atas. Ini hanyalah rangkuman dari pengalaman teman-teman yang saya tanya ditambah pengalaman pribadi, dan cerita kanan-kiri. Semoga bermanfaat
Terima kasih kepada teman-teman yang bersedia ditanya: Navilah Syamlan, Yosi Ayu, Resti Marlina, Doti Parameswari, Murwendah, Rully Cahyono, Yora Faramitha, Bustanul Ury, Niken Widyakusuma, Pretty Falena.
2 thoughts on “Perbedaan Kuliah di Indonesia dan di Belanda”