Groningen's Corner

Kehangatan Semu sang Mentari


Masa-masa musim dingin sudah hampir berlalu, musim semi mulai mengintai hari. Matahari pun sudah muncul tak malu-malu lagi. Dominasi gelap dalam satu hari pun berkurang, terang semakin berimbang dalam hitungan waktu.

Ternyata setelah melewati empat kali musim dingin dan tiga kali musim semi, saya semakin menyadari bahwa homesick itu bukan datang saat bekunya musim dingin menyerang. Bukan pula karena melihat gelap yang lebih lama dibandingkan terangnya siang. Atau cuaca mendung yang tak henti-henti membayangi hari. Tapi perasaan mellow itu adalah ketika melihat matahari bersinar dengan teriknya, namun panasnya mentari sama sekali tidak terasa di kulit. Rasanya seperti semu yang terasa. Seperti dibohongi.

Habisnyaaa.. beberapa hari ini cuaca Alhamdulillah sangat cerahnya. Namun bukan hangat yang terasa dari pancaran mentari, sebaliknya malah dingin dan beku yang menghampiri kulit. Gak kerasa, kulit di jari-jari saya terkelupas saking keringnya. Berdarah, kering, perih, terus berulang. Padahal saya sudah antitipasi pakai krim pelembab untuk musim dingin.

Melihat matahari terik tapi tidak merasakan hangatnya, di situlah saya merasa kangen cuaca Bandung yang gerah. Saya ingin merasakan keringatan sambil menikmati minum teh botol dingin yang dibeli di gerobak mamang-mamang, lalu minumnya di bawah pohon rindang sambil mengusap peluh (khayalan macam apa ini).

Anyway happy spring break! Menyambut musim semi, kami (Runa tepatnya) libur seminggu. Liburan musim semi ini ditandai dengan dropnya suhu di bawah 0 derajat. Syukuri saja, Alhamdulillah wa syukurilah.

Matahari seterik ini kurang apalagi cobaaa??
Sampaikan salamku pada matahari yang menyinari tanah Bandung
Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s