Journey

Fokus yang Berbeda


Pukul 22.00, suami saya tiba-tiba menerima telepon dari kawannya, Mas Abu, sebut saja. Memang sudah lama sebenarnya suami saja mau menelponnya, tetapi sayangnya beliau sibuk. Kalau dikirimi pesan whatsapp, biasanya di atas jam 22.00 baru beliau balas. Kadang pukul segitu kami sudah tidur, atau tidak melirik ponsel lagi. Jadi begitu tahu saat itu ada waktu yang pas untuk mengobrol, akhirnya Mas Abu ini menelpon. Seru ternyata mendengarkan cerita Mas Abu. Dia ini memiliki restoran Indonesia, take away. Dia yang mengelolanya, memasak menunya, mengurus dari A sampai Z urusan tokonya, walaupun tentu dibantu juga dengan karyawannya. Mas Abu memang pekerja keras. Ia adalah wirausahawan tulen. Dia bilang, dia memang bukan tipe orang yang betah kerja kantoran. “Saya ini orang lapangan”, begitu katanya. Ia bilang, “Yaa … bisa saja saya buka toko ini lima hari, tapi saya punya cita-cita besar, saya memang memaksimalkan tujuh hari dalam seminggu untuk mengoperasikan tokonya.”

Memang apa sih cita-citanya Mas Abu ini? Dia dan istrinya, perantau dari Makassar. Mereka sudah tinggal di Belanda mungkin sekitar 15 tahun-an. Mas Abu ini punya mimpi untuk mempekerjakan orang Belanda dalam menjalankan bisnisnya. Gak main-main, dia gak cuma ingin berbisnis, tetapi ia ingin bule-bule Belanda ini yang nanti bekerja padanya. Mungkin semacam cita-cita ambisius yang absurd. Mas Abu dan istrinya ingin membangun rumah panti jompo dan menjadi pengelolanya. Panti jompo? Iya betul, kebutuhan akan panti jompo di Belanda cukup tinggi lho. Pertama, orang-orang Belanda ini kan usia harapan hidupnya tinggi, bisa sampai 80 tahun lebih. Kedua, kalau sudah tua dan tidak mampu mengurus rumah sendiri (dan anaknya gak bisa mengurus), biasanya mereka ya ke panti jompo, dengan biaya pensiunan dari pemerintah. Ide yang luar biasa dari Mas Abu ini. Untuk memulai bisnisnya ini, ya tentu butuh modal yang besar, dan ia gak mau berhutang ke bank Belanda. Jadinya ia mengumpulkan modal ini dari tokonya itu yang sudah dikelolanya cukup lama.

Saya membayangkan, sibuk benar pasti Mas Abu ini. Belum lagi bekerja di toko, memulai bisnis panti jompo, mengurus keluarga, duh ribetnya. Ia bilang bahkan hampir 3 bulan tidak bisa tidur nyenyak memikirkan gimana bisa menutup dana dari bangunan panti jompo yang sudah disetujui oleh yang menyewakannya. Kalau saya dan suami sih, memang safe-player, mikirin bisnis-bisnisan dengan modal ratusan juta boro-boro kepikiran. Kami berdua memang lebih nyaman dengan kondisi menjadi pekerja/karyawan. Walaupun ingin juga sih yaa jadi enterpreneur, kayak Rasulullah SAW.

Fokus kita , kerja dengan baik, ibadah dengan baik, kalau bisa sambil belajar-belajar bisnis Alhamdulillah, bisa ikut kajian rutin, bisa ngerjain hobi, udah alhamdulillah. Risiko yang besar belum menjadi fokus kami. Ada juga sih perjalanan hidup kami yang berada di persimpangan risiko yang besar, dan Qadarullah ternyata menjadi jalan yang terbaik juga. Salah satunya adalah risiko ketika kami hijrah ke Belanda dengan modal minim, suami gak kerja, dan saya tergantung beasiswa aja. Salah satunya adalah risiko menikah di usia cukup muda, 21 dan 22 tahun (bocah ya). Tapi memang mungkin kadang kita harus mengambil risiko besar untuk meraih sesuatu yang besar juga.

Dalam hidup, masing-masing dari kita akan memiliki fokus yang berbeda-beda, sesuai dengan tujuan hidupnya, mimpinya, cita-citanya, passion-nya. Dan itu tak mengapa. Tak perlu kita mengintip apa yang difokuskan oleh orang lain, kemudian merasa kita pun harus berfokus pada hal itu. Saya salut pada Mas Abu dan keluarganya, meski mereka adalah pasangan yang sibuk, ibadahnya bagus, ke masjid tak putus, bahkan haji dalam beberapa tahun sekali (Kan di Belanda ga ada batasan haji harus berapa kali, gak antri juga), Masya Allah. Salut tapi kami tak bisa berada di jalan fokus yang sama dengan Mas Abu. Sebab kami punya goal yang berbeda, sebab “style” keluarga kami pun berbeda. Fokusnya, fokus kami, tapi tak mesti saling mengikuti. Iri tentu boleh, iri untuk hal yang positif, iri melihat semangat orang lain yang bisa berfokus pada apa yang menjadi tujuannya.

Mungkin kamu punya passion dalam menulis, fokus menulislah, buatlah buku, buatlah karya yang bagus.

Mungkin kamu punya mimpi menjadi kaya raya, fokuslah bekerja keras, bekerja cerdas, dan agar berkah

Mungkin kamu punya cita-cita bisa menjadi orang yang bermanfaat, fokuslah untuk mengasah potensimu agar orang bisa mengambil manfaat darimu.

Tak lupa berdoa pada Allah untuk menjaga fokusmu agar tetap menyala.

Advertisement

6 thoughts on “Fokus yang Berbeda”

  1. Aku selalu iri gitu mba sama seseorang yang menghasilkan sesuatu tapi berusaha untuk mengubah iri itu menjadi doa. Kadang juga sadar si fokus aku dan orang yang bikin iri itu beda, jadi ya udahlah mencoba fokus dengan apa tujuanku.

  2. Kadang aku kagum sama orang yg berani ambil risiko sebesar itu ya.. Tp sama kaya teteh, aku pun lbh nyaman jadi karyawan. Setuju, tiap orang memang memiliki fokus yg beda2. Jd dr pada kita ngejar buat sama dg orang lain, mending kita fokus ke pencapaian pribadi yaa 😁

    1. Iyaa teehh.. ga bisa mbayangin gimana bisa ngatur segala rupa bisnisnya itu. Pingiinn kayak gitu juga, tapi emang gak bisa dipaksain harus sama kayak orang lain. Yang penting yang kita kerjain juga mengejar berkahnya ya Teeh.. aamiin

  3. mas abu dan fokusnya yang luar biasa yah mba, selalu iri sama orang yang penuh semangat apalagi yang dikejar tidak hanya untuk duniawi tapi sekaligus juga untuk akhirat, merencanakan panti jompo untuk orang tua, semoga dimudahkan dan dilancarkan rencananya mas abu dan berkah sekali hidupnya

    1. Betul Mbak, ada orang-orang luar biasa seperti Mas Abu ini. Melihat semangatnya kami juga jadi ikut semangat

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s