Cerita Runa, Cerita Runa dan Senja, Cerita Senja

Mawar yang Mekar


“Hari ini Juf bilang kalau Euis (bukan nama asli, ya kalik anak Londo namanya Euis) balik lagi ke grup 4,” kata Runa, saat kami sedang makan malam.

“Eh gimana maksudnya?” saya dan suami yang tadinya asyik mengunyah jadi penasaran dengan cerita Runa.

“Tinggal kelas gitu?” lanjut saya, “Kan belum akhir semester, baru juga setengah jalan.”

Runa sekarang ada di grup 5 (setara kelas 3 SD). Kenaikan kelas di sini ditentukan sekitar bulan Juli, yang ditutup dengan libur musim panas. Bulan November/Desember biasanya memang suka ada evaluasi dari guru dari performa anak dari awal semester.

“Emang Juf bilang di depan kelas gitu, kalau Euis gak lanjut di grup 5? Gak papa emang sama Si Euis-nya?” tanya suami.

Orang tuanya Runa nih,dari kecil dididik dengan sistem sekolah dengan ranking dan dengan paham bahwa nilai adalah segalanya. Kami ada sedikit rasa ga enak pasti, ada perasaan bahwa “tinggal kelas” adalah suatu aib (ya gimana atuh, dari dulu doktrinnya gitu). Kami kan jadi kasihan sama si Euis.

Tapi Juf M dan Runa punya pandangan berbeda. Runa ngerasa biasa aja tuh Euis turun kelas, gak pity her atau merasa itu sesuatu yang buruk.

“Juf cerita tentang bunga mawar. Katanya di sebuah taman yang dipenuhi bunga mawar. Setiap tahun bunga-bunga mawar itu selalu mekar dengan cantik. Tapi tahun ini ada bunga mawar yang tidak mekar, sementara bunga-bunga yang lain sudah bermekaran. Si bunga mawar itu ternyata butuh waktu lebih lama untuk mekar dan jadi cantik, waktunya aja yang beda dengan bunga mawar lainnya.”

Kompak saya dan suami jadi saling pandang. Dari cerita Runa, kami jadi paham bahwa gurunya sedang mencoba memberi pengertian pada semua anak dengan ibarat bunga mawar tersebut. Ada anak yang kadang ada yang butuh waktu lebih lama untuk mengerti sesuatu, tapi toh di akhirnya juga dia akan berkembang dengan baik. Kayak lari, semua orang punya pace-nya masing-masing. Gak bisa semua pace 6 koma terus heart rate konstan di zona moderat-aman. Finish pun di waktu masing-masing. Hei sekolah itu bukan lomba lari juga kali.

Keprok sih sama Juf-nya Runa. Hal ini tentu membuat si anak yang turun kelas tidak berkecil hati, sekaligus membuat teman-temannya tidak merasa bahwa hal tersebut adalah hal yang memalukan. Disampaikan aja gitu di depan kelas. Lha kita dulu, dapat nilai merah aja rasanya malu, pengen sembunyi di balik bantal.

Jujur nih, kami juga merasa kesentil. Pasalnya kalau Runa memperlihatkan hasil ujian/nilainya, hal kedua yang keluar dari mulut kami setelah mengapresiasi hasil kerja Runa adalah: “Yang lain juga bagus ga, Run?”, atau “berapa orang yang dapat nilai A dari Juf?” Asli itu refleks, padahal ngapain jugaaa nanya hasil orang lain. Yahhh kami juga kan masih belajar jadi ortu yang baik atuh, hampura. Gak ada niatan membanding-bandingkan, tapi cuma pengen anaknya jadi yg terbaik aja #eh gimana? #ortuambisdetected. Pokoke kami juga belajar untuk meminimalisasi fokus pada hasil, tapi lebih fokus pada proses (ngemeng gampang yes). Masih ada efek dari didikan dulu kali ya? Semangat ortu!!

Advertisement

1 thought on “Mawar yang Mekar”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s