Cerita Runa, Cerita Runa dan Senja, Groningen's Corner

Afscheid Nemen – My Goodbye Part


Tugas utama dalam mengurus pamitannya Runa sudah selesai. Runa sudah tahu kalau dia akan pindah sekolah dan berpisah dengan kawan-kawan dekatnya. Sejujurnya, saya penasaran juga bagaimana sih sebenarnya perasaan anak ini ketika harus meninggalkan semua yang familiar dalam hidupnya? Apakah dia sedih, kesal, bingung, dst. Tapi ya mungkin namanya anak-anak, pikirannya simpel aja. Mungkin dia sedih-pada saat itu, tapi ketika siangnya dia bisa main puas di playground, bisa nonton kartun kesukaannya, atau bisa main dengan teman-teman barunya, ia recover sangat cepat.

Saya juga ada momen perpisahan saya dengan sahabat baik saya waktu TK. Ia pindah ke Amerika soalnya ayahnya lanjut sekolah di sana. Yang masih saya ingat adalah, dulu beberapa hari sebelum ia pindah, saya merasa sedih banget. Di hari terakhirnya di kelas pun kayanya saya hampir nangis. Tapi saya gak ingat tuh kalau kesedihan saya berlarut-larut dan menganak sungai. Sepertinya saya baik-baik saja setelahnya. Untunglah kami bertemu lagi dong pas SMP, dia udah pindah lagi ke Indo pas SD dan kami masuk SMP yang sama. Akhirnya kami masih sahabatan sampai sekarang.

Oke, balik lagi pada afscheid nemen – say goodbye, saya juga masih punya tanggungan untuk pamitan, paling enggak sama tetangga kanan-kiri, meski tetangga kami gak banyak. Kalau sama tetangga yang orang Indo mah kami ga pamitan, da masih sering ketemu banget, haha.

Selepas dari mengantar Runa di hari terakhirnya di sekolah, saya berjalan ke arah apartmen lama kami. Saya mau pamit sama satu-satunya tetangga kami yang sering kami sapa, Oma dan Opa-nya Marijn, teman sekelas Runa. Di tengah jalan setapak yang biasa saya lalui, saya bertemu dengan kakek-kakek berwajah Asia yang sering “nongkrong” di bangku jalan setapak. Setiap pagi ia sudah standby di bangku situ, bersama anjingnya, mungkin habis mengajak anjingnya jalan. Ia sangaaat ramah. Ia selalu menyapa kami: “Goedemorgen!” dengan senyum lebarnya. Ketika melihat Runa atau Senja ia juga selalu berkomentar, “Wat knap!” atau “Wat mooi!”-lucunya/bagusnya. Ia juga suka bilang pas Runa naik sepeda ke sekolah, “je bent goed fietsen!” -kamu pinter nyepedanya.

Kami beberapa kali terlibat perbincangan santai. Dia duluan yang nanya, kamu dari Indonesia ya? Ternyata dia juga dari Indonesia, ortunya orang Indonesia. Tapi sejak kecil ia sudah dibawa ke Belanda. Sepemahaman saya kayanya pas jaman perang gitu deh dia ke Belanda, dan gak bisa balik ke Indo lagi. Singkat cerita saya merasa harus pamit juga sama dia. Sebab, pasti saya akan kangen sapaan ramahnya tiap pagi. Saya usahakan berbincang dengannya dalam bahasa Belanda, sekalian belajar. Tapi ternyata ia juga mahir berbahsa Inggris. Sayangnya ia sudah gak bisa lagi berbahasa Indonesia.

Dia bilang, semoga saya betah di rumah baru dan kapan-kapan mungkin bisa ketemu lagi. Saya bilang juga kalau saya sedih mau pindah. Dia jawab, gak perlu sedih toh, kamu gak pindah jauh-jauh amat, masih di Groningen juga, gak ada yang banyak berubah. He’s got a point. Kadang memang ucapan sederhana dari seorang stranger yang ramah, bisa membuat perasaanmu lebih baik.

