Catatan Haji 1437 Hijriyah, Journey, Persiapan Pra Keberangkatan

Menitipkan Runa pada Allah


Sepertinya ini adalah cara Allah unyuk menguji hambaNya apakah ia benar-benar mencintai Allah di atas segala-galanya.

Sepertinya ini adalah cara Allah untuk membuat hambaNya benar-benar pasrah padaNya, karena diri hamba adalah lemah dan Allah Maha Penguasa Segalanya.

Keputusan sudah diambil, Insya Allah yang terbaik.. Insya Allah, Allah akan membukakan jalan, aamiin.

Niat Berhaji

Umat muslim di manapun pasti rindu berhaji, rindu bertandang ke rumah Allah. Ingin menunaikan rukum Islam ke-5 sekali seumur hidup. Tapi kemudian.. Kapan undangan itu datang? Kapan kita akan siap secara mental, finansial, fisik, rohani, seluruhnya?

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97).

Sayapun tidak pernah terpikir kapan siap dan kapan akan bisa berangkat. Niat untuk bisa menunaikan haji sudah dijadikan agenda saya dan suami sejak dulu. Mencoba menabung dan membuka tabungan haji walaupun entah kapan antrian itu akan tiba.

Tahun 2014 kami sekeluarga pindah ke Groningen, Belanda. Saya kuliah dan suami Alhamdulillah mendapat pekerjaan. Alhamdulillah lancar dengan adaptasi sana-sini, terutama untuk Runa, untuk studi saya, dan pekerjaan suami. Tahun 2015 ada salah satu rekan kami di Groningen berangkat haji, saya dan suami jadi tertarik juga. Kamipun mulai menghubungi beberapa biro haji di sini untuk mengetahui bagaimana syarat-syarat untuk bisa berangkat haji dari Belanda. Ternyata tidak ada antrian sama sekali. Wah kami pikir ini adalah kesempatan emas, privilege ini tentu kalau bisa dimanfaatkan. Mumpung kami masih tinggal di sini. Tahun 2015 memang belum tahunnya karena saya masih harus menyelesaikan beberapa course dan kami masih belum tahu bagaimana mengatur kepergian untuk haji dan juga bagaimana Runa nanti.

Tahun 2016, ide itu terus datang dan menunggu diwujudkan. Akhirnya setelah menghubungi beberapa Biro Haji, kami memutuskan untuk bergabung dengan Euro Muslim, Islamic Education Center di Amsterdam. Kami mendaftar cukup telat sebenarnya, di awal Ramadhan. Saat itu mereka bilang kuota mereka sudah penuh dan kami di waiting list dulu. Tapi akhirnya kami dikabari bahwa masih ada slot untuk haji di tempat mereka. Prosesnya cepat dan lancar. Enaknya lagi ada program manasiknya juga di tempat mereka. Jadi Euromuslim ini melayani haji khusus untuk orang Indonesia di Belanda, mereka bekerja sama dan mengambil slot dari biro Maroko, yang mengatur urusan selama haji di Mekah dan Madinah. Semoga kami bisa berangkat tahun ini bersama-sama Jamaah Euromuslim, aamiin.

Keputusan Penting

Opsi selanjutnya yang kami pikirkan adalah.. Bagaimana Runa saat kami pergi haji? Bagaimana pekerjaan suami? Kuliah saya sudah tidak masuk beban pikiran, Alhamdulillah Juli kemarin saya sudah menyelesaikan semuanya, jadi cukup tenanglah. Suami bisa dapat cuti selama 3 minggu. Di Belanda, tidak ada alasan untuk menolak cuti pegawai jika masih punya jatah, dan jatah cuti suami masih mencukupi. Lalu Runa? Runa adalah concern terbesar saya. Setiap apapun yang saya lakukan pasti nomor satu selalu ya pikirkan Runa bagaimana.

Yang terbaik tentu jika Runa bisa dipegang/diasuh oleh keluarga kami. Kemungkinan pertama adalah Mama dan Papa bisa menunggui Runa di Groningen selama 3 minggu di Bulan September. Tapi ternyata hal itu sulit, karena Papa masih kerja dan cuti 3 minggu terlalu lama. Jika Mama saja yang di Groningen? Wah susah juga.. Adaptasi Mama sambil mengurus Runa pasti tidak gampang, kendala bahasa dan lingkungan. Bagaimana kalau Runa sakit? Atau Mama yang sakit? Pasti repot. Begitu juga dengan Bapak dan Ibu mertua, keduanya masih aktif bekerja. Jadilah keputusan yang terbaik adalah Runa diasuh di Indonesia. Banyak saudara di Bandung dan Mama lebih tenang mengasuh Runa di rumah sendiri.

