Madinah di awal bulan September, di penghujung musim panas. Hawa panas sangat menyengat siang itu, mencapai 48 derajat celcius. Mustahil rasanya berjalan di bawah teriknya matahari tanpa pelindung kepala atau tanpa memicingkan mata karena silau. Topi, sorban, maupun kacamata hitam selalu menemani langkah kami menantang panasnya Madinah. Kami yang biasanya hanya merasakan maksimal 30 derajat celcius di daratan Belanda tentu merasa kelabakan. Bahkan, panasnya tanah ini melebihi teriknya Jakarta di siang hari. Dengan cepat kami melangkah menuju Sang Pilar Kota Madinah, Masjid Nabawi, untuk melaksanakan shalat zuhur. Dari jauh kami sudah ingin merasakan sejuknya lantai mesjid dan terpaan AC. Tapi ternyata kami masih harus bersaing dengan jamaah lain untuk mendapatkan tempat di dalam mesjid, jika tidak ingin shalat di pelataran mesjid.
Kami tiba di Madinah seminggu sebelum prosesi Haji, Kebetulan pada saat-saat itu banyak jamaah haji yang sudah berangkat ke Mekah untuk persiapan haji, terutama jemaah haji ONH dari Indonesia, semuanya sudah berada di Mekah. Hanya tersisa beberapa jamaah dari Afrika, BIP (Bangladesh, India, Pakistan), Turki, dan Eropa. Kata Pak Said, pemimpin rombongan kami, Madinah pada saat itu termasuk sepi. Meskipun Mesjid Nabawi selalu ramai diisi oleh Jemaah. Kami harus tetap datang ke Mesjid jauh jauh sebelum adzan berkumandang jika ingin mendapatkan posisi strategis.
Ah Masjid Nabawi, setiap saya mengingatnya, rasanya masih terbayang kesan yang begitu kuat, begitu tenang, begitu syahdu di setiap tempatnya, pelatarannya, pintu besarnya, raudhah, makam Rasulullah, payung-payung indahnya, kubahnya, suara merdu adzannya, tentramnya shalat berjamaah di sana. Masya Allah, semoga kami masih diberi kesempatan untuk berkunjung ke Masjid Rasulullah tersebut. Aamiin.

Keutamaan Mesjid Nabawi
Kami, dari rombongan Haji Euromuslim, menghabiskan 5 hari 4 malam di kota thayyibah tersebut. Memang tidak seperti jamaah haji dari Indonesia yang kebanyakan mendapatkan jatah 8 hari di sana. Sebabnya adalah, jamaah ingin mengejar keutamaan shalat arbain (shalat 40 waktu) di Masjid Nabawi: Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah bersabda “Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad no. 12.583 dan ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 5.444). Namun, ada beberapa pertentangan dari hadits ini sehingga dinyatakan lemah.
Tidak salah kalau kita mengambil hikmahnya saja dari hadits tersebut. Anjuran untuk shalat 40 kali di Masjid Nabawi maksudnya adalah untuk membiasakan agar jamaah untuk melaksanakan shalat berjamaah secara teratur. Sehingga lama-kelamaan menjadi kebiasaan. Hati akan merindu masjid, merasa lega jika berada di masjid untuk berjamaah dan melaksanakan shalat dengan penuh semangat. Diharapkan jika jemaah pulang ke negerinya, Ia akan membawa kebiasaan ini. Wallahu ‘alam.
Terlepas dari sahihnya hadits mengenai shalat arbain, melaksanakan shalat di Masjid Nabawi memang sangat utama, bahkan lebih utama daripada 1000 kali shalat di masjid lainnya.
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 kali shalat di masjid selainnya, kecuali Masjid al-Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berbekal dari hadits muttafaq ‘alaih tersebut, tentu berbondong-bondong umat muslim melaksanakan shalat di sana dengan semangat. Belum lagi memaksimalkan waktu untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW, Umar bin Khattab RA, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, berdoa sebanyak-banyaknya, membaca Al-Qur’an, menghayati jejak kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat, serta menyerap tausiyah yang diadakan di Masjid Nabawi.

