Ada satu fasilitas yang bagus dari Consultatiebureau Groningen (semacam Posyandu, yang fokus dalam kesehatan dan tumbuh kembang anak). Selain menyelenggarakan imunisasi gratis dan pemeriksaan rutin untuk anak-anak, Consultatiebureau juga sangat memperhatikan tumbuh kembang anak, misalnya bagaimana perkembangan si anak dalam berbicara, berkonsentrasi, dan memahami suatu instruksi.
Ada dua orang kawan Runa (orang Indonesia) yang belum lama tinggal di Groningen lalu mendapatkan fasilitas belajar bahasa Belanda lebih lanjut. Mereka berdua berusia 3 dan 4 tahun. Keduanya sudah memasuki usia sekolah (setara playgroup dan TK). Tentunya karena belum lama tinggal di sini, mereka memiliki kesulitan untuk berkomunikasi dalam bahasa Belanda. Meski sebenarnya untuk mereka bahasa bukanlah kendala dalam bermain di sekolah, tetapi memiliki basic bahasa Belanda akan membantu keseharian mereka.
Fasilitas belajar bahasa Belanda tersebut ada dua pilihan, menambah jam bermain mereka di sekolah atau mendatangkan fasilitator yang datang ke rumah untuk mengajak si anak mengobrol. Dulu Runa mengambil pilihan pertama, soalnya saya masih kuliah, jadi lumayan kan Runa mendapatkan satu hari tambahan di sekolah (di luar jam wajibnya) tentu tanpa menambah biaya apapun.
Kedua kawan Runa ini memilih fasilitas kedua. Jadi dalam seminggu sekali ada fasilitator (seorang ibu muda) yang datang ke rumah mereka untuk mengajak mereka mengobrol dalam bahasa Belanda. Sebut saja namanya Eva. Setiap datang ke rumah, Eva membawa beberapa instrumen permainan, seperti balok-balok kayu berwarna, papan bergambar, atau buku cerita. Ia akan mengenalkan kosa kata melalui instrumen tersebut, misalnya warna, angka, kegiatan, benda-benda. Durasinya sekitar satu jam.
Mamanya kawan Runa jadi tertarik juga ingin belajar bahasa Belanda. Tapi karena ia masih punya satu anak bayi lagi, agak susah untuknya untuk berpergian ke tengah kota, mengambil les bahasa Belanda di language center. Maka ia pun bertanya pada Eva, adakah fasilitas belajar bahasa Belanda serupa tapi ditujukan untuk ibu-ibu di rumah. Eva lalu berjanji akan mencarikannya, jika ada.
Berselang sebulan kemudian, Eva kemudian memberikan kontak sebuah stichting (yayasan sosial) pada Mamanya kawan Runa. Katanya Stichting ini bergerak dalam bidang pemberdayaan di lingkungan masyarakat. Ia pun menjadwalkan pertemuan dengan contact person-nya (CP). Mama kawan Runa ini kemudian mengajak saya dan dua ibu-ibu lainnya untuk ikut bertemu dengan Si CP. Soalnya Si CP menjanjikan boleh mengumpulkan sekitar 4 orang untuk ikut belajar bahasa Belanda bersama.
Kami berempat lalu bertemu dengan Marleen, CP dari stichting tersebut dan dua orang volunteer lainnya. Jadi Marleen ini adalah project leader dari Stichting Jij & Co, nama yayasan sosial tersebut. Ia menjelaskan bahwa yayasannya ini memiliki motto Sterk in Samenleven (menjadi kuat di masyarakat). Stichting ini bekerja sama dengan profesional, volunteer, dan caregiver dalam menjalankan proyek sosialnya. Kegiatan mereka antara lain membantu orang-orang tua agar tetap berdaya di masyarakat, menyelenggarakan kegiatan untuk wanita khususnya ibu rumah tangga, juga ada kegiatan mengajarkan membaca dan menulis bagi orang-orang tua yang buta huruf. Yang saya tangkap sih kebanyakan programnya untuk orang-orang tua. Tapi ternyata mereka mengusahakan juga ada kegiatan belajar bahasa Belanda untuk ibu-ibu seperti kami.
