Being a Student Mom, School stuff

The Paranymphs (part 2)

Dulu saya pernah cerita mengenai pengalaman saya menjadi paranim di sidang S3/defense sahabat saya, Sofa, Oktober 2020. Di postingan tersebut saya cerita mengenai the role of paranymph di defense. Mendekati akhir tahun 2022, saya juga menjadi paranim di defense Mbak Afifah (yang menjadi tandem saya di defense-nya Sofa). Mbak Afifah melangsungkan defense secara hybrid, karena Mbak Afifah ada di Jember, Indonesia, dan beberapa pengujinya/oponen secara fisik dan online. Yang hadir langsung di ruangan defense di antaranya supervisornya, beberapa oponen yang berasal dari University of Groningen, dan rector maginificus sebagai moderator/pemimpin upacara. Ternyata dua paranim juga tentu diharapkan datang secara offline. Jadilah saya dan Mas Rifqi datang ke aula academic building, menjalankan tugas sebagai paranim.

Kali ini saat defense saya tiba, saya pun sudah ancer-ancer untuk “melamar” paranim yang secara tulus dan ikhlas mau membantu saya dalam dari urusan tetek-bengek sampai urusan penting soal defense. Paranim seharusnya adalah seseorang yang bisa membuat kita nyaman dan tenang di situasi genting, seperti persiapan ini-itu, sebelum dan di saat hari-H defense. Someone that we can rely on. Pertimbangan lain dalam memilih paranim adalah akan lebih baik jika ia adalah kolega di departemen yang sama agar ia sudah familiar dengan kolega lainnya (penting untuk urusan korespondensi, mock defence, undangan, dll). Selanjutnya kalu untuk preferensi saya, akan lebih baik kalau paranim adalah orang Indonesia juga, mwahaha. Bukannya saya tuh pilih-pilih teman atau gak mau bergaul dengan orang non-Indonesia. Tapi saya merasa lebih nyaman dan ekspresif aja ketika paranim memiliki “latar belakang” yang sama dengan saya. Pas panik dan rempong ngomong enggres kadang ga dapet aja sih feel-nya, haha. Namanya juga bahasa ibu yang paling nyaman, seperti pelukan ibu.

Continue reading “The Paranymphs (part 2)”
Being a Student Mom, School stuff

The Journey of My PhD Thesis Book

Yang membuat PhD thesis book di Belanda menjadi sesuatu yang personal adalah adanya kebebasan yang diberikan univeritas pada para PhD untuk mendesain sendiri buku thesisnya. Tentunya content yang paling penting, sebab tidak akan ada buku thesis ini jika isi di dalamnya tidak diapprove oleh reading committe. Setelah supervisors/promotors memberikan lampu hijau pada PhD untuk submit sebenarnya hilal kelulusan sudah hampir terlihat. Tahap berikut setelah submit ke sistem Hora Finita adalah pemeriksaan dari reading committe yang biasanya terdiri dari tiga orang. Siapakah reading committe? Mereka adalah profesor yang merupakan ahli di bidang penelitian kita. Tidak mesti sama persis dengan bidang kita, tetapi ada field mereka yang beririsan dengan penelitian kita. Contohnya reading committe yang memeriksa thesis saya antara lain: profesor/dokter dengan penelitian di bidang diabetes tipe 2, profesor di bidang epidemiologi, dan profesior/internis di bidang geriatrik/multimorbid.

Kembali pada bahasan PhD Thesis Book yang unik ini. I do feel that this thesis book is really personal to me. So, I really think about the cover and the layout inside. Saya masih ingat dulu buku skripsi S1 saya yang dijilid berwarna hijau telur asin. Semuanya seragam, hampir tiada beda. Yang membedakan mungkin dari segi ketebalannya saja. Thesis S2/master saya di Groningen bahkan tidak berbentuk buku, “hanya” berupa dua buah research report dari dua penelitian berbeda.

Lain dengan PhD Thesis Book di Belanda yang sangat bervariasi cover dan desainnya. Ketika saya melihat ada cahaya untuk submit thesis di depan mata, saya mulai memikirkan bagaimana rupa buku thesis saya ini, seperti apa ilustrasi utamanya, bagaimana ilustrasi itu menggambarkan isi thesis saya, warna apa yang menonjol, dan yang penting juga siapa yang akan mendesain ini semua?

Continue reading “The Journey of My PhD Thesis Book”
Being a Student Mom, School stuff

Propositions [stellingen]

“The propositions should be scientific, not religious, and should be defensible scientifically.  I suggest you change both 8-9 into one scientific proposition outside your work.” (EH, my second promotor).

