Pria Belanda itu, seperti orang Belanda pada umumnya, tinggi menjulang. Hanya yang membuatnya lebih berkesan adalah, ia senang sekali tersenyum, dan ramah.
Sedih sekali saya mendengar kabar kalau ia sudah pergi. Bob Wilffert namanya. Profesor di bidang pharmacogenetic dan clinical pharmacology, University of Groningen. Pernah jadi kepala Dept. Clinical Pharmacy and Pharmacology. Tapi lebih dari itu, dialah supervisor pertama untuk studi saya di Belanda.
Tahun pertama saya jadi mahasiswa master di Groningen. Cupu sekali, buta riset, bahasa Inggris masih belepotan, grogian sangat. Memang jalan dari Allah untuk menggerakkan saya mengontak Bob Wilffert untuk menjadi supervisor riset pertama saya. Qadarullah ia membalas email saya dengan cepat. Darinya pula, saya dikenalkan dengan Kak Aizati, PhD student asal Malaysia yang sedang menjalani tahun kedua studinya di Groningen. Bob adalah promotor Aizati, ia menugaskan Aizati untuk jadi daily supervisor saya. Dua orang dengan kombinasi baik, yang membuat saya gak kapok untuk menjalani riset.
“Selamat pagi!”, “Selamat siang!”, “Selamat sore!”, begitu ia mencoba menyapa mahasiswanya yang berasal dari Indonesia dan Malaysia. Setiap saya berpapasan dengannya, ia akan berhenti sebentar untuk berpikir sebelum menyapa dengan pagi/siang/sore. Lama-kelamaan ia pun hapal sendiri. Lebih fasih daripada saya mencoba menyapanya dengan “goede morgen/middag”.
Saya yakin setiap orang pasti pernah mengalami “jinx” saat presentasi di depan publik. Entah itu lupa materi yang disampaikan, salah ucap, gemetaran, grogian, gak bisa jawab pertanyaan audience, dll. Nasib saya mengalaminya di presentasi pertama saya saat kuliah master. Saya harus menyampaikan presentasi awalan untuk riset saya di hadapan student master dan PhD di departemen tempat saya melaksanakan riset. Isinya mengenai background studi, metode, dan planning untuk melaksanakan riset. Saya udah siap-siap dan latihan dong. Slides ppt juga sudah saya kirim ke Kak Aizati dan Bob.
Namun, entah gimana, saat saya baru saja sampai di bagian metode, ternyata slide yang saya tampilkan di layar bukanlah slide paling update. Isi slide-nya sama sekali bukan yang saya latih untuk presentasi sebelumnya “I am sorry, ummh … it seems, this is not the slides … ummh … the updated slides.”
Bayngkan gimana panik dan nervous-nya saya saat itu. Gak bisalah langsung improvisasi macam pro. Langsung lidah kelu dan bingung ngelihat isi slide beda dengan yang ingin saya omongkan. Mau balik lagi ke laptop untuk nyari slide terupdate pun saya ampe gemeteran. Audience udah menunggu untuk saya angkat bicara lagi.
Lalu Bob, serta-merta bangkit dari duduknya dan menyerahkan kertas berupa print-an slides terbaru yang saya (sebelumnya) kirimkan untuknya. Ia memberikannya sambil tersenyum, seolah tak ada kesalahan yang terjadi. Dari sana saya pun melanjutkan presentasi saya yang sempat terhenti beberapa detik. Bob menjadi penyelamat saya.
Dari semua presentasi yang pernah saya lakukan selama saya studi. Presentasi tersebut yang paling saya ingat dengan detail. Saat di mana saya sepertinya akan gagal, tetapi sebagai seorang pembimbing, Bob segera mengulurkan bantuannya. Ia juga maklum dengan hal yang terjadi. Such things happen at the presentation. Riset pertama saya pun selesai dengan baik. Bob juga gak pelit nilai. Untuk bobot 30 ECTS, saya mengantongi nilai yang baik.
Bob adalah orang Belanda pertama yang membuat saya percaya bahwa tidak semua orang Londo itu tidak ramah, rude, dan gak menyenangkan. Saya rasa dia adalah Orang Londo yang lebih mirip orang Indonesia, saking ramahnya. Untunglah di tahun pertama saya studi, saya dipertemukan dengannya, bukan dengan profesor lain yang mungkin lebih streng. Apalagi mental saya ini cukup lembek.
Bob didiagnosis tumor otak dan menjalani operasi sekitar September 2020. Saat itu kesehatannya menurun. Tapi kemudian ada optimisme ketika saya melihat post dari MedpharmGroningen, Bob terlihat membaik dan akhirnya resmi pensiun di bulan Mei 2021.
So long Bob, and rest in peace. Saya tahu Anda orang yang baik. Kalau ada hal yang bisa saya contoh dari Bob adalah, bagaimana ia mengaplikasikan sunah Nabi SAW dengan baik, tersenyum. Dengan senyum yang ramah, yang membuat hati terasa hangat, sebagai sedekah yang paling mudah. Bahkan Monday Morning Meeting yang biasanya saya takuti, sebab aura meetingnya yang tense, terasa lebih damai ketika ada Bob.