Pembangunan Masjid Nabawi
Ketika melihat Masjid Nabawi saat ini yang luar biasa luas, megah, dan indahnya, tidak terbayangkan bagaimana dahulu Rasulullah SAW dan para sahabat baru membangunnya. Masjid Nabawi adalah masjid kedua yang dibangun atas dasar takwa, setelah Masjid Quba (dibangun dalam perjalanan hijrah dia dari Mekah ke Madinah). Dibangun di awal hijrah Rasulullah SAW ke Madinah, Masjid Nabawi saat itu hanya seluas 1050 m², dengan atap kurang lebih 2,5 4 m². Fondasinya dari batu, temboknya dari batu bata, tiangnya dari pohon kurma, sedangkan atapnya dari pelepah kurma. Sampai saat ini, Masjid Nabawi sudah mengalami perluasan sampai sembilan kali, termasuk di antaranya saat masa Khalifah Abu Bakar RA, Khalifah Umar bin Khattab RA, Khalifah Utsaman bin Affan, diteruskan pada pemerintahan khalifah-khalifah selanjutnya, sampai pada masa pemerintahan Saudi Arabia. Terakhir di masa tahta King Fahd abdul Al Aziz, Masjid Nabawi diperluas sampai bisa menampung lebih dari 600.000 jamaah.
Berbeda dengan saat menjalankan shalat di Masjidil Haram yang padat akan jamaah, terkadang jamaah ikhwan dan akhwat bisa berada dalam satu saf dan barisan yang sama. Di Masjid Nabawi, jamaah laki-laki dan perempuan terpisah dengan ketat. Ada pintu-pintu yang khusus ditujukan bagi jamaah perempuan dan laki-laki. Saya tidak bisa sembarangan ngintilin suami sampai ke bagian ikhwan. Jadi biasanya kami berpisah di salah satu gerbang dan kemudian janjian setelah bubaran shalat di tempat tertentu. Ada 41 pintu/gate yang mengelilingi Masjid Nabawi. Biasanya saya masuk dari Gate Usman atau Gate Umar ke arah timur, atau dari Gate Umar ke arah barat.

Payung-payung Masjid Nabawi
Setiap menginjakkan kaki di halaman Masjid Nabawi, mata saya selalu terpaku pada payung-payung raksasa yang tersebar di halaman masjid. Awal payung ini dibangun pada masa King Faisal dimulai pada tahun 1973. Ternyata sangat efektif untuk menampung jamaah yang melaksanakan shalat di halaman masjid. Pada zaman King Fahd (1984-1994) payung-payung ini dibangun kembali. Tiangnya terbuat dari marmer berwarna putih, sedangkan payungnya sendiri (entah terbuat dari apa) juga berwarna putih dengan pola sederhana yang berwarna lembut. Masya Allah.. besarnya, indahnya. Payung-payung raksasa ini disa dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan, diatur dengan teknik komputer. Biasanya payung ini terbuka sesudah matahari bergerak naik, kira-kira ketika waktu Dhuha masuk, antara pukul jam 8-9 pagi. Lalu payung akan menutup kembali setelah menjelang shalat Maghrib. Tidak lupa di tiang-tiang payung tersebut dipasang kipas angin plus semburan air segar, yang membuat betah berada di bawah payung tersebut.


Bagian Dalam Masjid Nabawi
“Hajjah, hajjah!” begitu sapaan dari Askar-askar yang menunggu para jemaah perempuan di depan pintu Masjid Nabawi. Tadinya saya tidak terbayangkan askar itu siapa dan ngapain? Hanya sering mendengar cerita-cerita saja. Kalau askar ini adalah petugas yang mengatur para jamaah haji ketika melaksanakan ibadah di masjid. Mereka berpakaian hitam, dengan jilbab hitam dan niqab (cadar) berwarna serupa, hanya menyisakan segaris celah untuk mata mereka. Suara mereka tegas dan keras.
Sebelum memasuki masjid, para Askar memeriksa apakah alas kaki sudah dicopot dan dimasukkan ke plastik/tas, supaya masjid tidak kotor. Mereka juga memeriksa barang bawaan Kami. Tidak diperbolehkan membawa kamera besar ke dalam masjid. Saya lupa apa makanan boleh masuk atau tidak. Sepertinya kalau makanan ringan boleh saja, asal bukan makanan seperti mie baso yang berkuah atau nasi padang gulai kepala ikan yang berlemak (Ini ke masjid mau shalat apa makan berat?).
“Hajjah, hajjah! Ke sini ke sini!” Kata Askar tersebut, sambil mengarahkan Kami yang baru memasuki masjid untuk mengisi dulu barisan di depan. Ternyata mereka bisa sedikit berbahasa Indonesia. Mungkin karena banyaknya jemaah haji dari Indonesia. Tidak hanya berbahasa Indonesia, ternyata mereka menyesuaikan bahasa dengan ras para jamaah. Mereka bisa berbahasa Arab (tentunya), Inggris, atau Melayu ketika berhadapan dengan ras-ras tertentu.
Saya dan teman-teman lalu mencari posisi yang masih kosong. Di waktu mendekati shalat, biasanya akan sangat ramai. Terutama di waktu Maghrib ke Isya, karena banyak jamaah yang menunggu waktu Isya sekalian. Memang nyaman jika menunggu di dalam masjid. Sejuk, adem, ada AC, lantainya dingin. Ada galon-galon air zam-zam tersebar di masjid, bisa diminum kapan saja. Juga ada mushaf Al Qur’an disediakan untuk jamaah. Yang susah kalau kebelet pipis atau ingin wudhu karena WC dan tempat wudhu terletak di luar masjid. Sebisa mungkin kami menjaga wudhu sampai waktu shalat tiba.
Tidak diragukan lagi interior dan desain Masjid Nabawi yang megah. Tiang-tiangnya yang kokoh, karpet merahnya yang empuk dan selalu bersih. Dan tentu yang paling khas.. lengkung-lengkung indah itu, yang berwarna putih-gading dan abu. Siapapun pasti akan selalu terbayang akan indahnya lengkung tersebut.


