“Engga Bun, Runa bisa sendiri.”
“Runa ajaaa, Bun”
Akhir-akhir ini kalimat seperti di atas dan sejenisnya sering keluar dari mulut Runa. Misalnya saat Runa mau dipakaikan baju, mau dibantuin pakai sepatu, atau mengambil barang. Anak seusia Runa (3 tahun) memang sedang dalam tahap eksplorasi, semua ingin dicobanya sendiri. Ditambah lagi mereka sering melihat orang lain atau orang tuanya melakukan hal tersebut, merekapun jadi ingin menirunya. Anak itu kan peniru yang ulung.
Tapi tahapan “melakukan segala sesuatu sendiri” ini ternyata tricky juga. Di satu sisi saya senang karena Runa sudah mulai mandiri dan menguji kemampuan dirinya. Di satu sisi saya harus sabar dan telaten juga menghadapinya.
Pertama, jika di dalam kondisi yang buru-buru atau dikejar waktu, seperti mengejar bus/kereta atau siap-siap ke sekolah, pasti saya inginnya cepet dong, agar bisa tepat waktu. Tapi tentu Runa tidak bisa menyelesaikan urusannya itu secepat yang saya harapkan, namanya juga masih berusaha sendiri. Ya kalau pakai sepatu kadang terbalik, pakai jaket kadang susah dikancingin. Saya harus nungguin sampai Runa selesai, kalau bener-bener kepepet akhirnya saya bilang, “Sini Bunda bantuin Run, biar cepet.” Kadang Runa mau, kadang enggak. Ini harus pintar-pintar berdiplomasi sama Runa aja. Kalau lagi gak buru-buru ya tentu saya biarkan saja sampai dia selesai sendiri.
Kedua, tidak semua yang dikerjakan Runa membantu, bisa jadi malah membuat lebih repot. Misal Runa ingin bantu menyapu, yang ada malah kotoran lantai jadi tersapu ke kolong meja. Atau saat Runa ingin cebok sendiri, air malah jadi berceceran ke lantai kamar mandi yang kering dan hasil cebokan belum tentu bersih. Juga saat Runa ingin membantu saya memasak, waktu Runa menaburkan garam malah kebanyakan. Untuk yang ini saya harus pintar-pintar membuat Runa happy dengan hasil kerjanya, jangan malah tersulut emosi. Ya kan katanya saat anak sedang berusaha kita harus memberikannya pujian supaya lebih memotivasi dan membuatnya percaya diri.
Ketiga, kalau “bagian Runa” sudah terlanjur saya kerjakan, Runa bisa ngambek. Contohnya saat saya sedang belanja di supermarket sama Runa. Saat di kasir, saya menaruh semua barang belanjaan di meja kasir, dan Runa ingin ikutan juga, padahal meja kasir kan tinggi. Jadi Runa berjingkat-jingkat naruh barangnya, kadang kalau saya ingin cepet ya saya mendahului dia. Tapi akibatnya Runa malah jadi ngambek. Barang yang tadi saya simpan di meja kasir harus diletakkan lagi di troli agar Runa yang tetap menaruh barang tersebut di meja kasir. Saya jadi harus meng-undo lagi sebelum Runa play. Yang jadi masalah kalau pekerjaan tersebut sudah terlanjur dikerjakan dan tidak bisa di-undo, misal saat saya men-tap kartu saat masuk bus (ternyata Runa ingin mengerjakannya). Padahal kan itu cuma sekali aja (bisa sih dua kali saat keluar busnya). Kalau pekeerjaan itu berupa hal yang tidak bisa di-undo, wah ngambeknya. Jadi saya harus pintar-pintar membaca situasi, apakah Runa ingin mengerjakannya sendiri atau dibantu. Saya juga harus pintar membujuknya supaya ngambeknya tidak berkepanjangan.
Btw, Runa mau melakukan semuanya sendiri, seperti pipis sendiri, naik sepeda sendiri, bawa tasnya sendiri, pakai baju, beresin mainan, beresin “hasil pabalataknya”, dll.. Cuma satu yang rada susah Runa kerjain sendiri: makan, khususnya makan nasi bersama lauk, haha. Padahal orang tuanya pengonsumsi nasi sejati. Runa lebih bisa makan sendiri kalau makanannya adalah roti, pasta/spageti, dan kentang.
Memang jadi orang tua itu adalah belajar tanpa henti. Yes, children learn most from their parents, but in fact parents learn best from their children.

haii bund, hebat ya Runa. Kebetulan anak saya juga lagi senang melakukan aktivitas sendiri, kalau saya atau suami yang bantu, malah ngambek dan mengulanginya sendiri.
hehe iya mbak, mgkn emang usianya lagi pengen semua sendiri, ortu yg harus sabar nemenin dan nanggepinnya biar anak malah makin semangat mandiri 🙂