Catatan Haji 1437 Hijriyah, Diary Perjalanan Haji

Diary Haji 2016 – Manasik Haji part 2


Part 1 bisa dibaca di sini

Minggu, 11 September 2016

HARI ARAFAH – 9 Dzulhijjah

(Rangkuman) Amalan-amalan di hari Arafah:

  1. Setelah matahari terbit bertolaklah dari Mina menuju Arafah sambll bertalbiyah dan bertakbir.
  2. Untuk yang tidak haji, disunahkan untuk berpuasa. Tetapi untuk para jamaah haji, makruh hukumnya. Sebab saat wukuf di Arafah pun Rasulullah SAW mencontohkan tidak berpuasa.
  3. Jika memungkinkan salat Zuhur dan Asar di Masjid Namirah dan mendengarkan khutbah imam sebelum salat. Tapi kalau tidak bisa ya tidak apa-apa, jangan memaksakan diri. Ikuti saja instruksi dari ketua rombongan.
  4. Salat Zuhur dan Asar dengan jamak dan qasar (disingkat dan dijadikan dalam satu waktu, di waktu Zuhur)
  5. Melakukan wukuf di Arafah. Memperbanyak zikir, talbiyah, khusyu, bermunajat pada Allah, sampai matahari terbenam.
  6. Pastikan saat wukuf memang benar-benar di tanda batas wilayah Arafah.
  7. Saat matahari terbenam, pergi menuju Muzdalifah untuk mabit (bermalam)
  8. Salat Maghrib dan Isya dijamak ta’khir dan wasar.
  9. Bermalam di Muzdalifah dan mengerjakan salat Subuh di sana. Mabit hukumnya wajib, jamaah haji tidak boleh meninggalkan Muzdalifah sebelum salat Subuh
  10. Mengambil dan mengumpulkan batu kerikil. Batu-batu kerikil boleh diambil dari Mina atau Muzdalifah. Hanya dengan catatan: jangan sampai menyibukkan diri dengan mengambil kerikil saat mabit lalu mencucinya. Tidak ada sunah dari Rasulullah SAW mengenai itu. Pokoknya yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah hal yang tidak menyusahkan.
  11. Salat Subuh di Muzdalifah, setelahnya berdoa, bertahmid, bertakbir, bertahlil sampai langit terang.

… sambungan

Bus rombongan haji Euromuslim-Diwan bertolak dari Mina ke Arafah di pagi hari. Sejak subuh kami sudah bersiap-siap. Tidak ada yang pasti dari jadwal yang ada. Kadang bus datang lebih cepat, tetapi lebih sering bus datang lebih lama dari jadwal. Ngaret pun lumrah terjadi. Maka harus punya stok sabar yang besar. Bukannya gak mau tepat jadwal, tetapi dalam kondisi seperti itu akan banyak hal yang tidak pasti.

Bus kami berangkat cukup awal. Pukul 08.00 kami sudah mobilisasi ke bus dan berangkat menuju Padang Arafah. Pukul 09.00 kami sudah sampai di Arafah. Saya tidak sempat sarapan yang cukup. Kebetulan tidak disiapkan makan pagi juga di tenda. Jadilah perut saya terasa lapar di jam-jam seperti itu. Untung masih ada sisa makanan semalam dan juga biskuit. Note: selalu sedia cemilan pengganjal perut, ada kemungkinan distribusi makanan terlambat sampai ke maktab.

Pukul 11 siang kami diberi roti dan es. Alhamdulillah lumayan. Di tengah panasnya Arafah adanya es membuat badan cukup segar. Semakin siang, panas semakin terik. Sesuai namanya, ya Arafah itu tandus, tidak ada pepohonan. Masih untung tenda Arafah rombongan Eropa dibekali kipas angin. Di tenda UK lebih pol lagi, ada AC. Namun tetap saja, yang namanya puanassss ya kerasanya segala sesuatu rasanya jadi salah. Tenda Arafah lebih sederhana daripada tenda di Mina. Hanya ada karpet (karpetnya juga tebal lho, jadi empuk), dan ada terpal-terpal ntuk pembatas.