Kubah Berjalan
Pagi itu selepas subuh, saya dan beberapa teman menunggu waktu ziarah ke makam Rasulullah SAW. Kami dan para jemaah lain menunggu di bagian paling depan akhwat. Selagi menunggu, saya memperhatikan bagian atas masjid. Masih terpesona pada lengkung-lengkung masjid dan juga bagian kubah, tiba-tiba, lho-lho kok bagian kubahnya bergeser. Bergeser perlahan, sampai kami bisa melihat langit pagi yang cerah. Ternyata ada kubah berjalan yang ditujukan sebagai ventilasi dan agar sinar matahari bisa masuk. Masya Allah.. keren banget sih ini masjid, jatuh cinta lagii.



Bagian Atas Masjid Nabawi, The Roof
Ada satu tempat di Masjid Nabawi yang saya lupa jejaki. Untunglah suami saya sempat ke sana dan mengambil beberapa gambar untuk kenang-kenangan. Tempat itu adalah di bagian atas masjid (the roof). Saya pikir tidak ada yang menarik di bagian atas. Lagipula di atas panas sekali, bisa membuat telapak kaki jadi matang. Tidak ada payung pelindung dan tidak ada AC. Namun, ternyata atap masjid ini bisa juga terisi penuh bahkan di saat siang, yaitu saat shalat jumat.
Atap Masjid Nabawi dikonstruksikan dalam bentuk kubah-kubah, sebagai perlindungan dari kebakaran. Menurut sejarah, Masjid Nabawi pernah dua kali terbakar, pertama kali di tahun 1256 (654 H), akibat sumber lampu dari api. Kedua kalinya kebakaran terjadi di tahun 1481 M (886 H) disebabkan oleh petir yang menyambar salah satu menara masjid. Jumlah kubah-kubah tersebut ada 170 buah. Yang paling mencolok dan paling tinggi adalah kubah berwarna hijau, yang di bawahnya merupakan makam Rasulullah SAW.



Al-Raudhah
Ada satu tempat di Masjid Nabawi yang memiliki keutamaan lebih. Tempat tersebut selalu penuh oleh jamaah. Masuknya saja bisa mengantri. Adalah Raudhah, yang merupakan tempat mulia. Tempat Rasulullah SAW memipin shalat, menerima wahyu, berubadah. Letaknya di antara kamar Nabi dan mimbar untuk berdakwah. Raudhah memang tidak terlalu luas, maka dari itu untuk memasukinya memang perlu bersabar dan bergantian dengan jamaah lainnya.
Raudhah sendiri artinya taman. Seperti sabda Rasulullah SAW, Di antara rumahku dan mimbarku terletak sebuah raudhah (taman) dari taman-taman surga. Mimbarku ada di atas telagaku (HR. Bukhari).
Kisah saya dalam memasuki Raudhah dan cerita lengkapnya saya tulis terpisah. Soalnya panjang juga ternyata. Kisah lengkapnya bisa dibaca di sini
Berbuka puasa di Mesjid Nabawi
Sore hari di hari Kamis saya dan beberapa teman sudah siap dengan wudhu untuk menunggu shalat Maghrib di Masjid Nabawi. Ternyata ada yang berbeda hari itu. Para Askar membentangkan plastik panjang di antara jamaah sebagai alas makan. Kami duduk berhadapan dengan jamaah lain dipisahkan oleh plastik panjang tersebut. Setelahnya para Askar membagikan yoghurt, kurma, roti pita khas (roti khas Timur Tengah), air zam-zam, dan teh hangat rasa jahe. Oh, ada buka puasa bersama ternyata, setiap hari Senin dan Kamis, Masya Allah. Sebetulnya saya tidak shaum hari itu. Tapi saya ikut merasakan syahdunya berbuka bersama saudari-saudari di sini. Saling menyapa santai sambil menyantap makanan. Walaupun kami sama-sama tidak nyambung ngobrolnya. Saya coba pakai bahasa Inggris, dijawab dengan bahasa Arab, hoho..
Lima belas menit kemudian, buka puasa selesai. Kami turut membantu Askar membereskan sampah. Cara membereskannya cukup ringkas juga ternyata. Dua orang Askar memegang plastik panjang tadi di kedua ujung-ujungnya. Kemudian plastik tersebut dilipat saja, sehingga semua sampah tertampung di plastik tersebut.
Ingin juga merasakan shaum di Madinah dan berbuka di Masjid Nabawi, semoga ada waktunya… aamiin

