Saya mencatat apa-apa yang penting dari buku ini di blog, supaya saya gak lupa. Bahwa semangat saya terpantik setelah membaca buku ini. Jadi bismillah, semoga bisa bermanfaat.
Kadang kita suka bertanya-tanya kalau melihat ada orang yang kok kayanya berbakat banget dalam suatu hal: ada orang yang kelihatannya dengan sedikit effott tapi kok bisa mengerjakan sesuatu dengan maksimal. Misal ada teman yang kelihatannya gak belajar banyak Matematika, tapi tiap ujian nilainya paling tinggi, bahkan bisa sampai ikut olimpiade Matematika. Wah ini pasti otaknya encer, dan kita yang lemot dalam urusan logika dan angka. Lalu ada orang yang jago banget nih olah raganya, padahal latihannya kayaknya sama-sama aja. Ada orang yang sepertinya gifted dalam hal seni, main gitar bisa, piano jago, sementara kita kok bersin aja fals.
Pertanyaanya, apakah benar kalau orang-orang tersebut memang terlahir dengan sesuatu yang exceptional, yang kita sebut bakat, atau kelebihan di bidang tertentu? Buku ini menjawab rahasia tersebut, dari sisi ilmiah, dari riset, studi literatur, dan data-data sejarah. Boring dong? Sama sekali enggak, serius. Bacanya kayak lagi diceritakan suatu rahasia dari kemampuan manusia, yang kadang kita anggap gak mungkin atau gak penting.
Buku ini bermula dari cerita sang Maestro Musik, Mozart, yang terkenal sangat jenius, memiliki perfect pitch, yaitu keahlian mengidentifikasi nada dari instrumen musik, manapun. Mozart bisa secara langsung membedakan mana A-sharp di oktaf kedua, atau E-flat di bawah middle C, dst.. (Saya juga ga terbayang, haha). Semua orang percaya bahwa Mozart lahir dengan bakat musik yang luar biasa, udah dari sononya gitu. Tapi benarkah begitu? Hal ini kemudian dibahas detail di buku ini. Bagaimana potensi manusia itu sebenarnya luar biasa, even we can create our potential. Yang jadi masalah adalah, kita sendiri yang suka membatasi diri, kalau: “Saya mah gak bisa”, “Saya gak bakat”, “Otak saya cuma segini-gininya”, “Emang dari sananya kemampuan aku gini aja”, WRONG!
Kemampuan manusia yang luar biasa ini bisa dibentuk, dilatih, dan dikembangkan, dengan yang namanya DELIBERATE PRACTICE.
Apa itu deliberate practice? Ini bukan proses biasa, tetapi memiliki TUJUAN yang jelas dengan POLA tertentu. A purposeful practice has well-defined specific goal, more thoughtful, and focus/full attention.
Apa saja yang dapat dipraktekan dari deliberate practice ini? Nah, sebenarnya authors menjabarkannya panjang ya, dengan data dan hasil riset. Namun, saya rangkum saja.
- Tentukan your general goal: buat rencana, dari rencana kecil yang rutin. Training ini seperti putting a bunch of baby steps together to reach a longer-term goal
- Kamu harus keluar dari zona nyaman. Apa itu maksudnya? It means you are trying to do something you could not do before. Sometimes it is not always try harder, but try differently. Yang menohok adalah: if you’re mind is wandering or you’re relaxed and just having fun, you probably won’t improve. Hati-hati nih yang udah merasa ayem-ayem aja dengan porsi belajar/latihannya, berarti kamu dalam fase stagnan.
- Jaga fokus, untuk yang ini bisa baca buku Deepwork supaya lebih detail.
- Saat sedang menjalani latihan atau belajar, pastilah ada rasa bosan, kadang down, kalau rasanya kemajuannya gak terasa. Di sini diperlukan adanya motivasi. You have to figure out to maintain your motivation. You have to know your reasons to keep going and reasons to stop. Yang paling gampang untuk melemahkan alasan untuk berhenti adalah kamu harus punya fixed times dalam berlatih. Ini akan masuk ke bahasan mengenai habit (Saya lagi otw baca The Power of Habit). Kalau anak-anak sih menjaga motivasi gampangnya bisa dengan hadiah, pujian, penghargaan dari ortu. Kalau udah makin gede, mungkin peers acknowledgement, pride, tapi itu semua kadang sementara. Lama-kelamaan kamu akan merasa bahwa skill itu sendiri adalah motivasi kamu untuk terus berlatih.
- Belief is important. Percaya bahwa KAMU BISA. There is a path to achieving your dream. There is no reason not to follow your dream.
- Terus berlatih. You are forcing your body and brain to adapt to this training
- Harus punya mentor/guru, yang bisa memberikan feedback langsung terhada performa kamu. Jadi kamu tahu di mana letak kesalahan, dan kamu tahu bagaimana meng-improve-nya. Immediate feedback ini wajib dalam training ini. Kalau gak punya mentor gimana? Ada rumus 3Fs yang diterapkan oleh Benjami Franklin dalam meningkatkan kemampuan menulisnya sekelas penulis kolom koran ternama. 3Fs: Focus, Feedback, Fix it.