Itu jawaban supervisor kedua saya ketika saya mengajukan propositions (atau dalam bahasa Belandanya stellingen) padanya. Memang propositions itu apa pentingnya? Dan gimana pengaruhnya sih dalam kelulusan seorang PhD?

Penting, sebab propositions adalah salah satu syarat kelengkapan kelulusan PhD sebelum defence. As a PhD in the Netherlands, along with your thesis you have to prepare and defend a few–usually 8 to 10–propositions.

Seperti yang dijawab oleh supervisor saya di atas, propositions are statements that are “opposable and defendable” and also should cover your research topic in the thesis book. Biasanya di urutan awal propositions berupa pernyataan dari chapters yang ada di buku thesis. Lalu, beberapa poin terakhir mengenai topik yang lebih umum, which can resonate or be relatable with everybody outside the research topic. This point can reflect your personality, concern about a specific topic, or what matter to you.

A bit tricky to write propositions, though it seems simple. Beberapa kawan PhD saya bahkan sudah “menabung” propositions dari tahun pertama PhD. Saya? Jangan tanya, saya mah bahkan bertanyea-tanyea, akankah saya mencapai masa dalam menulis propositions? Sering saya terpikir di tengah jalan, di tahun kedua, ketiga, dan keempat PhD saya, ah saya akan menulis ini dan itu. Tapi akhirnya tak ada satupun kalimat propositions yang saya siapkan. Saat itu saya lebih fokus pada membereskan semua riset untuk ditulis di buku thesis dan melakukan submission ke jurnal. Jadi, propositions baru saya tulis sekitar 4 bulan sebelum saya defense, wakwawww.. Itupun ketika diingatkan otomatis oleh sistem monitoring PhD, si ‘Hora Finita’.

Tadinya saya pikir, ah okelah gampang nulis propositions dari chapters thesis, ambil aja secuplik kalimat conclusion atau future prespective dari chapter tersebut, selesai. Lalu sisanya aya berencana mengambil dua poin propositions dari ayat suci Al-Qur’an dan hadits sebagai refleksi PhD journey saya. Tentu saya punya ayat dan hadits favorit yang membuat saya yakin (meski suka pesimis). Statements 1-6 saya ambil dari tiap chapters, statements nomor 7 adalah pandangan/argumen saya untuk topik penelitian saya (yaitu deprescribing) ketika diimplementasikan di Indonesia. Statements nomor 8-9 adalah ayat/hadits favorit tadi.

Eng ing eng, ketika saya ajukan ke supervisor pertama dan kedua, tentunya banyak komen dan perbaikan. Kata Si Ibuk spv tercintah: statements are also not a summary of your findings. Instead, they are based on your findings and should be defendable using your findings when you say (this thesis). I have now rephrased most of them, but feel free to adapt according to what you want to state.

Propositions eike ternyata kena banyak revisi! Karena saya agak ‘menggampangkan’ tadi. Yang saya pikir sebelumnya propositions adalah secuplik kesimpulan dari penelitian. Namun ternyata kita harus agak kritis untuk mencari celah ‘kontroversi’ dari simpulan tadi yang kemudian bisa jadi bahan diskusi saat defense. Akhirnya saya baca baik-baik suggestion dari supervisor pertama saya dan saya perbaiki. Saat itu ia tidak banyak komentar mengenai statements berupa ayat Al Qur’an dan hadits yang saya simpan di nomor 8 dan 9. Supervisor kedua saya yang lalu memberikan komentar pada statements 8 dan 9.

Yang saya tulis adalah:

Whosoever takes a path in search of knowledge, Allah will make easy for him/her a path to Heaven (hadith; HR: Muslim).

Hasbunallah wa ni’mal-wakil. Allah is sufficient, and He is the best disposer of all affairs.

Kedua itu yang menjadi pegangan saya ketika goyah menjalani PhD path ini. Supervisor kedua saya ternyata concern terhadap pernyataan yang saya ajukan di atas. Sebenernya saya sudah beberapa kali mendengar kalau beliau ini against ketika ada PhD yang memberikan statements berupa religious view seperti ayat Al Qur’an. Tapi saking favoritnya kedua ayat/hadits di atas, jadi saya coba aja. Ternyata emang ditolak. Tentunya saya harus nurut dong yaa. Ngeyel mah bisi ntar gak jadi dilulusin kan. Walaupun pernyataan Si Bapak spv saya ini make sense sih. Dengan rendah hati, saya menjawab: I agree with you, it’s true that religion view shouldn’t be debatable. Memang ayat Qur’an bukan sesuatu untuk diperdebatkan karena itu bukan kontroversi.