Kami mulai persiapan wukuf, membaca sedikit Al Qur’an dan persiapan doa-doa di Arafah. Setelah itu kami salat Zuhur-Asar berjamaah, jamak qasar. Hikmahnya adalah, agar kita lebih fokus pada ibadah pribadi dalam berdoa dan berzikir. Memang saat-saat di Arafah ibadah utama ya berdoa dan berzikir, memanjatkan doa yang paling dalam dari hati kita. Tidak ada ibadah salat khusus, bacaan doa khusus, maupun zikir tertentu. Semuanya terserah kita. Itu adalah saat-saat kita bisa bermesraan dan bermunajat pada Allah.

Rombongan Euromuslim dan Diwan kebanyakan melaksanakan salat Zuhur dan Asar berjamaah di tenda saja. Ada sih beberapa yang mencoba pergi ke masjid Namirah atau bahkan ada juga yang berusaha ke Jabal Rahmah. Saya mah di tenda saja, konsen pada ibadah di Arafah. Rasanya tidak sanggup ke Masjid Namirah dengan kondisi panas seperti itu, takut terpisah dari rombongan juga. Khutbah Imam di Masjid Namiirah pun diperdengarkan melalui spaker.

Kalau saya pribadi, saya memanjatkan doa pribadi saya, apapun, semua diminta. Macam curhat, dari yang paling penting sampai yang biasa saja. Lalu doa untuk keluarga saya, keluarga besar, saudara, sahabat dekat, saudara seiman, untuk Indonesia, untuk seluruh muslim di dunia. Saya juga memanjatkan doa-doa titipan yang sudah saya catat sebelumnya. Selain itu juga membaca doa-doa pilihan dari buku doa yang saya bawa. Diulang-ulang terusss.

Di antara doa yang paling baik dan penting untuk dipanjatkan pada Allah saat di Arafah:

  1. Memogon ampun dari segala dosa
  2. Memohon agar dimasukkan ke surga dan dijauhkan dari neraka
  3. Memohon kesalamatan dunia dan akhirat
  4. Memohon menjadi muslim yang istiqomah di jalan Allah
  5. Memohon agar ditetapkan nikmat islam dan sunnah

Ujiannya adalah: 48 derajat celcius! Sekitar pukul 14-15 adalah puncaknya panas. Rasanya semua salah, duduk salah, gak bisa nyender, semutan, kalau keluar tenda disambut debu. Di dalam maupun di luar tenda sama panasnya. Masya Allah, harus tetap istiqomah dan sabar, memanjatkan doa pada Allah. Panasnya di Arafah tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan panasnya neraka.

Alhamdulillah selalu ada supply air dingin. Air botol tidak pernah habis, ada es batu. Bayi-bayi di tenda kami mulai menangis. Kebayang sih, kita aja yang sudah gede merasa panas ke ubun-ubun, apalagi bayi. Salut pada keluarga tersebut, semoga Allah melimpahkan karuniaNya pada mereka, aamiin.

Oiya, tenda antara ikhwan dan akhwat terpisah lho ya. Jadi ya saya dan suami berdoa masing-masing. Suami nyamperin saya pukul 16.30, ngajak doa bareng-bareng sambil menunggu matahari terbenam. Kebetulan semakin sore, cuaca semakin membaik. Alhamdulillah nikmat berdoa bersama suami sambil menunggu waktu-waktu matahari tergelincir. Rasanya tidak ingin cepat-cepat berlalu waktu sore hari di Arafah.

Suasana di tenda Mina
Menjelang Maghrib di Arafah

Akhirnya Maghrib pun datang, saya berwudu dan siap-siap lagi, sebab kami akan segera mabit di Muzdalifah. Salat Maghrib dan Isya dijamak ta’khir dan qasar di Muzdalifah. Katanya bus akan menjmeput sekitar pukul 19.00. Kami sudah siap menunggu, barang bawaan juga sudah siap diangkut. Tenda-tenda sudah semakin sepi. Rombongan haji sedikit demi sedikit mulai dijemput busnya. Kami masih menunggu giliran. Ya Allah lamanyaa.. akhirnya saya balik lagi saja ke tenda ngegoler dikit. Tapi ya mau istirahat banget juga gak bisa, takut tiba-tiba bus datang menjemput.

