Being a Student Mom, Being Indonesian in the Netherlands, Mommy's Abroad

My 1-year Assessment as a PhD


Bismillahirrahimaanirrahim..

Harus banget ini nulis, sebelum saya sibuk (sok banget) dan lupa sama apa yang mau ditulis. Sebab, tulisan yang jujur adalah ketika kita sedang on untuk curhat, mwahaha.

Enggak sih, sebenarnya saya juga kangen nulis pakai bahasa kalbu dan bahasa Indonesia (sok banget banyakan nulis pakai bahasa enggres ya kamu Mon?). Bukannya mau, tapi tuntutan profesi, gemana lagi dong, padahal Enggres aku juga cemen sebenernya.

Jadi bulan Maret ini saya resmi sudah menjalani PhD mom selama satu tahun. Mulai dari yang cuma masuk dua hari, lalu dua setengah hari, tiga hari, sampai tiga setengah hari. Gak usah dibayangin gimana saya bisa menyusun jadwalnya deh, di sela-sela mengurus keluarga dan rumah. Menjelang satu tahun assessment go or no go saya ga berhenti berdoa sama Allah. Ya Allah moga yang ini berlangsung lancar, ga separah assessment 6 bulan saya dulu. Satu lagi saya berharap semoga paper saya yang sedang on process di salah satu jurnal bisa accepted. Supaya paling engga ada nilai plus dalam penilaian nanti. Allah Maha Kuasa, dengan pertolonganNya-lah, tiba-tiba 3 hari sebelum hari assessment, saya menerima email yang menggembirakan:

Paper pertama saya akhirnya accepted di salah satu journal Q1

Saya membacanya berulang-ulang sampai yakin, ini beneran accepted

Terima kasih ya Allah, Alhamdulillah, Alhamdulillah…..

Ini beneran bukan semata-mata hasil saya. Ada banyak faktor yang membantu saya bisa menyelesaikan semuanya. Support suami dan anak-anak, bantuan kawan-kawan dan kerabat, doa orang tua, dan tentunya dorongan supervisor tercintah saya, Si Ibuk. Kalau bukan karena dia yang meres-meres saya mungkin saya akan santai-santai. Kalau bukan karena dia yang ngoreksi kerjaan saya dengan detail, mungkin juga kerjaan ini ga akan beres.

Tapi bener ya, pelaut yang hebat itu gak lahir di laut yang tenang. Bukannya saya bilang saya pelaut yang hebat ya (emang bukan pelaut sih), tapi setidaknya saya ada di laut yang ombaknya gede bergulung-gulung. Gimana enggak, tiap minggu saya harus menghadapi si ibu di meeting reguler, duduk sama-sama, diskusi, ngebahas kerjaan satu-satu. Tentunya sebelum meeting saya harus nyiapin bahan, saya udah ngerjain apa aja selama seminggu ini? Gak banyak supervisor kayak gitu, yang bener-bener ngeluangin waktu untuk muridnya. Gak banyak juga orang yang tahan kerja sama kaya Si Ibuk, yang segala aspek dia komentari. Tapi saya merasa, dia kayak gitu karena dia profesional sama kerjaannya, passionnya itu dapet banget. Cuma masalahnya, saya tahan banting apa engga kerja sama dia?

Tapi kalimat pertama ketika assessment bersama kedua supervisor saya membuat saya berlega hati: We think you deserve a go, you have showed improvements …..

Saya berusaha memasang wajah senormal dan secool mungkin, padahal dalam hati udah girang teriak Alhamdulillah….

Oiya, Saat-saat assessment juga supervisor juga kudu dikasih feedback lho. Saya ingin bilang dengan jujur bahwa saya tuh sebenarnya agak gak nyaman sama style coaching-nya beliau. Namanya orang Indonesia ya, susah banget ngomong jujur to the point. Akhirnya saya formulasikan uneg-uneg dengan sehalus mungkin:

At first, there were maybe a cultural and personal differences with me and Pxxxx on how to communicate and discuss some issues. Sometimes it was difficult for me to get along with her style of coaching, that is make me discouraged, and that may seem for her I did not show eagerness on doing my research. But I guess it was the process on learning and how to work together. I learn to keep up and follow her pace, and not to take everything personally.

Intinya mah saya teh banyak makan hati sama Ibuk, (baca curcolan saya sebelumnya). But that’s tough love. Style coaching dia yang ala penjajah, mungkin sulit diterima oleh saya yang berhati hellokitty. Ketika baca komen saya di atas, dia tanya, lalu sekarang gimana, apa sudah lebih baik dengan style saya?

Ya saya bilang, udah mendingan Bu, tapi coba Ibu minum kombantrin dulu yang rutin biar agak lemes gitu, ga usah streng-streng amat (candaa..)

Saya bilang, ya udah oke, toh juga ga akan mengubah style coaching kamu? Saya yang harus lebih berjiwa Rambo kalau menghadapi Si Ibu.

Dia bilang, iya saya memang seperti ini, I won’t change.

Karepmulah Buk. Yang pasti saya memang banyak belajar dari dia, dia bener-bener nge-drill saya untuk melakukan hal-hal di luar kemampuan saya. Meski kadang lelah, tapi saya percaya, semoga ini semua ada berkahnya, ada manfaatnya.

Lain kali saya akan kupas style coaching dia itu kayak apa, siapa tahu bisa menginspirasi anda, haha.

Semoga Si Ibu dapat hidayah, aamiin.

Advertisement

1 thought on “My 1-year Assessment as a PhD”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s