Cerpen Anak ini akhirnya saya posting juga di blog, berhubung sudah dapat feedback dari Hujan Karya jadi rada pede, hoho. Saya masih lebih suka nulis cerpen anak, untuk cerpen dewasa hmm.. belum sempet bikin. In sya Allah akan dicoba. Silahkan masukannya yaa pembaca 🙂
Sepatu Merah Muda Dinda
(Oleh: Monika Oktora)
“Bu.. sepatu merah muda Dinda mana?” tanya Dinda sambal membongkar-bongkar lemari sepatu.
“Terakhir dipakai kan kemarin. Mungkin Dinda simpan di teras.” Ibu menjawab dari seberang dapur.
Dinda menghambur ke teras, tapi sepatunya tetap tidak ditemukan. Dinda mencari ke halaman belakang, garasi, tapi si merah muda tidak kelihatan. Dinda pun menyerah dan terduduk di sofa.
“Belum ketemu, Din?” Ibu menghampiri Dinda. Dinda menggeleng lemah.
“Ya sudah, pakai saja sepatu yang lain. Nanti juga ketemu, mungkin Bik Nah membereskannya, nanti Ibu tanya Bik Nah kalau dia sudah datang.”
Dinda pun mengangguk lemah, walaupun dalam hati dia masih tidak rela untuk memakai sepatu yang lain. Sepatu merah muda itu adalah hadiah dari Nenek Dinda saat kenaikan kelas 2, Dinda sudah memakainya selama 2 tahun. Sepatunya sangat nyaman dan cantik. Nenek Dinda sudah meninggal sejak setahun yang lalu. Dinda merasa sangat kehilangan. Setiap memakai sepatu pemberian neneknya, Dinda merasa seolah-olah melihat senyum Nenek. Ah.. Dinda jadi kangen Nenek.
Dinda sudah mencari sepatunya di semua tempat di rumahnya, tapi sepatunya itu belum juga ditemukan. Dinda terpaksa mengambil sepatu yang lain, sepatu warna hitam berpita putih untuk dipakai ke acara ulang tahun Fani, sahabatnya.
*
“Dinda, ini sepatunya. Ternyata Bik Nah menjemurnya di atas. Katanya sepatunya kemarin basah setelah kamu kehujanan sepulang sekolah” Ibu menyambut Dinda di rumah sambal menunjukkan sepatu merah muda itu.
“Makasih Ibu,” Dinda memeluk ibu.
“Din, kalau sepatunya basah masih suka Dinda pakai ya?” Ibu bertanya dengan lembut. Dinda mengangguk pelan, takut Ibu mengomel karena Dinda memakai sepatu basah.
Ibu menghela nafas, Ia tahu ini sulit untuk Dinda untuk melepaskan sepatu tersebut, tetapi Ia harus memberi tahu Dinda untuk kebaikannya. “Dinda.. sepatu merah muda Dinda sebenarnya sudah sempit kan, sudah 2 tahun Dinda pakai. Ibu perhatikan kakimu jadi lecet-lecet karena memakai sepatu yang sudah kesempitan. Mungkin sudah saatnya kamu simpan sepatunya. Dinda juga sudah punya sepatu lainnya kan yang lebih baru.” Ibu memakai kata “simpan” bukan “buang” karena Ibu tahu Dinda sangat menyayangi sepatu merah mudanya.
Dinda terdiam, “Iya bu.. tapi, Dinda sangat suka sepatu yang dikasih Nenek.” Kata anak berusia 9 tahun itu terbata-bata.
“Ibu mengerti sayang, Nenek juga pasti bahagia Dinda selalu pakai sepatu pemberian Nenek. Tapi Nenek juga pasti sedih kalau tahu kakimu jadi lecet seperti ni.” Dinda hanya mengangguk pasrah, tapi dalam hati dia masih tidak rela untuk menyimpan begitu saja sepatunya.
*
“Dinda, bisa tolong belikan lotek di Warung Yu Ratri? Ibu belum sempat masak. Kita makan siang dengan lotek Yu Ratri aja ya.”
“Asiiik.. Dinda suka loteknya Yu Ratri.” Secepat kilat Dinda menuju Warung Yu Ratri yang hanya berjarak 300 meter dari rumahnya.
Sambil menunggu Yu Ratri membuatkan lotek pesanannya, Dinda memperhatikan sekelilingnya. Warung Yu Ratri sangat sederhana, hanya berupa gerobak kecil teras rumahnya yang sempit. Yu Ratri, janda beranak dua itu, sangat pandai membuat lotek, gado-gado, dan rujak. Dengan berjualanlah Yu Ratri bisa menghidupi keluarganya. Hampir semua orang di komplek menjadi langgananan warungnya.
Tiba-tiba mata Dinda melihat Aya, putri bungsu Yu Ratri yang masih kelas satu SD. Aya sedang siap-siap berangkat sekolah. Jadwal sekolahnya memang siang.
“Bu, Aya sekolah dulu ya.” Kata Aya sambail mencium tangan ibunya.
“Iya, Nak hati-hati.” Yu Ratri melambai pada Aya. Sekolah Aya tidak jauh dari komplek, hanya sekolah negeri sederhana, tapi Aya sudah berani berangkat sendiri.
“Yu, Aya kok sekolah pakai sandal?” Tanya Dinda.
“Oh iya itu sepatunya sudah jebol beberapa minggu yang lalu. Yu mau belikan yang baru tapi tabungannya tidak cukup karena sebelumnya baru saja membelikan Aya dan kakaknya buku sekolah. Minggu depan baru mau beli.” Yu Ratri menjelaskan sambal mengulek bumbu lotek.
“Memang sama sekolahnya gak papa, Yu?” Dinda penasaran.
“Untunglah kata gurunya ngerti.”
Dinda termenung dan teringat kata-kata Neneknya. ”Berbuat baik yang paling utama itu adalah ketika kamu memberikan barang yang paling kamu sayangi untuk orang yang membutuhkan.” Tiba-tiba Dinda merasakan suatu dorongan dalam hatinya, “Yu Ratri, sebentar ya Dinda pulang dulu nanti kembali lagi sekalian ngambil pesanan.”
Dinda langsung menghambur ke rumah. Begitu sampai di rumah, Ibu sangat keheranan, “Lho, kok cepat sekali beli loteknya, Din?”
“Belum bu, sebentar..” Dinda tergesa mengambil sepatu kesayangannya, tanpa memedulikan ibunya yang keheranan.
“E-eeh.. Mau ke mana lagi sayang?”
“Mau ngasih sepatu ini untuk Aya bu, dia gak punya sepatu, kasihan ke sekolah cuma pakai sandal. Mungkin sepatu ini akan lebih berguna untuk Aya. Dinda juga gak perlu membuangnya, Dinda bisa melihat sepatu ini setiap ke Warung Yu Ratri, dan Dinda yakin nenek di sana juga pasti senang. Udah ya Dinda pergi lagi, Bu” Dinda menjelaskan panjang lebar sambal tergesa berlari.
Seketika hati ibu menghangat, Ah.. Dinda sudah semakin dewasa.
***
terimakasih gan, mantap