Tahsin for visitor
Setelah shalat Subuh usai pagi itu. Saya dan teman-teman saya masih asyik tilawah sambil menunggu waktu Dhuha. Lalu kami melihat ada sekitar 6-8 akhwat duduk melingkar di dekat lemari tumpukan mushaf. Sepertinya ada pengajian. Ada satu ustadzah yang memimpin di lingkaran tersebut. Saya ikut mencuri dengar, ternyata mereka “hanya” bergantian membaca Al-Fatihah. Ustadzah tersebut membenarkan tajwid dan bacaan Al Fatihah dari jemaah. Saya pikir awalnya lingkaran tersebut merupakan kumpulan dari jemaah haji negara tertentu. Tapi ternyata tidak, beberapa bicara bahasa Arab, beberapa bahasa Inggris, yang lain bahkan bahasa lain yang saya tidak tahu, apakah bahasa Urdu atau bahasa Turki. Saya perhatikan lagi, oh ternyata ada tulisan di lemari mushaf: Tahsin for visitor. Rupanya Ada fasilitas di Masjid Nabawi untuk para pengunjung untuk mengaji bersama ustad/ustadzah, tentunya gratis.
Saya coba juga ikutan di dalam lingkaran. Saya disambut dengan ramah dan ditanya, dari negara mana? Setelah itu saya diminta untuk mengambil mushaf dan membaca Al-Fatihah. Meskipun tampak mudah, tapi ternyata selama ini ada kekurangan juga di makhrajul huruf saya. Alhamdullillah saya diberikan perbaikan dari ustadzahnya. Kata ustadzahnya yang paling saya ingat: Shalat itu ya membaca surat Al Fatihah, kalau surat Al Fatihahnya tidak betul, ya tidak sah shalatnya.
Program tahsin tersebut berakhir sekitar pukul 8. Petugas yang membersihkan Masjid Nabawi sudah bersiap-siap menyedot debu dan menggulung karpet. Ah, enak banget kalau tiap hari bisa belajar sama ahlinya langsung. Tahsin for visitor ini tidak cuma satu saja lho, ada banyak lingkaran dengan ustadzah-ustadzahnya. Setiap lingkaran biasanya terdiri sampai 10 orang. Jadi suasana tahsin cukup kondusif, bisa memilih mau di mana saja.
Esok harinya saya mencoba lagi, kali ini ustadzahnya masih muda banget. Waktu saya tanya usianya, beliau baru 22 tahun. Masya Allah, saya tertegun. Wajahnya cantik dan ramah, belum lagi ngajinya bagus dan sempurna. Tentunya dia hafidzah toh. Namanya aja pengajar tahsin di Masjid Nabawi. Saya mencoba nyetor An-Naba dan An-Naziat yang baru saya hafalkan lagi. Dih ternyata banyak banget yang loss tajwid saya. Malu banget sama Allah. Tapi saya jadi lebih semangat untuk memperbaiki bacaan dan menambah hafalan. Harus dong!
Oiya tahsin for visitor juga ada di tempat laki-laki, dengan metode yang sama. Saya sarankan untuk kawan-kawan yang pergi ke Masjid Nabawi untuk memanfaatkan fasilitas ini. Walaupun waktunya singkat tapi manfaatnya besar, Insya Allah.

Lima hari di Madinah rasanya sangat kurang. Jumat siang kami berkemas untuk segera menuju Mekah untuk menunaikan Haji. Saya menatap sekali lagi Masjid Nabawi dengan penuh kerinduan. Banyak rasanya yang belum saya pelajari di sini. Masih ingin rasanya merasakan shalat berjamaah di Masjid Nabawi. Ah.. Semoga saya dan keluarga bisa kembali lagi ke tanah hijrah Rasulullah ini.. aamiin.
Cerita yang masih berhubungan dengan ini:
Referensi:
Ghani, Muhammad Ilyas Abdul, Sejarah Masjid Nabawi, Madinah Al-Rasheed, 2004
2 thoughts on “Masjid Nabawi, Pilar Kota Madinah”