Setelah banyak ketemu orang, berinteraksi dengan orang, ada kalanya saya butuh waktu untuk sendiri. Ketika ada banyak orang, kadang pikiran saya gak bisa berpikir jernih. Ngobrol ya ngobrol aja, ngomong, basa-basi, cerita, berkabar. Sampai di satu titik saya merasa, berinteraksi dengan orang (tertentu) itu butuh effort yah.
Suami berkerenyit mendengar statement saya, “Anda repot banget jadi orang?” Masa ketemu dan ngobrol sama orang aja butuh effort? Untuk Suami, Si tipe koleris-sanguinis, yang dengan gampang membaur dan supel, tentu itu hal aneh. Tapi berhubung kami sudah 10 tahun bersama dalam pernikahan, jadi dia ngerti aja maksud saya gimana.
You know, terkadang butuh energi untuk bisa berada dalam komunitas. Kecuali kalau komunitas tersebut adalah orang yang sekufu dengan kamu. Atau kalau hanya interaksi yang melibatkan saya dan satu orang lain (yang sepaham), itu akan membuat saya nyaman. Bukan, saya bukan tipe milih-milih teman. Hanya kadang saya suka merasa canggung menempatkan diri. Makanya saya suka mengira-ngira, bagaimana sebaiknya bersikap jika sedang berinteraksi dengan si A, si B, si C, atau dalam grup/komunitas tertentu.
Lagi-lagi Suami saya mendengus, “Anda ribet ya orangnya?”. Saya suka berkumpul dengan banyak orang, saya suka hadir di majelis, saya suka berramah-tamah. Tapi setelahnya saya butuh break untuk sendiri dan menulis. Saya rasa kalau menulis itu lebih simpel daripada berkata-kata. Walaupun saya akui saya juga orangnya suka ngobrol, suka ngomong. Tapi ternyata saya lebih suka ngobrol di pikiran saya sendiri terus ditulis. Kayak gini. Menyendiri sejenak untuk mengumpulkan energi. Sibuk dengan petualangan pikiran sendiri.
Ngumpul sama orang banyak itu kadang menyerap energi ya? celetuk suara di kepala saya. Dementor kali nyerap energi, haha. Untuk orang introvert yang bertopeng ekstrovert seperti saya ini, sebenarnya momen lockdown dan pembatasan berkumpul dengan orang memiliki arti sendiri. Seperti ada blessing in disguise-nya. Meski saya mengakui, saya kangen juga momen-momen berkumpul dan bermajelis.
Oiya, beda juga nulis di sosmed seperti IG dan facebook. Sebab kalau nulis di media tersebut, kayak ada rasa untuk diakui, di-like, dikomentari. Naluriah sih ya, namanya ge manusia, butuh pengakuan aja. Kalau di blog, kadang yang baca siapa, yang ngomen siapa, haha. Justru jarang banget followers di IG mampir di blog saya. Saya merasa lebih ekspresif di blog.
Kenapa ga di buku diary? Masih ada sih buku diary. Tapi tulisan tangan saya makin jelek makin ke sini haha.. Dan untuk hal-hal yang so deep dan so dark (halah naon sih), ya saya tulisnya di diary aja. Di blog ya isinya curcolan ketika saya sudah warasnya. Untuk besok-besok berkaca lagi.
Saya juga suka curhat sama orang kok, gak lewat tulisan doang. Tapi ya dengan orang yang tepat (ya sape juga seneng curhat sama orang ember). Saya punya beberapa sahabat dekat di Groningen. Sayangnya dalam setahunan lebih ini sahabat-sahabat terdekat saya di Groningen sudah pulang for good. Satu-persatu pulang ke Indonesia, dimulai dari tahun lalu, sejak pandemi datang. Ya memang tugas mereka merantau sudah selesai sih. Gak ada yang menahan mereka untuk lama lagi di sini. Sedih tentu, mewek pas melepas mereka, sudah jelas. Kalau sudah beda kota, meski masih bisa kontak-kontakan tetap saja rasanya akan beda. Saya merasa sekarang seperti ada lubang tak kasat mata di Groningen. Lubang yang tak tahu apa bisa tertambal atau tidak. Mungkin iya seiring waktu.
Namun saat ini, setelah banyak mendengar kabar duka dari tanah air, setelah ditinggalkan para sahabat ke Indonesia, dan setelah liburan ke gunung yang cukup melelahkan (sekaligus menyenangkan Alhamdulillah), saya butuh break dulu untuk berbicara pada diri saya sendiri.
Benar juga lockdown bagi introvert itu spt blessinh in disguise ya mbak
Haha.. tul sekali :p