Akhirnya saya mencari pernyataan yang lebih general untuk bisa saya masukkan ke dalam propositions. Saya ingin tetap memberikan pandangan bahwa Islam adalah agama yang mementingkan ilmu dan pendidikan. Bahkan banyak scholar dari ratusan abad lalu merupakan muslim. Cendekiawan dan penemu yang hasil karyanya dan penelitiannya kita gunakan saat ini merupakan seseorang dengan Islam yang kuat. Yang kedua, saya mencari sebuah statement yang “saya banget”. Apa sih yang menggambarkan PhD journey saya yang penuh liku, tapi kemudian bisa saya lewati juga? Akhirnya jadilah dua statements di bawah yang saya ajukan.

Alhamdulillah akhirnya kesembilan statements yang saya ajukan diapproved: The propositions submitted by you have been judged to be defensible by your supervisors. Kata Hora Finita.

So, saran saya, sebenarnya bagus juga untuk menabung beberapa statements untuk propositions PhD thesis.

  1. Bisa membuat lebih percaya diri dan visioner, bahwa we shall overcome this PhD journey. Gak kayak saya yang punya penyakit pesimis-an,
  2. Bisa membuat lebih mengenal penelitian kita dan mencari celah kontroversi yang menarik untuk didiskusikan
  3. Bisa menjadi bahan refleksi dalam perjalanan ini….. Agar kita menjadi manusia yang lebih bijak (hasek)

Berikut propositions saya:

Oiya, ketika menjelang defense, saya mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan kalau propositions saya ini akan ditanya oleh para oponen. Kadang oponen senang membuka diskusi dengan menanyakan apa maksud dari statement yang kita tulis. Misalnya oponen akan meminta salah satu dari paranim untuk membacakan salah satu statement. Kemudian mereka akan bertanya, “Can you elaborate more of what you state there?” Dari kemungkinan tersebut, saya merangkai jawaban dari setiap statement yang saya maksud: ini merujuk ke chapter berapa, dan apa data/result pendukung pernyataan sata itu. Dengan begitu, saya lebih agak pede menuju persiapan defense.

Begitulaah, sekian dulu. Saya akan post reli mengenai PhD journey in Netherlands. Supaya ada gambaran bagi yang penasaran gimana sihhh S3 di Londo.

Doei!

Being Indonesian in the Netherlands, Cerita Runa dan Senja, Mommy's Abroad, [GJ] – Groningen’s Journal

Yang Menarik dari Pendidikan Anak di Belanda (part 2) – Hikmahnya

Hola-hola Bunda-Bundi, yang ngikutin terus cerita mengenai series pendidikan anak di Belanda, semoga masih setia nongkrong yaah, hehe. Dari yang awalnya cuma mau sharing mengenai pendidikan anak dari SD sampai kuliah di Belanda, eh ternyata postingannya beranak ya Bun. Maklumah emak-emak jarinya suka lemes kalau cerita, jadinya panjang deh. Gapapa ya, daripada lidah yang lemes, saya suka belibet kadang kalau ngejelasin gak pake ditulis dulu, mwahaha. #emakribetdetected.

So, jadi dari bahasan sebelumnya mengenai yang menurut saya menarik dari pola budaya dan pendidikan Londo lalu sampai ke stimulus membaca anak Londo, terus jadi apa dong hikmahnye Bun? Iya sih sistem pendidikan Belanda cakep, seolah tanpa cela. Etapi jan salah Bun, yang namanya sempurna mah cuma milik Allah. Kita mah manusia ilmu terbatas, jadi kalau begini bijaknya adalah bisa mengambil hikmah di balik kisah #tsagh.

Saya gak bilang pendidikan anak di Belanda ini terbaik ya, ada banget kekurangannya mah. Apalagi buat kita yang muslim ya. Kan tetep aja kepengenannya anak tu bisa dapet sekolah yang didikan ilmu agamanya komplit, gak cuma teori tapi sama praktiknya juga. Idealnya mah pendidikan cem Londo yang serba ter-support dengan baik, si anak enjoy, tapi dalam lingkup islami, dan gratis. Yuk ya yuk Bismillah kali aja bisa di masa depan Insya Allah ya, anak cucu kita mana tahu bisa menikmatinya.

