Dari sekian tahun pengalaman bersepeda di tanah Belanda, saya pernah beberapa kali terjatuh dan luka. Ada jatuh yang menyebabkan cedera cukup parah, sampai bagian engkel dan mata kaki saya bengkak dan membiru. Rasa nyerinya bertahan berminggu-minggu. Jalan saya jadi teklek-teklek. Untungnya bukan patah, sepertinya tendon engkelnya robek.
Hari itu Sabtu di bulan Desember 2018, sudah hampir mendekati libur natal dan akhir tahun. Saya mengayuh sepeda dengan susah payah dari kampus menuju rumah. Suhu sebenarnya tidak begitu dingin, tetapi angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Rupanya KNMI (semacam BMKG-nya Indonesia) sudah mengeluarkan kode kuning.
Sebenarnya kalau buka kepepet, saya gak akan mungkin ke kampus akhir pekan. Tapi deadline untuk submit revisi manuskrip menunggu di bulan Januari. Sementara kedua supervisor akan mengambil cuti panjang di liburan musim dingin. Jadi revisian harus digenjot sebelum mereka off kerja.
“BRAAAK!” sepeda saya oleng, diterpa angin kencang yang tak pandang bulu. Kaki kiri saya berusaha menahan keseimbangan, tapi berat sepeda dan tubuh saya lebih condong ke kiri. Saya jatuh ditimpa sepeda.
Naik sepedanya kapok?
Alhamdulillah enggak. Sampai sekarang masih naik ke mana-mana, tapi jadi lebih hati-hati.
Ngerjain manuskripnya kapok?
Yah gemana itu mah, harus, kalo gak, yah gak beres dong sekolanya.
Kalau sekolahnya kapok?
Bismillah jangan yaa..
Life goes on, another day will come, kata BTS juga (saya bukan army, suer).
“…Jangan merasa takut (akan masa depan), dan jangan bersedih hati (akan masa lalu), sepatutnya kita bergembira dengan surga yang telah dijanjikan” (Fussilat 30)