Tiap hari Kamis, saya pasti gelisah dan deg-degan. Apa pasal, tiap kamis ada agenda merah bertengger di kalender saya: meeting pekanan dengan Ibuk supervisor. Dulu ketika saya masih memproses proposal S3 saya dan lanjut dengan proyek pendahuluan, saya juga sudah sering bertemu beliau secara rutin. Tapi tidak ada hal yang perlu saya cemaskan. Beliau masih manusia biasa, tidak ada tanda-tanda ia punya tanduk di kepalanya atau taring sepanjang galah yang muncul di bulan purnama. Saya juga tidak merasa kalau dia adalah tipe supervisor yang killer. Pokoknya everything went well-lah.
Tapi sudah lebih dari separuh tahun 2018 ini saya berinteraksi intens dengannya, tanduknya mulai keluar kepribadian aslinya baru terasa. Dulu ketika saya mencoba “melamar” beliau sebagai supervisor, feeling saya merasa bahwa dia tidak seperti Dutch pada umumnya, yang dingin dan to the point. Saya pikir supervisor S2 saya sudah cukup membuat saya kapok waktu itu. Gak lagi deh saya bergaul dengan tipe Dutch yang ngomongnya kayak Feni Rose (setajam silet). Tapi ternyata … setelah saya renungi, “silet” supervisor master saya dulu ga ada apa-apanya. Kalau boleh saya bandingkan, saya mau balik lagi dah sama supervisor master saya, daripada sama si Ibuk ini. Tapi roti sudah menjadi basi (berhubung Dutch makannya roti bukan nasi), we can’t turn back the time.
Semakin banyak bergaul dengannya, baru kelihatan ternyata si Ibuk ini kepribadiannya agak bipolar, haha.. Maksudnya kadang di satu meeting dia baik gitu ya, kayak jelmaan Dewi Kwam Im, senyum-senyum aja. Di meeting lain dia kayak streng banget mukanya kayak lagi sembelit. Suatu kali dia pernah memuji kerjaan saya, bahkan bertepuk tangan (untung gak sampai tepuk pramuka). Suatu kali lainnya saya pernah disayat-sayat dengan sembilu dengan perkataannya. Duh…
Lalu ada meeting meeting evaluasi 6 bulanan saya sebagai PhD. Di sanalah batu loncatan di mana tanduk si Ibuk mulai terlihat jelas dan berkilat. Saya cukup shock. Sebab, semua kawan saya yang PhD bilang, evaluasi 6 bulanan itu mah cuma ngobrol-ngobrol doang, santai, ga ada apa-apanya. Ternyata hal itu tidak terjadi pada saya. Mungkin banyak hal yang mempengaruhi juga, saat itu si Ibuk agak spanneng karena sibuk urusan ini itu, ditambah jadwal meeting kita mepet sama acara orasi profesor baru di departemen. Jadilah kayak semuanya seperti diburu-buru, dan yang keluar dari mulutnya adalah rentetan peluru. Saya yang hanya berbekal bambu runcing tentu kewalahan mengatasi serangan Ibuk kompeni. Jenderal Soedirman tolong sayaaahh, di sini ada kompeni ngamuk.
Hal tersebut cukup menyita pikiran saya selama seminggu. Saya cukup kesal dengan hasilnya. Lalu saya pun menulis email penjelasan yang cukup panjang padanya, sedikit komplen dan negosoisasi. Sampai akhirnya dia menjadwalkan evaluasi ulang. Untunglah dia tipe yang mau menerima masukan ya. Dia kayaknya sadar, sepertinya saat itu ia terlalu on fire (mungkin sedikit pms, haha) dan buru-buru. Akhirnya dia melunak dan lebih memberi banyak masukan positif dan jalan keluar. Alhamdulillah. Dia masih punya hati juga.
Tapi setelah hari itu, semua jadi terasa berbeda. Setiap ada meeting pekanan, saya selalu dirundung cemas: Did I make any mistake in my progress? Did I do wrong? Did I miss something to report to her? Beneran gak sehat, pingin nelen obat penenang rasanya.
Kawan-kawan sesama PhD sering menyemangati saya bahwa saya beruntung bisa diasuh di bawah bimbingan si Ibuk, sebab gak semua PhD bisa diskusi intens sama supervisornya, mereka mah bisa nyium bau parfum si supervisor di koridor aja udah seneng banget. Dalam seminggu aja saya bisa ketemu dia dua-tiga kali di meeting yang berbeda-beda, padahal kawan-kawan PhD saya sampai mohon-mohon ke supervisornya buat ketemu, eh saya mah keseringan. Suami pun tak kalah menyemangati. Katanya saya akan sangat bersyukur bertemu si Ibuk sebab banyak orang yang lost di awal PhD-nya karena supervisor terlalu cuek. Lha ini mah “perhatian” banget. Nanti di tahun ke-dua saya akan terbiasa dengan sikapnya dan malah bikin saya makin kuat.
Kawan-kawan saya bilang, bagus banget kerjaan saya dibahas detail sama dia, dikasih banyak masukan, bahkan dikritik habis-habisan. Mereka bilang, mereka pingin banget dikritik sama supervisornya daripada dianggurin. Yaa.. dikritik sih mau tapi caranya gak pakai bumbu boncabe level 10 juga keles.
Mungkin juga sih yaa.. mungkin.. saya yang terlalu banyak ngambil hati dari perkataan dia. Yah, namanya juga orang Asia, orang Indonesia, full of sugar coating talk dan banyak basa-basi. Tiba-tiba dikasih kultur yang beginian, ampun inang … . Salah satu kawan PhD saya (Dutch) yang juga dibimbing si Ibuk juga bilang, dia mah emang gitu … kalau saya udah tahu sih dia mau ngeritik saya di bagian itu dan saya sadar. Dianya selow-selow aja gitu, mungkin karena sesama Dutch, dia gak ambil pusing dengan kritik yang tajam. Mboh juga sih.
Sampai sekarang saya masih merasa skeptis sama si Ibuk. Sekali waktu dia memberikan compliment karena menurutnya yang saya kerjakan sudah baik (meski tetap dibarengi kritik di belakangnya). Tapi saya gak hirau sama pujiannya. Sebab saya takut, kalau di meeting kali ini saya masih selamat nih, tapi who knows di meeting ke depan, saya bisa kena semprot lagi. Menjalani hubungan dengan si Ibuk seperti laiknya naik roller-coaster. Kadang perut dikocok-kocok karena tegang, kadang ada rasa (sedikit) excited di dalamnya, pernah juga terasa datar seperti di awal laju roller-coaster. Tapi saya masih akan menjalani a roller-coaster relationship ini sampai 3.5 tahun ke depan. Pembaca Budiman … Doakan saya yaaaa …
Enak dong dari awal udah di cerewetin jadi bisa cepet kelar nanti
Iya sih mas, tp mamak2 suka baper kalo dicerewetin ni haha.
Mba moniiiik, semangaaat!!
*Cuma bisa bilang ini heuheu
Good luck buu!! Saya yang lagi skripsian jadi ikutan semangat hehe ^^
semangat mba monik. selalu excited tiap baca cerita mba monik