Continue reading “Yang Menarik dari Pendidikan Anak di Belanda (part 2) – Hikmahnya”
Being Indonesian in the Netherlands, Groningen's Corner, Mommy's Abroad, [GJ] – Groningen’s Journal

Yang Menarik dari Pendidikan Anak di Belanda – mengenai stimulus membaca

Walaupun sudah sering saya sharing tentang ini baik di post IG, live IG, sesi kuliah whatsapp, dll, gak apa-apa yaa saya tulis lagi. Soalnya pertanyaan mengenai membaca ini juga terus-menerus muncul.

Ada yang namanya nilai PISA atau Programme for International Student Assessment dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yaitu penilaian untuk mengevaluasi sistem pendidikan suatu negara dengan mengukur kemampuan siswa berusia 15 tahun dalam sains, matematika, dan membaca. Skor PISA Belanda di tahun 2018 untuk reading literacy mencapai 485 poin dari rata-rata 487 poin dalam negara-negara OECD. Sebuah skor yang cukup tinggi.

Apa yang bisa membuat reading literacy anak-anak Belanda memiliki skor yang tinggi? Kalau saya perhatikan, hal ini datang dengan cara menstimulus anak sejak dini untuk menyukai dunia literasi, di antaranya:

  1. Anak diajak mencintai buku
  2. Fasilitas, sarana dan prasarana yang niat dari pemerintah
  3. Melibatkan orang tua dan komunitas dalam menumbuhkan kecintaan pada dunia literasi
Continue reading “Yang Menarik dari Pendidikan Anak di Belanda – mengenai stimulus membaca”
Being Indonesian in the Netherlands, Cerita Runa dan Senja, Groningen's Corner, Mommy's Abroad, [GJ] – Groningen’s Journal

Yang Menarik dari Pendidikan Anak di Belanda

Saya selalu tertarik memperhatikan budaya dan pola pendidikan di Belanda sejak Runa masuk sekolah Belanda. Ada aja hal yang unik dan baru saya temui. Hal berbeda dari yang dulu saya alami saat di bangku sekolah. Mungkin kalau sekarang di Indonesia pendidikan anak sudah berkembang pesat, jadi pendidikan anak tidak selalu konvensional seperti dulu.

Saya sering ditanya, apa sih yang menarik dari budaya dan pola asuh anak di sekolah Belanda? Di postingan kali ini, saya rangkum hal-hal tersebut biar saya gak bingung lagi nanti jawabnya apa. Ini saya susun random aja urutannya berdasarkan pengalaman Runa dan Senja.

Maatje/buddy

Sejak grup 1, saya sering mendengar kata ini dari Runa dan Senja. Maatje (baca: ma[t]ce) itu maksudnya buddy-nya di sekolah. Anak-anak di kelas biasanya dipasangkan oleh gurunya. Tujuannya biar mereka bisa kerja sama dan saling menjaga. Biasanya maatje ini akan bersama-sama di kegiatan tertentu, misalnya ketika jalan beriringan dari kelas ke lapangan, mereka bisa bergandengan tangan (supaya tertib). Tapi di kelas ya gak selalu terus-terusan dengan maatje-nya. Maatje ini juga akan selalu dirolling, mungkin setiap beberapa pekan atau beberapa bulan sekali. Kalau di Indo mungkin kayak teman sebangku yang ke mana-mana berdua kali ya, hehe.

Sistem maatje ini unik sih menurut saya soalnya membuat anak-anak jadi saling menjaga dan bertanggungjawab atas temannya. Selain itu juga membuat anak jadi lebih semakin mengenal teman-temannya, dengan sistem yang dirolling tadi.

Contoh ketika ber-maatje di ekskursi sekolah ke kebun
Maatje berjalan beriringan saat moving dari kelas ke tempat lain (misal ke lapangan olah raga)
Continue reading “Yang Menarik dari Pendidikan Anak di Belanda”
Being Indonesian in the Netherlands, Groningen's Corner, Informatie, tips & trucs, [GJ] – Groningen’s Journal

Kurikulum Sekolah Dasar Anak di Belanda

Reli mengenai pendidikan anak di Belanda lanjut lagi nih. Cek tulisan sebelumnya di sini: Bisa cek tulisan sebelumnya di: Sekolah Anak di Belanda (part 1)Sekolah Anak di Belanda (part 2). Sekolah Anak di Belanda (part 3).

