Ini adalah kisah mengenai seorang Oma di depan jendela
(1)
Sebelum pandemi, biasanya kami mengantar anak-anak ke sekolah naik sepeda. Ketika akhirnya sekolah kembali dibuka, Runa, anak pertema saya, gak lagi bersepeda ke sekolah. Sekolah memang menganjurkan untuk anak-anak yang rumahnya dekat di lingkungan sekolah untuk jalan kaki ke sekolah. Kendaraan hanya diutamakan untuk anak-anak yang rumahnya agak jauh. Hal ini untuk mengurangi gerombolan anak-anak/orang tua yang datang jam masuk dan pulang sekolah.
Kami pun mengantar anak-anak dengan berjalan kaki. Suatu kali, kami berangkat ke sekolah melewati jalan setapak di depan sebuah taman, yang di hadapannya berjajar rumah-rumah mungil. Rumah-rumah Belanda memiliki halaman terbuka dengan tipe jendela yang besar. Jendela tersebut kadang dibiarkan terawang tanpa ditutup gorden.
Adalah rumah pertama di deretan itu, dihuni seorang Oma yang tinggal seorang diri. Saat melewati rumahnya, kami refleks menengok jendela dapurnya. Sang Oma berdiri di sana, melambaikan tangan sambil tersenyum. Seolah mengucapkan, “Selamat pagi! Selamat menikmati hari ini.” Ternyata ia tidak hanya melakukannya pada kami, tapi pada setiap anak-anak dan ortu yang melewati rumahnya menuju sekolah. Ia seperti sengaja menunggu di depan jendela untuk menyapa orang-orang yang lewat.
Sejak saat itu, kami selalu melewati rute itu untuk bertemu mata dengan sang Oma. Entah mengapa, semangatnya seperti menulari saya. Yang mulanya hari Senin menjadi hari penuh beban untuk memulai pekan, tetapi di pagi itu rasa hati saya menjadi lebih ringan. Hanya karena lambaian tangan dan senyum ramah dari sang Oma.
Oma yang namanya pun kami tak tahu, tapi kami tahu hal kecil yang dilakukannya berarti untuk kami. Ada terselip rasa lapang di tengah kondisi lockdown yang kadang terasa menyesakkan.
One small thing, it’s a good place to start. One small thing leads to more, to the beginning of something big.
(2)
Bagaimana kabar Oma di depan jendela?
Rumah Oma meski mungil, tetapi tertata apik. Di halamannya tampak kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran. Saat musim semi ke musim panas, rumah Oma sangat cantik dengan berbagai macam kembang dan tanaman menghiasi halamannya.
Suatu waktu ketika kami belanja ke pasar, Pak Suami membeli 4 buket bunga tulip, karena sedang diskon. Ketika kami letakkan tulip-tulip itu di vas berisi air, Masya Allah mekarnya cantik sekali. Suami lalu punya ide, bagaimana kalau nanti kita ke pasar lagi, kita belikan juga bunga tulip ini untuk Si Oma. Sekalian kenalan. Runa pun semangat ingin segera menjalankan ide ini.
Sabtu lalu, kami membeli buket bunga lagi, kali ini untuk Si Oma. Saya dan Runa yang akan memberikannya pada Si Oma (sambil saya latihan ngomong bahasa Belanda, haha).
Sang Oma tampak surprised melihat kami di depan pintu rumahnya. Runa bilang: “We vinden heel lief om u deze bloemen te geven.” (Kami pikir akan baik kalau memberikan bunga untukmu).
Dengan berseri-seri Oma itu menerima buketnya, “Wat lief! Kenapa kamu kasih ini ke saya?”
Runa bilang: “Karena tiap hari Oma dadahin kami sebelum berangkat sekolah, kami jadi semangat.”
Omanya tersenyum lebar, “Saya memang merasa senang menyapa dan ngedadahin orang-orang di depan jendela saya.”
Saya jadi terharu. Kami pun mengobrol singkat. Ia jadi tahu kalau kami orang Indonesia. Ternyata waktu suaminya masih hidup, ia pernah tinggal di deretan rumah kami, sebelum pindah ke rumah mungil itu.
Setelahnya, Runa bilang pada saya, “Runa suka kalau kita kasih suatu ke orang dan orangnya jadi senang.”
Saya setuju, bahwa kebahagiaan itu dirasakan bukan hanya saat kita mendapatkan hadiah, tetapi kita jauh lebih bahagia saat kita bisa memberikan sesuatu pada orang lain.
Hai mbak Monik.. Duh, ikut terharu akutuh. Jadi pengen ketemu Oma, hihi.. Semoga sehat selalu ya Oma. Dan buat keluarga mbak Monik juga, kiss dari jauuh :*
Iyaa mbaak.. tiap lihat Oma-nya pagi-pagi jadi booster semangat gitu. Oma aja tu tulus banget ngasih senyum dan melambai. Ini kitanya pagi udah rungsing aja mikirin kerjaan, jadi lupa senyum dan bersyukur