Lifestyle, Mommy's Abroad

Berlari demi Diri Sendiri

Hari itu, pukul 7 malam, saya baru sampai rumah dari kampus. Rasanya saya langsung ingin menyentuh kasur. Habis mandi air anget, makan, nelen parasetamol, salat Isya, trus langsung blas tidur. Pala pusing, badan remuk.

Bukan, saya bukan habis pulang ospek kok, atau bukan habis lembur ngelab, bukan juga habis kerja rodi membangun jalan Anyer-Panarukan. Tapi saya habis tes mata kuliah olahraga, yaitu lari ngelilingin sabuga 6 putaran, 2.4 km lah kira-kira (lintasan terdalam sabuga 400 m). Tes lari emang selalu jadi momok tersendiri buat saya dari SMP dan SMA. Sejak dulu memang selalu ada yang namanya tes lari di mata pelajaran olahraga. Jangan salah, rekor lari saya gak boyot-boyot amatlah. Saya masih bisa ngekor di belakang atlet sekolah sekaligus teman sebangku saya, SasQ. Tapi masalahnya adalah, saya gak pernah menikmati lari. Menurut saya tes lari itu bagaikan beban. Ada target yang harus dikejar untuk mendapatkan nilai bagus. Misalnya waktu kuliah, kita hrus bisa mengejar target lari sekian menit untuk bisa dapat 6 keliling sabuga. Yang paling saya gak suka adalah, efek habis lari bukannya seger tapi badan malah sakit-sakit ditambah sakit kepala. Aneh yak.

Makanya sampai saya udah punya anak, saya tu males olahraga, khususon olahraga lari. Sampai pada akhirnya di suatu titik, saya merasa butuh untuk meningkatkan stamina dengan jalan atau lari. Suami yang mendorong saya untuk memulai training itu, sedikit-sedikit aja. Titik balik itu adalah waktu kami hendak berangkat haji, di tahun 2016. Dari info yang kami dapatkan mengenai ibadah haji, hampir semuanya bilang bahwa dibutuhkan stamina yang kuat untuk bisa melakukan prosesi haji yang termasuk tawaf, sa’i, lempar jumroh, plus perjalanan yang di tempuh di antaranya. Fisik juga harus disiapkan untuk itu.

Baca Persiapan sebelum Haji, Apa Sajakah?

Wah, ini nih yang saya cemaskan. Stamina saya gak begitu kuat sebenarnya. Meski catatan olahraga saya ketika sekolah dan kuliah termasuk bagus, tetapi saya bukan orang yang sporty dan mahir berolahraga. Catatan bagus itu hanya karena saya berusaha lebih keras aja biar dapat nilai bagus. Kalau habis berolahraga, badan saya bukannya segar malah suka pegal-pegal dan kepala saya pusing. Persis kejadian yang saya ceritakan di atas tadi.

Akhirnya, mau gak mau, saya memulai untuk latihan jalan jauh dan lari. Track lari di dekat lingkungan tempat tinggal kami dulu termasuk enak banget. Sangat deso, pemandangan hijau, banyak pepohonan berjajar yang cantik, bisa melihat peternakan, damai-lah rasanya. Jadi saya lumayan termotivasi.

Track lari di Kardinge

Continue reading “Berlari demi Diri Sendiri”

Mommy's Abroad

“Hallo, Bandoeng!”

Dikirimi video berjudul “Hallo, Bandoeng” sama Bapak mertua. Videonya berisi video kilasan Bandung tempo doeloe, dengan lirik berbahasa Belanda. Bapak bilang, coba tanyain sama Runa ini lagunya tentang apa. Jadilah kami pun penasaran lirik dan lagunya tentang apa. Digoogling dan dapatlah.

Tadinya cuma baca dari Wikipedia aja, terus dari lirik berbahasa Belanda tersebut, saya udah bisa agak mengerti artinya. Meski bahasa Belendong eike ngap-ngapan, ye kan? Tapi gapapa sambil belajar. Terus udah feeling nih kayanya ini lagu berbau-bau bawang (maksudnya seudih dan mengundang air mata).