Kira-kira pukul 22.00 baru bus datang. Antrian jamaah yang mau naik bus masih panjang. Suasana agak memanas sebab orang-orang sudah letih dan ingin segera naik bus dan sampai di Muzdalifah. Qadarullah rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak Euromuslim terpisah. Saya juga tidak satu bus dengan suami. Saya agak khawatir juga sih, nanti gimana di Muzdalifah yaa? Benar saja, sampai di Muzdalifah, sudah sangat penuuuuuhhh dengan jamaah haji. Saya menunggu bus yang mengangkut suami dan bapak-bapak lainnya datang. Pemandu dari Diwan mengarahkan kami ke lapangan tertentu, ia menggunakan bahasa Belanda. Saya dan beberapa kawan masih bingung, lebih baik menunggu instruksi dari Pak Said atau kedua ustadz Indonesia biar lebih jelas.

Saya dan beberapa ibu-ibu yang terpisah dari para suami akhirnya mengikuti pemandu dari Diwan, mencari spot kosong. Masya Allah, sulitnya! Para jamaah sudah pada bergelimpangan di tanah, udah ada yang tidur, ada yang baru datang, kain ihram para bapak sudah melorot ke mana-mana. Saya mencoba melipir satu-satu supaya tidak menginjak orang ataupun alas mereka. Berbagai bau campur jadi satu, bau keringat, bau pesing entah dari mana, debu bertebaran, panas juga. Ini adalah saat yang paling menengangkan buat saya. Soalnya saya gak sama suami, jadi agak deg-degan juga gimana mau melewati malam di tanah Muzdalifah yang telanjang ini (gak ada tenda, gak ada karpet), murni hanya berbekal alas atau sleeping bag yang kita bawa sendiri.

Tiba-tiba saya melihat Mas Arip, salah satu rombongan bapak-bapak yang di bus satunya. Ia melambai-lambai dari seberang jalan, menandakan ajakan ke sana. Bapak-bapak ternyata ada di seberang jalan. Jadilah saya kembali lagi melewati lautan manusia yang bergelimpangan. Saya pikir, terserah deh mau bermalam di mana, asal suami di dekat saya, agar saya merasa aman. Kondisi di sebarang jalan tidak jauh lebih baik dari kondisi tempat saya sebelumnya. Tetapi karena ada suami, rasanya lega.. Mungkin itu adalah rasa lega terbesar yang pernah saya rasakan selama menikah, rasa lega melihat suami di sebelah saya. Allah mungkin ini mengajarkan saya untuk senantiasa bersyukur terhadap pasangan yang diberikan. Diinget-inget lagi momen ini kalau pas sebel sama suami/ 

Begitu mendapat tempat dan bisa membentangkan alas, kami pun melaksanakan salat Maghrib dan Isya. Rasanya mau tetap terjaga untuk terus beribadah tapi kok badan berasa rontok. Mau tidur pun sulit, debu masih berterbangan dari bus yang lewat, hidung saya rasanya penuh debu. Merebahkan diri di alas pun punggung terasa linu sebab kerikil-kerikil tajam ada di bawah alas.

Malam itu saya lewati juga dengan terlelap beralaskan tanah dan beratapkan langit. Sampai waktu subuh tiba…

… bersambung ke part 3

Salah satu momen terberat ketika di Muzdalifah. Tidur beralaskan tanah yang penuh kerikil, beratapkan langit, dan berdesakan dengan ribuan manusia lainnya. Penuh debu dan asap serta ingar bingar bus yang mengantarkan jamaah
Momen tidak terlupakan di Muzdalifah

Advertisement

4 thoughts on “Diary Haji 2016 – Manasik Haji part 2”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s