Momennya juga tepat. Bulan Juli ini tante, om, dan anaknya berlibur ke Belanda. Jadi kebetulan saya dan Runa bisa pulang ke Indonesia bersama-sama mereka (suami harus tetep kerja, demi menghemat jatah cuti). Saya mengantar Runa ke Bandung dan saya balik lagi ke Groningen. Hanya 2 minggu waktu saya di Indonesia, menyelesaikan segala urusan. Saya harus segera kembali ke Belanda sebulan sebelum berangkat haji karena saya harus menyerahkan passport dan resident permit ke Euromuslim. Konsekuensi dari pilihan yang kami ambil adalah Runa jadi terpisah dari kami lebih lama, sekitar 2 bulan.

Tentu saya galau berat. Seumur-umur saya belum pernah berjauhan dengan Runa selama itu. Paling lama hanya seminggu saat saya PK LPDP. Saat itu Runa masih 1,5 tahun dan belum banyak mengerti, hanya tanya: Bunda mana? Sekarang Runa sudah 3,5 tahun, Runa anak yang kritis, dia harus diberi penjelasan ke mana ayah dan bundanya selama 2 bulan, kenapa Runa ada di Indonesia sama Anin dan Atuknya? Tentu saya berikan penjelasan, cerita, sampai memutar video tentang haji. Namanya anak kecil ya pemahamannya hanya sederhana: Bunda dan ayah pergi haji, haji tidak bisa diikuti oleh anak kecil, Runa di Indonesia dan nanti akan kembali lagi ke Groningen. Tapi entah apakah itu cukup.

Saya jadi ingat 2 tahun lalu sebelum saya berangkat ke Groningen, visa Runa belum kunjung jadi sampai 2 hari keberangkatan saya. Saya masih berharap visa Runa jadi di detik-detik terakhir. Sayapun memesan tiket untuk Runa dengan keyakinan Runa akan tetap berangkat dengan saya di saat yang bersamaan. Saat itu Runa belum harus bayar seat penuh jadi saya gambling saja memesan tiket untuk Runa, sementara untuk suami saya belum pesan tiket berpikir harus rugi bayar full tapi visa belum jelas statusnya. Allah ternyata memberikan kesempatan di saat saya sudah benar-benar pasrah akan meninggalkan Runa. Visa Runa dan suami jadi di 2 hari sebelum keberangkatan, Masya Allah.

Kali ini saya merasa Allah ingin menguji saya juga.

Kamu yakin mau haji?

Kamu yakin dengan segala konsekuensi?

Kamu kuat?

Saya sadar Allah ingin menunjukkan pada saya jika saya sungguh mencintai Allah, saya harus merelakan semuanya. Saya sadar saya terlalu cinta pada Runa, sangat-sangat sayang. Bahkan suami sendiri saja sering cemburu pada Runa. Suami pernah bilang, “Bunda nih kalau sama Runa aja semuanya deh.. Ayah gimana?” Mungkinkah Allah juga cemburu? Bukankah Allah juga pencemburu? Teringat kisah Nabi Ibrahim SAW yang sangat mencintai Allah sampai saat Ismail lahir, Nabi Ibrahim begitu bersuka cita sehingga kecintaannya pada Ismail begitu besar. Allah kemudian mengingatkan Nabi Ibrahim melalui peristiwa penyembelihan Ismail. Nabi Ibrahim pun ikhlas dan pasrah sehingga Allah pun menukar Ismail dengan kambing. Wallahu a’lam. Bukankah anak-anak adalah cobaan dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.

Saya juga disadarkan lagi, dulu saya sering ditinggal suami kerja ke field, pernah juga ketika Runa lahir suami harus training ke Rusia selama 1,5 bulan. Di sisi saya, saya merasa.. Pasti posisinya lebih enak yang “meninggalkan” daripada yang “ditinggalkan”. Setelah selama ini saya baru tahu, itu sama sekali tidak benar. Menjadi yang ditinggalkan rasanya tidak enak. Menjadi yang meninggalkan, rasanya sama saja, sama sekali tidak enak. Gundah, sedih, kepikiran, tapi tetap harus menjalankan kewajiban di seberang sana dengan perasaan campur aduk. Saya jadi paham perasaan suami saya dulu-dulu, maaf ya.. dulu saya belum mengerti dan cenderung menggampangkan posisi dia.