Beneran pas buka youtube yang udah ada arti lirik berbahasa Indonesianya, itu mah air mata langsung mendesak-desak keluar semua. Ngebayangin orang tua, ngebayangin anak, dan tentunya tanah air.

Monggo disimak di link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=dT-WFYKhFlI&feature=youtu.be

Lagu itu berlatar tahun 1920an. Ketika orang Belanda banyak yang ke tanah air (mari kita skip bagian penjajahannya. Itu mah memang sejarah kelam yang bikin sedih/kesel). Lagunya bercerita mengenai kerinduan seorang ibu yang sudah tua, pada anak lelakinya yang tinggal di Bandung. Ia menghabiskan uang tabungannya untuk bisa menelepon ke Indonesia melalui sambungan radio di kantor telegraf. Bukan Telegram di zaman mari yaa.. yang ada di ponsel pintar Anda. Jadi si anak entah tinggal di Bandung udah berapa lama. Dia menikah dengan wanita Indonesia, dan udah punya anak-anak. Anaknya bilang kalau setiap hari mereka selalu membicarakan sang Ibu, bersama anak-anaknya. Si anak-anaknya ini belum pernah ketemu Omanya, cuma melihat dari foto aja. Kabayang kaaan.. udah mah zaman baheula gak bisa nelepon tiap saat, mau kirim surat nyampenya seabad, mau pulang-pergi Indo-Belanda juga kudu pake kapal laut berbulan-bulan. Kangennya si Ibu dan Anak ini udah kayak apa.

Ini link Wikipedianya: https://en.wikipedia.org/wiki/Hallo_Bandoeng

Bercucuran air matalah si daku cengeng ini. Posisinya kebalik aja, kita yang di Belendong, ortu yang di Bandung. Terus Suami jadi pingin ikutan berdendang. Akhirnya dia nyanyi dan bikin kolase foto-foto yang ada Ibunya. Eike mo ikut nyanyi kan apa daya ya suara mencar-mencar kek kelereng disebar, hihi. Biarin aja suami nyanyi sendiri, dia pan emang ada sedikit bakatlah ya. Jadilah seperti ini https://www.youtube.com/watch?v=ZT0mKoQD2qs&feature=youtu.be

Tentu sukses bikin Ibu jadi termehek-mehek. Bapak juga. Mamaku juga. Wah beneran ni ratjun juga, bikin semua jadi pada mewek. Hal ini jadi penawar racun yang bisa mengobati kangen. Si aku karena bukan tipe anak romantis (tidak seperti suami dan ibunya), gak bisa tuh berehek-ehek sama si Mama membahas betapa kangen dan berterima kasihnya daku sebagai anak. Nanti deh mungkin kalau ada kesempatan eike nyenyong bole juga.

“Hallo, Bandoeng … Ja moeder hier ben ik …

 

 

Mommy's Abroad

“Dirijek, dirijek, dirijek aja”

Beberapa pekan lalu saya mengerjakan review manuskrip yang disupervisi oleh supevisor saya. Jadi dalam hal ini saya bertindak selaku reviewer yang diamanahi sebuah jurnal untuk mengecek “kepantasan” suatu manuskrip untuk layak terbit atau tidak. Jurnal tersebut lumayan ternama, masih Q1 di area medicine, edpidemiology, dan pharmacology.

Merupakan pengalaman yang menarik, sebab saya harus mengkritisi isi paper tersebut. Biasanya kan saya, sebagai PhD student, yang selalu kena kritik. Tentu ketajaman saya mengkritik masih selow, dibandingkan dengan si Ibuk supervisor. Dia bisa melihat dari sisi depan-belakang-kiri-kanan kekurangan dan kelebihan paper tersebut. Di beberapa tempat, si Ibuk juga sepakat pada poin-poin strong and weakness poin yang saya tuliskan di review. Sebagai reviewer, kita hanya berhak memberikan penilaian, tapi pertimbangan untuk rejection dan acceptance itu dari pihak editor jurnal. Jadi ya serah editornya. Editor akan menimbang dari kesimpulan major and minor concern dari beberapa reviewer yang dia tunjuk.

