Catatan Hati, Mom's School stuff, Mommy's Abroad

Suara hati 4 tahun ini


Masya Allah ya Ramadan itu, berkahnya luar biasa. Baik yang terasa langsung ataupun tidak. Jadi saya mau curcol dikit nih tentang kejadian yang menurut saya “kok bisa ya?”, yang Masya Allah skenario Allah gak bisa ditebak.

Mungkin yang dulu pernah baca curcolan saya di masa-masa awal PhD, atau yang baca buku The Power of PhD Mama tahu bagaimana struggle-nya saya saat itu. Gak semuanya tentu saya ceritakan. Dan selama tahun-tahun setelahnya, sampai tahun terakhir saya hampir selesai PhD ini (aamiin), Alhamdulillah semuanya baik-baik. Tidak ada drama lebay banget. Kalau rasa capek, frustasi, beban, mah biasa, tapi itu turun naik. Hubungan saya sama si Ibuk pun stabil, gak kayak rollercoaster lagi. Bahkan dia sangat suportif.

Tapi ternyata mungkin hal yang saya pendam dulu kala dan gak sempat tersampaikan itu ada momennya sendiri untuk terkuak. Suara itu menguar bebasnya di udara, tanpa ada percakapan antara saya dan si Ibuk. Tapi dengan perantara, di waktu yang baik.

Jadi ada kegiatan GUIDE Research Spring Day, yang diadakan oleh research institute GUIDE. GUIDE ini adalah salah satu sektor riset yang membawahi grup medical sciences and drug exploration. Departmen saya termsuk di bawahnya. Menariknya kegiatan ini diadakan di Forum. Jadi program pertama untuk gathering di UMCG yang besar dan offline, setelah pandemi. Kolega-kolega di departmen pun banyak yang ikut.

Saya pun daftar, karena ada slotnya juga. Kegiatannya ada Speech dari Plenary Speaker, Pannel DIscussion, dan Workshops. Untuk dua kegiatan terakhir, kita harus memilih mau datang yang sesi mana, karena ada 5 pilihan berbeda di slot waktu yang sama. Agak lama mikir pas nyentang pilihan, saya pun pilih Pannel Discussion Woman in Science, dan The Art Science Story Telling.

Opening oleh Elizabeth Bik keren pisan, tentang fraud in published paper, misconduct act gitu, lebih ke bidang biologi/biomedik, tapi tetap menarik. Luar biasa sih ada orang kayak beliau. Cek aja twitternya yang bersangkutan kalau penasaran.

Opening di RABO room, tempat saya waktu ikutan 3-minute-competition, haha

Sesi Pannel Discussion ini saya sebenarnya agak lupa saya milih apa awalnya. Ternyata memang judul panel-nya diganti jadi Diversity and Inclusion. Mungkin biar gak terlalu terasa feminis kali ya, jadi lebih general lagi. Saya pun ucluk-ucluk masuk ke studio tersebut. Eh eh kok, ternyata si Ibuk milih sesi ini juga ya. Ada postdoc tangan kanannya si Ibuk juga-slash teman seruangan saya dulu di kantor (sebelum pandemi), yang pernah saya curhati tentang si Ibuk beberapa kali. Panggil aja namanya Shelly. Dia juga masuk ke sesi yang sama.

Jadi Diversity and Inclusion ini membahas gimana sih supaya dalam riset atau di suatu bidang riset gak ada eksklusivitas. Jadi semua itu punya kesempatan yang sama. Itu kan yang sebenarnya digembar-gemborkan orang Belanda, egality, ga da perbedaan dalam berkarya atau dalam meraih kesempatan. Oh iya ini cocok dong buat saya bahasannya, seorang minoritas, perempuan, ibu, muslim berjilbab. Kurang beda apa lagi coba? Awal-awal diskusi ternyata banyak mengarah pada isu kenapa wanita itu seperti “terpinggirkan” di riset, untuk jabatan-jabatan penting dan top level banyakan pria. Lalu ada seorang PhD Mama (orang Italia) juga menyuarakan pendapatnya, sebab ia merasa ia tidak mendapatkan support dari universitas ketika ia hamil, melahirkan, dan menjadi PhD Mama. Orang bahkan ada yang menganggap kalau hamil dan punya anak itu menjadi “batu sandungan” dalam PhD dia. Lalu bahasan gender bias pun ada. Kenapa sepertinya lingkungan seolah memunculkan pria untuk bisa lebih mudah bekerja dll, tetapi tidak sama untuk wanita.