Kurikulum yang dipakai di basissschool Belanda tergantung dari sekolahnya masing-masing. Ada beberapa kurikulum yang sering dipakai di Belanda, di antaranya: Jenaplan, Dalton, dan Montessori. Di postingan ini saya menambahkan satu metode pembelajaran di sekolahnya Runa, namanya Teamonderwijs Op Maat (TOM).

Runa udah pernah mencoba sekolah Jenaplan, Dalton, dan sekarang Runa di sekolah dengan kurikulum TOM. Soalnya yang pertama kami sempat pindah rumah, dan yang kedua kami pindah sekolah yang menurut kami lebih pas (bukan secara metode pembelajarannya sih), tapi lebih kepada input dan lingkungan anak-anaknya. Dari semua kurikulum yang pernah saya temui, ketiganya sebenarnya memiliki persamaan karakter pembelajaran, yaitu mengutamakan independen dan rasa tanggung jawab, serta adanya tailored-program (disesuaikan dengan kebutuhan anak).

Jenaplan

Konsep Jenaplan pertama kali diperkenalkan oleh pedagogi Jerman bernama Peter Peterson dari Jena, kota di Jerman. Walaupun katanya konsep ini sudah ada sejak tahun 1924 (mungkin di Jerman ya dulu mulainya), tapi buat saya mah ini baru. Jenaplan memegang konsep bahwa perkembangan anak adalah yang utama. Dalam kurikulum Jenaplan juga dipercaya bahwa setiap anak itu unik, mereka memiliki bakat dan gaya belajar yang berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, perbedaan tersebut harus dihormati.

Continue reading “Kurikulum Sekolah Dasar Anak di Belanda”
Being Indonesian in the Netherlands, Groningen's Corner, Informatie, tips & trucs, Mommy's Abroad, [GJ] – Groningen’s Journal

Sekolah Anak di Belanda (part 3)

Hai, hai, Bunda-bunda solehah dan baik hati. Ini baru sempat saya lanjutkan lagi series mengenai Sekolah Anak di Belanda.

Bisa cek tulisan sebelumnya di: Sekolah Anak di Belanda (part 1), Sekolah Anak di Belanda (part 2).

Setelah sebelumnya membahas mengenai pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar. Kali ini saya akan melanjutkan cerita mengenai jenjang pendidikan berikutnya, yaitu Middelbare school (Sekolah menengah ke atas/high school).

Kalau di Indonesia kita mengenal ada SMP dan SMA selama 6 tahun, di Belanda sistemnya berbeda, sebab SMP-SMA digabungkan menjadi secondary school atau disebut dengan middelbare school, dengan periode waktu 4, 5, atau 6 tahun.

Bagaimana anak lulusan bassischool melanjutkan ke middelbare school?

Setiap anak yang lulus pendidikan 8 tahun basisschool, (biasanya di sekitar usia 12 tahun) tentunya diharapkan untuk melanjutkan ke pendidikan menengah. Setahu saja ini juga bersifat wajib dan masih gratis. Seperti basisschool, orang tua hanya membayar uang kontribusi (yang tidak mahal). Seberapanya tergantung sekolah dan kota tempat tinggal.

Continue reading “Sekolah Anak di Belanda (part 3)”
Being Indonesian in the Netherlands, Groningen's Corner, Informatie, tips & trucs, Mommy's Abroad, [GJ] – Groningen’s Journal

Sekolah Anak di Belanda (part 2)

Halo-halo readers, tadinya saya bikin nulis mengenai ‘Sekolah Anak di Belanda’ ini untuk satu postingan aja. Tapi ternyata ketika udah ditulis, lho kok panjang ya, mwahaha.. Jadi saya buat series aja, cem drakor kan ya, biar seru.

Howkay, postingan sebelumnya bisa dibaca di sini, mengenai playgroup dan daycare

Sekarang kita lanjut mengenai sekolah dasar. Topik yang hot bukan, Bunda-Bundi sekalian? Mengingat bahasan mengenai esde di Indo sangat menarik, apalagi teman-teman sebaya saya juga sudah mulai menyekolahkan anaknya di esde, jadi tahu deh tantangannya nyari sekolah di Indonesia, beserta biayanya yang jadi momok, dan pilihan sekolahnya yang bermacam-macam.

Baik, cerita mengenai esde di Belanda mungkin akan berbeda dengan di Indonesia. So, bagian ini akan lumayan panjang ya gaes, jadi pelan-pelan aja bacanya.