Di halaman 98-99 dijelaskan lengkap bagaimana sih ciri-ciri deliberate practice.
Disebutkan juga di bab berikutnya mengenai membangun mental representations. Ih makanan apa lagi tuh? Mental representations is mental structure that corresponds to an object, a collection of information, or anything else, concrete or abstract, that the brain is thinking about (halaman 58). Contohnya begini, seorang pemain catur, pasti sudah bisa memiliki pola di otaknya kalai pion ini gerak ke sini nanti akan terjadi A, jadi saya harus menggerakkan yang ini pion ke tempat itu. Atau bagaimana seorang pengemudi taksi di London yang bisa secara otomatis menyetiri penumpangnya dari satu titik ke titik lain, tanpa menggunakan peta. Dalam pikirannya ia sudah tahu langkah-langkah yang harus diambil untuk menempuh tujuannya. Atau bagaimana seorang dokter bedah bisa melakukan operasi rumit, tanpa harus buka buku anatomi lagi, ini bagian mana nih yang harus gue gunting? Kan berabe ya kalau gitu, wkwk… Jadi otak dan tubuh sudah otomatis untuk mengerjakan hal tersebut karena dalam pikirannya sudah ada step-stepnya.
Rasanya mental representations saya untuk beberapa hal gak bagus, sebab melewati training yang salah. Contoh dulu pas belajar pas S1 Farmasi, kan banyak hapalan, dan saya menghapal cuma hapal cangkem aja (bukan paham konsep), jadilah beberapa konsep tuh gak konek satu sama lain. Jangan ditiru. Nah makanya prinsip deliberate practice ini juga penting diterapkan dalam pengajaran. Bukan hanya untuk meningkatkan/mengembangkan skill tertentu, seperti kemampuan olah raga/musik.
Lalu bagaimana membangun mental repsentations? you don’t build mental repsentations by thinking about something; you build them by trying to do something, failing, revising, and trying again, over and over (Halaman 251).
Lalu apakah benar apa yang kita percaya mengenai natural talent? kemampuan dari “sononya”? Orang yang hanya mengeluarkan sedikit effort tapi langsung bisa? Nee.. No pain no gain. Practice make perfect. There are no big leaps, only development look like big leaps to people from the outside because they haven’t seen all of the little steps that comprise them. Even the famous “aha” moment could not exist without a great deal of work to build an edifice that needs just one more piece to make it complete. Nah kan, ngerti ora, Son?
Jadi ga ada buktinya kalau orang normal itu dilahirkan dengan kemampuan bawaan dari sananya, yang suaranya emang bagus, otaknya emang encer untuk matematika, atau berbakat seni. Lalu bagaimana dengan IQ? menarik nih dibahas juga di bukunya. Betul bahwa orang dengan IQ yang tinggi itu bisa lebih encer otaknya dalam memproses persoalan rumit, misal dalam catur, dan matematika. Tapi apa betul orang grand master catur itu semuanya ber-IQ tinggi? penerima Nobel Prize itu ber-IQ tinggi? Ternyata tidak. Bahkan ada data yang menunjukkan bahwa para grand master catur dengan IQ standar ternya memiliki kemampuan paling bagus/prestasi lebih di bandingkan dengan grand master dengan IQ tinggi. Kok bisa? Baca ya bukunya. Panjang ih mau dijelasin. Intinya mah itu ada hubungannya sama “seleksi awal”, tapi kecenderungan untuk mengistimewakan anak yang memang dianggap “pintar” atau punya bakat lebih, sehingga bibit-bibit bakat lainnya yang mungkin ada jadi tidak tergali.
Ini ada darkside-nya juga dari kepercayaan bahwa seseorang terlahir dengan “bakat tertentu”. Saya juga jadi belajar untuk tidak men-cap atau mengotak-kotakan bakat anak. Bahwa oh si ini mah emang pinter seni sih, jadi ya gitu. Ah anak saya kayaknya gak ada bakat olahraga, jadi gak usah deh ikut-ikut les renang. Hal itu malah jadi mematikan potensi anak sedari dini. So, stop judging ibu-ibu solehah. Tahan komentarnya dikit, iyaa.. bagus.
Lalu bagaimana selanjutnya? Jadi ya dalam hidup ini, kita sebagai manusia, tidak akan pernah berhenti berlatih dan berkembang (homo exercens or “practicing man”). Apalagi dalam dunia revolusi digital ini ya. Namun yang terpenting adalah untuk anak-anak kita: we have to give them confidence in their ability to remake themselves again and again, they can take control their abilities, and not held by hostage by idea of natural talent, atau dia lebih baik dari saya, dan saya gak bisa ngerjain ini. Anak-anak perlu diberikan knowledge dan support to improve themselves whatever ways they choose (Hal 259).