Saya pikir, okelah bahasan-bahasan ini relevan untuk saya. Dan mungkin juga lebih membuat si Ibuk ngeh, oh ini dulu juga Monik merasakan hal seperti ini. Tapi masih dalam level “oke” aja, belum to the point spesifik mengenai saya. Sebab selain menjadi PhD Mama, saya juga kan golongan yang diverse di departmen si Ibuk. Sebab semua-muanya adalah orang Belanda, beberapa Eropa, dan hanya dua yang Asia, belakangan ada PhD Malaysia masuk setelah saya. And I am glad, she is there.

Tadinya saya ingin ikut bersuara. Ini ngomongin gender wae, padahal kan diversity bukan cuma soal gender, tapi juga soal beda kultur, suku bangsa, negara, asal-usul. Tapi saya bungkam aja, takut salah ngomong kan. Nanti takut menyinggung si Ibuk. Akhirnya di 5 menit terakhir diskusi, saya baru teringat kalau peserta bisa melontarkan pertanyaan melalui menti.com, dan pertanyaan akan ditampilkan di layar besar di belakang para panelis. Gatel saya tulis aja pertanyaan bahwa, lha gimana dengan diversity in culture and nationality? Itu juga harus dibahas dong, Universitas udah melakukan apa untuk mengakomodasi itu?

Gak dinyana, tiba-tiba ada sebuah suara dari belakang, setelah pertanyaan saya muncul di layar. Bak air keran mengocor deras, perempuan berjilbab dari Oman itu bersuara lantang dan lancar (Sebut saja namanya Zarah). Persis seperti apa yang saya pikirkan. Dia memulai dengan bilang (kira-kira seperti ini): “Ini dari tadi ngomongin tentang karir wanita di riset, tapi kita juga harus membahas mengenai orang-orang dari kultur dan negara berbeda.”

Ia pun bercerita bahwa ia adalah PhD tahun terakhir. Ia punya dua orang anak. Ia sangat sibuk di lab untuk risetnya, tapi ia juga harus mengurus kedua anaknya. Sementara ia tidak bisa memasukkan anak-anakknya ke daycare, sebab mahalnya ampun-ampunan. Oke, ada tax return, tapi dia gak eligible untuk itu Kalau anaknya masuk ke daycare, ia harus bayar lebih dari 1000 euro per bulan, sementara ia gak dapat bantuan pengembalian pajak dari pemerintah. Sementara univeritas gak memberikan bantuan untuk mengatasi masalahnya ini. Masih panjanglah yang ia ceritakan mengenai perjuangan dia sebagai PhD Mama

DEGG. Ini kan aku banget. Walaupun Alhamdulillah aku tu dapat tax return, karena saya dan suami eligible untuk itu (karena beberapa sebab, panjang kalau diceriatin di sini maaah). Selama ia bercerita, Shelly sampai melirik ke belakang, ke kursi saya duduk, seolah merasa kalau itu tuh akurat banget untuk saya. Sementara si Ibuk, menatap Zarah, entah apa yang dalam pikirannya. Kalimat-kalimat dari dia seolah kalimat protes, keluhan, yang saya layangkan kepada si Ibuk di tahun pertama saya memulai PhD dengannya.

