Kamu suka menulis, merasa menulis adalah bagian dari hidupmu, dan ingin sekali menerbitkan buku?
Tapi kok rasanya..
”Saya sibuk”, “Gak punya waktu”, “Gak pede dengan tulisan sendiri”, daaan berjuta alasan lainnya?
Awalnya saya pun seperti itu. Sejak masih berseragam SMP saya ingin sekali punya buku sendiri, setiap membaca buku karya orang lain, saya berpikir, kapan saya bisa menerbitkan sendiri? Setelah berabad purnama barulah mimpi itu terlaksana, alhamdulillah.
Apa yang bisa saya ambil dari pengalaman saya tersebut? Dan mungkin bisa dibagikan pada orang lain?
1. Menulis adalah mengenai jam terbang
Bohong kalau ada yang namanya penulis yang hanya sekali menulis lalu karyanya langsung bagus. Sama seperti seorang atlet profesional, yang membedakan ia dengan amatir adalah jam terbangnya, waktu latihannya. Semakin sering ia mengasah kemampuannya, semakin ia menjadi kompeten di bidangnya.
Bagaimana cara mengasah kemampuan menulis? Caranya mudah, hanya dua langkah:
Pertama, banyak membaca dan banyak menulis
Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Semakin banyak membaca, semakin banyak kita mengisi bahan bakar kita untuk menulis. Bahan bakar tersebut ya dibutuhkan untuk bekerja, eksekusi langsung, menulislah!
Tadinya untuk menulis satu halaman saja kita membutuhkan waktu seminggu. Setelah latihan menulis terus-menerus, waktu menulis kita terasa lebih singkat. Kita jadi lebih terbiasa dan hal tersebut mengalir saja. Yang mulanya seminggu satu halaman, eh bisa jadi sehari satu halaman, bahkan satu jam satu halaman. Itu sangat mungkin!
2. Menulis adalah mengenai konsistensi
First drafts don’t have to be perfect, they just have to be written
Tulisan kita tidak harus bagus, yang penting dia ada. Kadang kita sering mencemaskan, apakah tulisan kita cukup baik untuk diterbitkan? Tanya dulu, memangnya tulisan kita yang ingin diterbitkan itu sudah tuntas?
Naskah yang baik bukan naskah yang bagus secara isi, tetapi adalah naskah yang bisa tuntas dari awal sampai akhir!
Ketika kita sudah merasakan menulis sebagai suatu habit, langkah berikutnya adalah menjaga habit tersebut, konsisten! Istiqomah..
Contohnya, berhubung sudah mau dekat Ramadan nih.. Kenapa ketika bulan Ramadan kita bisa istiqomah puasa selama satu bulan? Karena tekad kita kuad, tekad yang kuad membuat kita menjadi konsisten dengan tujuan awal kita.
Tipsnya dalam langkah kedua ini: do not overthink! Just do it. Terserah deh bentuk naskah kita akan seperti apa, yang penting selesaikan dulu, mengedit itu utusan belakangan. Yang penting pekerjaan utama dan tersulitnya sudah rampung: menyelesaikan naskah
3. Menulis adalah mengenai persistensi
Apa bedanya persistensi dan konsistensi?
Persisten: terus menerus, berkesinambungan, kukuh
Dengan konsistensi, kita berpegang teguh dengan prinsip kita, bertahan pada pola yang sama. Misal menulis setiap hari selama satu jam satu halaman sampai akhirnya dalam waktu tiga sebulan jadilah naskah lengkap 90 halaman.
Bagaimana persistensinya? Ketika target tersebut sudah terwujud, naskah sudah selesai, apakah artinya semuanya juga sudah selesai? Tentu tidak.
Ketika kita merasa semuanya sudah selesai, lalu kita berhenti melakukan kebiasaan tersebut. Akhirnya kemampuan kita mengendur. Sama seperti seseorang yang sudah kurus karena diet dan olah raga setiap hari, lalu ia berhenti berlatih dan makan sembarangan. Yang terjadi adalah ia akan gemuk seperti awal sebelum diet dan olah raga.
Di sini anda kekurangan persistensi, atau dengan kata lain lack of persistence.
Konsisten itu ada pada permulaan, sementara persisten adalah yang membuat seseorang bertahan
nb: saya juga masih terus belajar soal ini.
So, masih beralasan gak punya waktu dan gak pede? Semuanya berproses dan harus dijalani, jika memang kamu serius dengan mimpi kamu menjadi penulis.
“Kalau kamu ingin jadi penulis, satu hal yang perlu kamu tahu: kamu seperti hidup dengan mengerjakan PR setiap hari. Berhubung nggak ada jam kerja yang jelas, maka yang kamu lakukan setiap hari adalah menulis untuk proyek baru dan proyek baru lagi. Seolah mengerjakan PR sepanjang hari.” Raditya Dika, Ubur-ubur Lembur
Bagaimana dengan latar belakang penulisan buku solo pertama saya, Groningen Mom’s Journal
Sejak dulu saya memiliki cita-cita untuk menuliskan cerita berdasarkan pengalaman sehari-hari saya. Tapi tidak pernah terwujud. Pengalaman dan momen tersebut akhirnya lewat begitu saja, saya lupa mau mulai dari mana menuliskannya. Nah, akhirnya kesempatan itu datang juga. Kali ini saya tidak mau “kecolongan lagi”. Ketika saya hijrah ke Groningen, Belanda, tentu banyak cerita di baliknya. Ada perjuangan, rasa lelah, air mata, tapi juga ada rasa bahagia, lelah yang terbayar lunas, juga kisah uniknya. Masa pengalaman berharga ini juga tidak membuat saya tergerak untuk menuliskannya menjadi sebuah buku?
Awalnya, saya hanya menuliskan pengalaman sehari-hari saya, yang terasa biasa, namun berkesan di blog ini. Saya menulis saja, tanpa memperhatikan bagus/tidaknya, ada yang baca atau tidak, bahkan juga tidak memperhatikan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang benar. Saya cuma ingin menuliskan apa yang saya tahu, apa yang saya alami, dan informasi lain yang mungkin berkaitan. Tujuannya tadinya memang untuk pribadi, tapi lama-lama saya pikir, mungkin orang lain juga bisa terbantu atau mendapatkan insight jika membaca tulisan saya.
Ketika mengirimkan naskah ke penerbit saya juga gak mikir apa buku saya nanti akan disukai pembaca atau tidak, hehe. Jangankan disukai pembaca, saya juga gak yakin ada penerbit yang mau atau tidak.
Tapi kembali lagi pada motivasi saya membukukan naskah saya: saya ingin punya suatu cerita yang bisa dikenang untuk dibaca anak-cucu saya kelak, atau bahkan saya baca lagi ketika saya sudah tua.Saya cuma ingin punya warisan dan kenang-kenangan yang bisa dibaca anak-cucu saya nanti, bahwa dulu kami pernah melewati masa-masa seperti itu di Groningen. Motivasi lainnya sebagai amal jariyah, semoga bisa membuat pembaca merasa termotivasi, tergerak, dan mendapatkan informasi dari tulisan saya.
Sekian semoga bermanfaat 😊