Tanggal 24 November 2017 adalah jadwal yang ditetapkan dokter untuk operasi sesar.
Dua minggu sebelum lahiran
Selama ini kami pikir bahwa mau tak mau saya harus melalui proses kelahiran normal, sebab di Belanda angka kelahiran secara normal cukup tinggi. Para profesional kesehatan di sini memang sangat mendorong untuk ibu melahirkan normal. Tapi saya memiliki riwayat komplikasi dan juga kelahiran sc pada kehamilan pertama, jadi ternyata kami bisa memilih untuk melahirkan dengan cara normal atau sc.
Dua minggu sebelum lahiran, keputusan tersebut kami berikan pada obgyn. Obgyn tentunya memberikan preferensi untuk kami untuk melakukan VBAC (vaginal birth after C-section). Tapi tetap keputusan ada di tangan kami. Ia bilang, kalian yang akan menjalaninya, jadi kalian yang lebih tahu kondisinya dan tentu berhak menentukan. Setelah istikharah dan juga diskusi dengan suami, Mama-Papa dan Ibu-Bapak mertua, keputusan kami adalah menjalani sc. Bismillah..
Seminggu sebelum lahiran
Kami bertemu lagi dengan obgyn. Kali ini ia menjelaskan mengenai prosedur sc di sini. Setelah itu, saya harus menemui dokter anastesi. Tapi sebelum bertemu dengannya, saya melalui proses medication check, berupa wawancara singkat mengenai riwayat alergi dan obat-obatan yang saya konsumsi sebelumnya. Hal ini penting untuk mengetahui adanya alergi obat maupun kondisi kontraindikasi dengan operasi. Tekanan darah dan denyut jantung saya pun diukur. Baru setelahnya kami bertemu dokter anastesi. Ia menjelaskan mengenai prosedur anastesi. Ketika melihat riwayat sc saya dulu dilakukan dengan anastesi total, komentarnya: tidak usah khawatir, di sini 99% proses sc dilakukan dengan anastesi lokal atau epidural. Dan belakangan, pernyataannya itu malah menjadi boomerang bagi proses anastesi saya, heu. Mangkanya jadi orang gak boleh ngomong sompral, tetap harus tawakal sama Allah.
Lima hari sebelum rencana operasi
Hari jumat adalah jadwal yang sudah ditetapkan untuk operasi. Feeling saya sih berkata, kayaknya ini bakal lebih maju deh daripada jadwal. Entah karena sugesti dan memang sudah takdir, dari hari Minggu saya sudah merasakan mules. Mules ringan sih, tapi lama-lama semakin terasa dan intens. Senin sore, kontraksi tetap terasa. Awalnya suami menelepon rumah sakit untuk memastikan. Mereka bilang ditunggu saja dulu sebab kontraksi belum teratur. Teman saya pernah bilang kalau orang sini itu “agak santai”, jadi kalau sudah merasakan kontraksi yang cukup lumayan kita harus “agak lebay” menjelaskannya pada mereka, biar gak terlambat. Baiklah puncaknya pukul 11 malam, kontraksi yang saya rasakan sudah berkisar 10 menit sekali selama 30 detik. Sepertinya harus ke RS nih. Untunglah pihak RS gak lambat, kami disuruh segera ke sana. Runa sudah tidur, Alhamdulillah ada Sofa dan Yudi yang menemani Runa untuk malam ini, kalau misal saya memang harus melahirkan malam itu juga.
Selasa, 21 November 2017, 02.48 CET
Malam itu saya masuk ke ruangan melahirkan dan menunggu giliran operasi. Alhamdulillah dokternya ada yang stand by subuh itu. Saya lupa sekitar jam berapa akhirnya sambil menahan sakit kontraksi, saya disiapkan untuk operasi sc. Selain saya yang dipakaikan baju operasi, suami juga ikut dipakaikan seragam tersebut, sebab ia akan menyaksikan juga prosesnya. Proses sc di sini dibilangnya natural C-sec. Natural ini maksudnya sebisa mungkin proses melahirkan sama dengan kelahiran normal (ada poster penelitiannya dipajang di Martini Hospital mengenai natural c-sec yang juga aman dibanding konvensional c-sec.)
Ada dokter obgyn, dokter anstesi, dua perawat, dan juga dua asisten di ruangan. Sebelum memulai prosedur, dokter obgyn dan anastesi memperkenalkan diri dan menanyakan kondisi saya. Ya saya masih bisa menjawab dengan sadar meski sambil menahan sakit. Saya diberikan suntik epidural di punggung (kayaknya ada empat kali). Suami belum boleh masuk ruangan operasi. Tapi ia melihat dari luar ruangan dengan ditemani satu nurse, katanya jarum suntiknya segede badig, haha. Dokter memeriksa apakah anastesinya sudah bekerja. Ia menanyakan apakah saya merasakan kaki saya dingin. Lalu dia memastikan dengan melakukan sesuatu pada kaki saya (saya tidak tahu apa) dan menanyakan apakah terasa apa tidak. Saya jawab tidak terasa apa-apa. Saya masih sadar saat saya merasa dokter membelah perut saya (atau apalah namanaya), kerasa grek grekk gitu. Tapi setelah beberapa step, tiba-tiba saya menjerit keras, eh kok sakit ya. Dokter jadi kaget dan dia bertanya dua kali, “Ini beneran sakit atau kamu merasa kaget/panik aja?“ Yaelah Dok, beneran sakit.
Mereka langsung grasak-grusuk. Sepertinya ada yang “berbeda” dari prosedur operasi sc yang seharusnya. Kata suami dokter kelihatan agak panik. Selanjutnya mereka bilang, bahwa mereka akan melakukan anastesi total pada saya untuk mengeluarkan bayi. Suami saya malah merasa ingin pingsan dan lebih panik ketika kondisi berjalan di luar dugaan. Entah apa kali yang ada di pikirannya. Karena takut pingsan di tengah ruangan, ia pun digiring ke luar ruangan operasi oleh nurse.
Habis dijos anastesi total, saya langsung gak sadar. Alhamdulillah proses operasi tidak lama, satu jam kemudian saya sudah sadar. Saya sudah ada di ruang pemulihan. Lalu perawat membawa bayi pada saya. Sudah ada bayi di dada saya, Masya Allah! Suami mengazankan dan iqomat di telinga kanan kiri Senja. Perawat langsung menempelkan bayi untuk menyusu.


(bersambung)
Ya Allah… merinding, Mbak. Pas bagian anestesinya nggak mempan itu. 😦
Heuheu iya Mbak, Qadarullah kejadian ky gitu, tp alhamdulillah skrg sehat walafiat