Masya Allah. Rencana Allah begitu elegan. Saya gak pernah sekalipun mengadukan keluh-kesah saya sebagai PhD Mama pada si Ibuk, dan Zarah seolah melontarkannya tepat di depan si Ibuk. Si Ibuk gak pernah bertanya, apakah saya bisa mengurus daycare anak-anak saya? Ia cuma bertanya berapa hari kamu bisa bekerja? Si Ibuk gak pernah tahu kecilnya gaji PhD bursary gak akan bisa nutup harga daycare. Alhamdulillah suami saya bekerja, dan kami bisa apply tax return, sehingga bayar daycare gak semahal itu. Lagipula kami udah lumayan mengirit dengan cuma masukkin satu anak aja yang ke daycare (Senja yang masih bayi), sementara Runa bisa kami titipkan ke Mbak Irma. (Alhamdulillah bantuan Allah sangat banyak melalui komunitas orang Indonesia di Groningen). Gaji PhD bursary yang tidak sama dengan PhD employee, tapi dengan beban kerja sama. Untuk itulah saya juga gak pernah mau ambil bagian untuk ngisi kelas tutorial ataupun ngambil anak bimbingan master. Ada sekali, itupun karena saya yang minta.

Ibuk mungkin gak pernah sadar, sampai hari itu … Dan saya merasa hati saya pun ringan bagaikan kapas. Saya tertidur sangat lega, senyum yang lebih lebar dibandingkan ketika paper saya terbit di jurnal.

Saya begitu berterima kasih dan bersyukur pada Allah, dan pada Zarah. Seusai sesi, saya mendatanginya, kami bertukar nomor, dan saling bercerita. Masya Allah kisahnya luar bisa. Gak bisa saya ceritain di postingan yang sama. Tapi saya kagum padanya. Hati saya hangat banget, gini ya rasanya nemuin saudara seiman di tengah tandusnya Islam di Belanda. Kami berjanji untuk bertukar kabar. Dan mungkin bisa bertemu lagi nanti, dengan anak-anak.

Saya yang tadinya merasa beban untuk menyelesaikan studi saya yang tinggal 6 bulan lagi jadi merasa pundak saya lebih ringan. Gimana kalau gak selesai tepat waktu? Apa saya harus lembur terus? Tak perlu saya ngoyo dan memburu-buru itu. Saya akan tetap mengerjakan tugas sesuai porsinya saja. Gak usah stres, gak usah menyamakan dengan orang lain yang bisa kerja rodi di tahun terakhir PhD-nya. Saya punya jalan saya sendiri. Mungkin Bapak-bapak PhD dan PhD tanpa anak bisa melakukan rodi untuk studi mereka hingga beres tepat waktu. Tapi mungkin saya enggak. Dan itu tak mengapa. Selama saya masih bisa mengurus anak-anak dengan baik. Insya Allah

Pannel Discussion Diversity and Inclusion. Zoom in pertanyaan saya yang di bawah
Sesi workshop mengenai storytelling juga seru. Tapi gak saya ceritakan di sini. Soalnya berita utama adalah di sesi Panel Discussion.
Advertisement

2 thoughts on “Suara hati 4 tahun ini”

  1. Salut buat yg phd mama yg bisa multi tasking mengurus anak dan thesis sekaligus.😀 Nggak mudah loh. Saya sendiri masih memakai strategi focusing at one thing at a time. Selesaikan studi master LN dulu balik fokus ke anak yg msh kecil stlh sdh gedean baru fokus lg ambil studi lanjutan kl ada chance…karena nyadar diri ini orgnya pusingan kl multitasking 😂 tar di sepanjang jln bnyk korban berjatuhan 🤣😂 Menarik sekali dengar cerita2mu mbak. Ya mmg msh demikian kondisi dunia saat ini. Perempuan masih hrs beradaptasi tanpa bantuan pihak2 tertentu. Mgk suatu hari di masa depan akn lebih baik tp buat yg hidup di masa sekarang kan ga mungkin lompat pakai mesin waktu 😂 Jadi sementara cerdik2 saja cari cara..dan ikut menyuarakan spt yg mba ceritakan. Sukses terus pHD nya 😀

  2. Mbak @Phebie, makasih banyak sharingnya, luar biasa pasti perjuangannya 💪🏻💪🏻. Semoga bernilai pahala ya Mbak semua jerih payahnya aamiin

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s