Namun, untuk kami ternyata bukan Stichting Jij & Co yang langsung turun tangan mengajari kami bahasa Belanda. Dua orang volunteer tadilah yang akan mengajari kami nantinya. Mereka adalah Marjolein dan Janneke. Ternyata mereka berdua adalah aktivitis kerk (gereja). Sama seperti kita para muslim yang mungkin ada yang secara sukarela mengajar anak-anak di komplek mengaji atau mau memberikan ceramah cuma-cuma, sebagai aktivis gereja ternyata mereka juga ingin menyisihkan waktunya agar bisa berguna di masyarakat.
Namanya juga volunteer tentunya mereka gak digaji dong. Marleen ini cuma menghubungkan antara kami dan Marjolein dan Janneke saja. Tentunya Marjolein dan Janneke ini tinggalnya juga masih di lingkungan kami, sehingga tidak susah bagi mereka dan kami untuk berkumpul untuk belajar nantinya. Selanjutnya Marjolein dan Janneke yang menjelaskan bagaimana kegiatan belajar bahasa Belanda ini akan berjalan. Nanti dalam setahun kegiatan ini akan dievaluasi lagi.
Kegiatan Nederlands Leren ini sebenarnya cukup sederhana saja. Setiap dua minggu sekali, sekitar satu sampai dua jam kami akan berkumpul di salah satu rumah, biasanya rumah Mama kawan Runa tadi atau di rumah saya. Mereka mengajari kami bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, mulai dari conversation yang simpel. Bagaimana menanyakan kabar, bagaimana belanja di pasar, kadang membahas kebiasaan orang Belanda yang berbeda dengan orang Indonesia, membahas mengenai makanan, belajar perbendaharaan kata objek yang ada di rumah, dan lain-lain. Kami menyepakati waktu les adalah setiap hari Rabu pukul 9 pagi, setelah kami semua mengantar anak-anak sekolah. Jadi kami bisa cukup bebas belajar. Hanya ada satu bayi biasanya yang ikutan, anak bungsu si Mamanya kawan Runa tadi. Tapi masih cukup kondusif kok.
Marjolein dan Janneke sangat ramah. Mereka tentu tidak pernah mempersoalkan perbedaan yang ada di antara kami. Kami semua berjilbab sedangkan mereka mengenakan kristiani dan Marjolein mengenakan kalung salib.
Saya sangat salut pada mereka. Marjolein masih cukup muda, usianya sekitar 33-35 tahun, ia bekerja sebagai dietist dengan jadwal kerja hanya dua hari dalam seminggu. Anaknya ada dua, usia 7 dan 5 tahun (kalau tidak salah). Ia bilang, “Saya hanya bekerja dua hari dalam seminggu, saya harus mengurus keluarga juga, itu sudah cukup. Menyisihkan waktu barang sejam dua minggu sekali untuk kegiatan sosial akan baik untuk saya.” Sedangkan Janneke sudah cukup tua, ia tinggal seorang diri. Jadi ia memang butuh berbagai kegiatan di sela-sela kesehariannya. Meski bahasa Inggris Janneke tidak begitu bagus, tetapi ia tetap berusaha mengobrol dengan bahasa Belanda yang sederhana agar kami mengerti.
Saya merasa amazed aja. Dari permintaan sederhana seorang ibu rumah tangga yang ingin belajar bahasa Belanda, malah bisa terwujudkan dari beberapa rantai orang. Dari Eva ke Marleen di Stichting Jij & Co, lalu dari Marleen ke Marjolein dan Janneke, lalu ke kami. Masya Allah. Mereka serius ya menanggapi rikues sederhana itu.
Saya tidak akan berbicara betapa majunya fasilitas yang ada di Belanda dan kuatnya sistem sosial mereka, apalagi lalu berkaca pada Indonesia. Seperti artikel yang berseliweran di internet, janganlah jadi diaspora yang bawel membandingkan negara maju dan negara Indonesia, gak appel to apple. Tetapi simpel saja sih, kembali ke diri sendiri. Seberapa serius ketika kita menanggapi permintaan sederhana dari saudara kita? Seberapa jauh kita ingin menolong saudara kita sendiri? dan yang paling sering kita dengar, seberapa banyak manfaat kita bagi orang lain?
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ
“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7)
Kami dan Marjolein
Personel Nederlands Leren dan anak-anaknya yang ikut serta belajar juga