Saya pun menuju apartemen-nya Oma Opa Marijn. Saya tentunya memberikan sedikit kenang-kenangan buat mereka, juga buat Mamanya Marijn. Gak banyak, cuma syal dan magnet kulkas khas Indonesia aja. Tapi kemudian Si Oma memeluk saya dan cipika-cipiki tiga kali. Saya melihat ia juga agak berkaca-kaca. Padahal kita gak akrab banget juga lho. Cuma emang Marijn sering main ke apato kita dan sebaliknya. Dia bilang kalau kapan-kapan Runa mau main sama Marijn di rumah dia sangat welkom. Saya tahu kalau orang Belanda nawarin itu artinya gak basa-basi. Ia bilang selamat menikmati rumah baru, tentu kan rumahnya lebih enak dari apartemen. Ada rasa haru juga ketika saya pamit. Ternyata hal kecil seperti pamit ini juga bisa membuat perasaan saya jadi hangat.

Untuk tetangga apartemen yang lain, kami jarang kontak. Yang lainnya ada tetangga persis di sebelah kami, ibu paruh baya dengan satu anak berusia 10 tahun (saya jarang lihat suaminya). Waktu Senja lahir, saya mengirimi tetangga-tetangga kartu pengumuman lahiran, eh dia lalu datang bawa kado untuk Senja, what nice. Satu lagi tetangga di bawah kami, keluarga yang berasal dari Arab Saudi. Ada satu lagi keluarga Iran yang tinggal di seberang apartemen kami. Kami sudah cukup lama saling mengenal, sejak pertama kali saya pindah ke Groningen kayaknya, Karena saya tahu di pagi hari mereka biasanya gak di rumah, saya hanya menyelipkan kartu ucapan say goodbye, disertai souvenir pembatas buku wayang khas Indonesia.

Benar saja, Ali-Si orang Iran, dan Ghadeer-Si orang Arab, mengirimkan pesan untuk kami. Mereka berterima kasih atas souvenirnya dan juga bilang semoga betah di rumah baru. Kalau Si Ibu orang Belanda, ia gak punya kontak kami. Tapi setidaknya ia nanti akan ngeh kalau tetangga sebelahnya sudah pindah.

Terakhir, saya juga harus mengucapkan selamat tinggal pada orang tua dari kawan akrab Runa, Marijn, Fiene, dan Lena. Untuk Marijn, sudah diwakili tadi sama oma opanya. Saya juga menyiapkan sedikit souvenir sederhana dari Indo untuk ortu Lena dan Fiene. Saya bertemu Papa Fiene di sekolah, ia yang lebih sering kelihatan mengantar Fiene. Saya suka sekali dengan gaya Papanya Fiene, dia super duper ramah. Ketika tahu saya menyiapkan souvenir, ia kaget dan bilang wah makasih banyak.. it’s very nice of you. Fiene juga sudah menyiapkan sesuatu untuk Runa, katanya.

Mamanya Lena lain lagi, ternyata dia malah memberi saya kado juga. Dia bilang dia nemu buku cerita rakyat Indonesia (tapi berbahasa Belanda) di toko secondhand. Dia langsung ingat Runa, dan mungkin buku itu bisa untuk saya belajar bahasa Belanda, haha. Tetep ya tapi hese belajar bahasa londo teh.

Tadinya mo curcol dikit kok jadi panjang ya, heuheu. Saya cuma ingin aja merekam momen pamitan saya yang singkat dan padat ini. Supaya saya tetap ingat bahwa saya juga memiliki kenangan manis selama tinggal di Lewenborg.

Saya belajar dari Runa dan teman-temannya. Meski mereka menghadapi perpisahan atau sesuatu yang menyedihkan, mereka akan cepat bangkit lagi. Mereka tidak berlama-lama mellow di dalamnya. Mereka cepat beradaptasi. Mereka selalu menemukan hal-hal menarik untuk dilakukan dalam hidup mereka, what a beautiful life!

Saya belajar juga dari orang-orang Londo ini, mereka mungkin ya tampak cuek, tapi ternyata mereka juga bisa menunjukkan ketulusan yang luar biasa. Ketika kita berbuat baik sedikit, eh mereka malah membalas dengan lebih baik lagi.

Pokoknya, menjalin silaturahmi itu tidak pernah salah. Makanya itu sampai ada hadits barangsiapa yang menyambung silaturahmi maka akan diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya. Silaturahmi tentu baik dengan sesama muslim, tetapi ya tetap umumnya untuk seluruh manusia. Bukankah untuk berbuat baik kita tidak perlu memandang latar balakang dan agamanya?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s