Di sisi lain saya bersyukur. Di tengah-tengah usaha kami untuk bisa berhaji, banyak dukungan dari keluarga, terutama untuk Runa, Mama Papa, Ibu Bapak, Kakak dan Mas Koko, Adek, Tante-tante-Om, dan Sepupu, bahkan Opa, Bibik, dan Asisten di rumah. Semuanya sangat membantu, Alhamdulillah. Di tengah kegalauan saya saat di Bandung dan hendak meninggalkan Runa dalam beberapa hari ke depan, saya mendapat nasihat baik dari ibu-ibu pemilik toko baju muslim dan kerudung di dekat rumah, “Titipkan saja anak pada Allah, Mbak..” Hal itu yang terus terngiang-ngiang. Betul Bu, hal itu yang saya lupa dari kemarin, terima kasih pengingatnya.

Saya juga bersyukur, ini bukan apa-apa lho. Seperti yang saya tahu, banyak sekali ibu-ibu student yang harus merantau ke luar negeri meninggalkan buah hatinya, bahkan sendiri tanpa suami, lebih dari 3 bulan, bahkan 6 bulan, atau lebih. Keputusan tersebut tentu diambil tidak dengan mudah. Mama juga bilang, kalau dulu Mama haji meninggalkan anak 3, saya dan kakak masih SD, sementara adik saya masih TK, yaa tentu kurang lebih seusia Runa. Saya dan kakak-adik diasuh Oma dan tante, tentu berat juga untuk Mama dan Papa meninggalkan kami. Sama Ibu dan Bapak juga seperti itu ketika haji, meninggalkan anak-anaknya pada Mbah Kakung dan Mbah Putrinya. Bahkan Bapak pernah studi di Kanada selama 2 tahun, sementara tiga anak di Bandung. Ibu menyusul kemudian meninggalkan anak-anak selama sekitar 6 bulan. Itu luar biasa beratnya. Tapi Insya Allah, Allah menjaga anak-anak semua.

Meninggalkan Indonesia, saya merasa sangat gamang, Meski tetap terngiang-ngiang, “Allah akan menjaga Runa.. Titipkan pada Allah”, air mata tidak bisa ditahan, sampai detik saya sampai ke rumah di Groningen. Saya terus menguatkan diri dan meyakinkan diri, ini yang terbaik. Jalani dengan kuat, ikhlas, sabar..

Insya Allah..

Bismillah. Innallaha ma’ashabiriin…

Really miss her...
Really miss her…
Advertisement

5 thoughts on “Menitipkan Runa pada Allah”

  1. Teh monik, aku berkaca-kaca baca ini. terutama pas paragraf yg meninggalkan dan ditinggalkan. #efekmauditinggalsuamijuga :((

  2. Runa-nya tidak bias dibawa atau memang tidak diniatkan dibawa, Mbak? Saya berniat bawa anak saya, mumpung masih Group 1, jadi masih bias bolos. Mungkinkah dengan Euromuslim?

    1. Di rombongan kami ada 3 keluarga yg membawa anak. berumur 1.5 th, 9 bulan, dan satu lg masih bayi banget.. berarti bisa saja bawa anak. Tapi bukan dari org Indonesia yg bawa anak, org Maroko dan Turki. Saya salut malah pada mereka bisa memutuskan membawa anak. Perjuangannya luar biasa
      Untuk biayanya juga akan berbeda sepertinya. Bisa ditanyakan lebih lanjut.
      Kami memang memutuskan tidak membawa Runa mas krn bbrp pertimbangan di antaranya agar lebih fokus dlm beribadah, kami juga tidak tahu medan nanti terutama pas di Arafah, Mina dan Muzdalifah. Khawatir anak akan rewel, kecapean atau bahkan sakit. Dengan menitipkan runa juga saya dan suami belajar lebih ikhlas dan pasrah pada Allah.
      Masing2 keluarga pasti ada pertimbangannya mas. Insya Allah, Allah sudah memberikan jalan yg terbaik. Kalau mas dan suami membawa anak masih memungkinkan kok. Semoga diberikan yg terbaik aamiin

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s