Basisschool (Sekolah dasar/elementary school)

Menginjak usia 4 tahun, bertepatan dengan hari ulang tahunnya (atau paling ga bedekatan setelah tanggal ultahnya), anak sudah bisa mulai sekolah di basisschool, yaitu pendidikan dasar 8 tahun. Mulai dari grup 1 sampai grup 8. Grup 1 ini setara TK A/TK nol kecil, Grup 2 setara TK B/TK nol besar. Yang namanya SD kelas 1 itu setara dengan grup 3. Jadi jangan sampai bingung yaa. Satu kelas umumnya berisi dari 20-30 anak.

Menarik yaa.. kan katanya ada pendapat untuk tidak menyekolahkan anak di usia dini. Kalau masih bisa diurus emaknya, ya udah di rumah aja dulu. Toh di rumah banyak kegiatan yang masih bisa dieksplor. Bisa jadi benar, tapi harus dilihat dulu ke kondisi anak dan lingkungannya. Di Belanda, ya umur 4 tahun udah hampir wajib untuk sekolah, kalau gak nanti ditanya sama pemerintah, ini anak kok gak dikasih haknya untuk mulai sekolah? Karena fasilitas ini memang sudah disiapkan pemerintah untuk anak-anak. Bisa aja sih gak nyekolahin, misal alasan homeschooling. Tapi setahu saya tetap ada standarnya juga. Daku sih ya, ampun bang jago mo ngurus homescholing.

Sebenarnya, wajib belajarnya memang dari usia 5 tahun, jadi kalau di grup 1 itu anak masih bolehlah bolos-bolos karena males sekolah, capek, dan alasan yang remeh-remeh. Tapi kalau udah grup 2, apalagi grup 3, gak boleh deh asal bolos sembarangan, tanpa alasan jelas. Bisa-bisa kena denda nanti.

Durasi belajar di sekolah biasanya dari pukul 08.30 dan selesai di pukul 14.00 atau 15.00, atau ada yang short day yang pulang di pukul 12.30 atau 13.00, tergantung sekolahnya. Tapi jika ditotal, setiap sekolah akan memiliki durasi belajar yang sama per minggunya, hanya bagaimana mereka mengatur persebaran durasinya aja.

Bagaimana sih memilih basisschool yang tepat?

Continue reading “Sekolah Anak di Belanda (part 2)”
Being Indonesian in the Netherlands, Groningen's Corner, Informatie, tips & trucs, Mommy's Abroad, [GJ] – Groningen’s Journal

Sekolah Anak di Belanda (part 1)

Setiap negara pasti memiliki sistem pendidikan anak yang berbeda dengan negara lain. Selayaknya Indonesia yang punya program wajib belajar 12 tahun. Belanda juga punya program wajib pendidikan anak. Sejak tinggal di Belanda, waktu itu anak pertama saya masih 1.5 tahun sampai sekarang 9 tahun (plus anak kedua berusia 4 tahun), dan bersekolah di Dutch school, saya jadi ikut mempelajari bagaimana sistem pendidikan Belanda. Gak cuma anak saya aja yang belajar di bangku sekolah, saya juga belajar mengenai sekolah di Belanda, mengikuti program sekolah, dan bagaimana anak tangga pendidikan di Belanda.

Walaupun awalnya gagap, tetapi sistem di Belanda sebenarnya gak ribet membuat saya juga jadi gampang mengikuti step-step dalam pendidikan anak di sekolahnya. Memang yang menantang itu semua informasi dalam bahasa Belanda. Tapi setiap informasi diberikan sudah secara terstruktur (baik dari website sekolah maupun dari portal komunikasi sekolah). Jadi ya kita juga harus proaktif mencari tahu untuk tetap update. Kalau kesulitan, bisa bertanya aja ke guru atau orang tua murid yang lain.

Informasi ini juga mungkin juga berguna untuk para pendatang dari Indonesia yang baru sampai di Belanda. Gimana sih sistem sekolah anak di Belanda? Gimana memilih sekolah anak yang sesuai? Saya juga pernah menuliskan mengenai sistem pendidikan Belanda di buku saya, The Power of PhD Mama, terbitan NeaPublishing.

Jadi, secara umum jenjang pendidikan anak bisa dibagi 3:

  1. Peuteurspeelzaal [PSZ] atau (Playgroup/kindergarten)
  2. Basisschool (Sekolah dasar/elementary school)
  3. Middelbare school (Sekolah menengah ke atas/high school)
Continue reading “Sekolah Anak di Belanda (part 1)”