Manusia dibekali oleh nafsu, salah satunya emosi. Emosi yang kerap menghinggapi kita sehari-hari adalah emosi bernama marah. Semua orang pernah kesal, terus marah. Melampiaskan marah dengan bermacam-macam cara. Ada yang ngomel, ngambek, merutuk, bahkan menangis, atau menyimpan marah dalam hati. Tapi emosi itu katanya harus dikeluarkan, kalau tidak nanti tubuh kita sakit, jiwa kita sakit.
Tapi bagaimana mengeluarkan emosi marah yang benar biar gak merugikan diri sendiri dan orang lain?
Aslinya, saya juga gak tahu jawabannya. Saya masih perlu banyak belajar. Saya akui, saya termasuk orang yang mudah tersulut emosi. Rasanya kalau ada yang ngejentik saraf emosi saya, saya pengen segera menyalurkannya ke luar, ga pengen lama-lama di badan sendiri. Memang paling gampang nyalahin orang, dan marah-marah sama orang, apalagi kalau kita dalam posisi yang benar. Makin ada legitimasi untuk menyalurkan marahnya.
Marah. Karena benar, kita merasa berhak untuk marah. Entah pada orang yang tepat atau tidak. Apakah orang tersebut memang pantas untuk menerima bola kemarahan kita? Kadang kita gak peduli. Pokona aing hayang ambek we. Dan membuat orang yang berbuat salah pada kita itu merasa menyesal telah berbuat salah pada kita. Kira-kira begitu.
Saya juga pernah tuh misal kesel sama anak, yang emang berbuat salah. Mungkin bukan kesalahan fatal. Lebih ke kayak udah dikasih tau baik-baik, atau dilarang sesuatu, terus dia gak dengerin, terus akhirnya kejadian kan hal yang dilarang tadi. Udah deh, ngomelnya panjang. “Udah dibilangin kannnn ..”, “Gimana sih, makanya orang tua ngasih tau itu dengerin …”, dll.
Atau marah sama suami (pastinya kan marah sama pasangan mah pasti ada sebulan sekali mah, terutama kalau ibu-ibu lagi datang bulan, atau kalau lagi cape banget, lagi banyak kerjaan). Ada kesenggol dikit, keluar itu cerepetan marahnya. Dan paling seru tuh kalau udah bantah-bantahan argumen, seolah kita yang paling benar aja. Keluar suara melengking-lengking.
Atau marah sama orang yang menzalimi kita, mengambil hak kita, merugikan kita, menyinggung perasaan kita. Pasti terasa bergejolaknya darah dalam hati, panas. Kalau gak bisa menata emosi, bisa keluar kata-kata yang sebenarnya gak harus keluar.
Tapi setelah sadar, setelah marah itu keluar, saya baru sadar. Eh ya ampun, astagfirullah … harusnya saya gak usah segitunya amat. Kenapa sampai keluar kata-kata yang menyakitkan. Terus menyesal deh. Cuma kadang gengsi ya mengakui kalau kita salah. Biasanya at the end of the day, saya akhirnya minta maaf sama anak, “Maaf ya tadi Bunda marah-marah, karena A, B, C …”, lalu sambil meluk. Soalnya saya gak pengen tertanam di memori anak saya bahwa emaknya tu emosian, marah karena hal ini itu. Saya juga akhirnya minta maaf sama suami habis marah-marah (walau masih nyelip sedikit gengsi), tapi takut kualat kalau marah sama imam keluarga. Bisi Allah nanti yang marah sama saya, kan saya juga takut. Yang susah itu kalau marah sama orang lain, tapi kita gak ada kesempatan minta maaf langsung lagi. Mungkin gak ketemu lagi sama orangnya, atau dia itu orang yang gak sering kita temui.
Makanya sebelum marah, emang bagusnya dipikir dulu, worth it gak marah kita ini? Menyelesaikan sesuatu gak? Baiknya hati boleh panas, tapi pikiran harus tetap dingin, supaya bisa menyelesaikan konflik penyebab marah tadi. Gampang gak? Ya susaah. Mana ada orang mau marah untuk mikir dulu.
Maka kalau kita lihat Junjungan kita Rasulullah SAW, adalah sebaik-baiknya contoh. Nabi SAW memiliki ketenangan luar biasa dalam situasi yang menimbulkan emosi luar biasa, Nabi SAW tetap memiliki kesadaran penuh untuk bereaksi, tidak hanya dengan perasaan belaka. Coba ingat kisah Rasulullah yang dilempari baru ketika berdakwah di Thaif. Sampai Jibril pun menawarkan pada Nabi untuk menimpakan dua dua gunung kepada masyarakat Thaif agar mereka musnah. Tapi Masya Allah, Nabi tidak mengiyakan, sebab Nabi masih memiliki harapan bahwa ada generasi bertakwa lahir dari masyarakat Thaif.
Itu kan Nabiii, kita mah manusia biasa. Kilah kita. I know, i know. Tapi kita kan ingin jadi pengikut Rasulullah, yang diberi syafaatnya di akhirat kelak?
“Janganlah marah dan bagimu surga.” (HR. Al-Thabrani). Bahkan Allah mengganjar surga bagi orang yang bisa menahan marahnya. Menahan amarah itu sulit, maka hadiahnya juga besar. Masa surga mau dikasih dengan mudah?
Ada langkah-langkah yang diajarkan Rasulullah untuk
1. Membaca Ta’awwudz. Rasulullah bersabda “Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu A’udzu billah minasy syaithaanir rajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).” (HR. Bukhari Muslim). Insya Allah setan kabur yang menggoda kita untuk marah akan lari.
2. Berwudu. “Kemarahan itu dari setan, sedangkan setan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah.” (HR. Abu Dawud). Kalau di Indonesia mah enak ya, panas-panas, banjur air. Yang susah itu, kalau pas musim dingin di Belanda, mau wudu tu perdjoangan banget.
3. Mengubah posisi badan. “Kalau kalian marah maka duduklah, kalau marah itu tidak hilang, maka berbaringlah.” (HR. Abu Dawud).
4. Diam. Diam itu emas. Lebih baik diam daripada menyakiti orang. “Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah.” (HR. Ahmad). Menyeimbangkan antara memberikan suara kebenaran dengan memuntahkan emosi memang susah. Itu tadi, kepala harus dingin.
5. Bersujud, atau artinya salat sunah dua rakaat minimal. “Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud).” (HR. Tirmidzi).