Baru kemarin ternyata saya diforwardkan email dari editor tersebut, bahwa paper tersebut bernasib malang. Ah sayang sekali paper tersebut kena reject. Padahal saya sangat mengapresiasi kerja keras authors dalam menuangkan risetnya ke paper tersebut. Saya membayangkan juga bagaimana dia bisa menghasilkan paper tersebut dengan banyak results, figures, dan tables. Pasti sang PhD tersebut pontang-panting menyelesaikannya (ngaca sendiri). Selain daripada dia juga menyitasi paper saya, ehem.. saya sebenarnya berharap papernya di-accept oleh jurnal tersebut. Menurut pandangan editor, dari dua reviewers, kesimpulannya ada major points yang harus diselesaikan dan nampaknya untuk sekarang mereka menolak dulu. Continue reading ““Dirijek, dirijek, dirijek aja””

Being a Student Mom, Being Indonesian in the Netherlands, Mommy's Abroad

Kontras

Friday drinks after work?”

Ajakan rutin di grup whatsapp kantor mendekati jam 5 sore.

Ya keles ikutan drinks, Jumat sebelom jam 5 aja eike dah di rumah.

Mungkin di saat kolega-kolega saya melepaskan penat setelah bekerja dengan kongkow di bar, saya sedang melepaskan penat saya dengan nonton kartun Netflix bersama keluarga, atau bahkan sudah kruntelan di kasur.

Sabtu paginya, mungkin di saat mereka masih bobo habis hangout semalam, saya malah sudah nongkrong syantik di IKEA untuk sarapan pagi atau bahkan sudah siap-siap pergi belanja mingguan, muter dari Oriental (toko Asia), Nazar (Toko daging halal), supermarket, atau ke pasar.

Banyak kontras yang saya hadapi di lingkungan kerja saya sebagai PhDmama. Saya sadar, saya sangat berbeda. Bukan hanya dari kultur, latar belakang, kepercayaan, tapi juga dari segi situasi kondisi harian.

Dari penampilan saja saya sudah terlihat berbeda. Belum lagi soal “menghilang” di jam-jam salat, tidak makan/minum di musim panas alias puasa Ramadan (yang mereka anggap sangat berat), dan tidak pernah ikut Friday drinks after work.

Dari sisi sikon: kalau kolega saya biasanya masih stay di atas jam 5 sore jika ada deadline, saya mah kalau bisa jam 5 kurang udah siap pulang (apapun kondisinya), biar bisa cepat-cepat jemput anak-anak. Kalau ada jadwal sekolah anak libur, saya juga ikut libur. Jika terpaksa ngantor ya harus cari akal gantian jadwal sama suami, bahkan minta bantuan sahabat kami untuk “menitip” Runa. Lalu ada juga saat-saat genting, pas sedang sibuk di kampus, tiba-tiba dapat telepon dari daycare: “Senja kayaknya kurang enak badan, mungkin lebih baik dijemput lebih cepat”. Mau gak mau ya tutup semua kerjaan dan cus pulang.

Sometimes being minority feels quite difficult. Menjadi berbeda membuat saya sedikit berkecil hati dan merasa terasing. Tapi teringat salah satu ceramah Ust. NAK menjadi kontras di antara mayoritas bukan berarti sesuatu yang salah. Islam pun datang dari keadaan yang asing dan akan kembali menjadi asing (HR. Muslim), berbahagialah menjadi orang yang asing selama berada dalam kebenaran.

Hal itu sangat menghibur saya. Paling tidak, saya tidak segan menunjukkan identitas saya sebagai muslimah dan seorang ibu. I’m adapting, but I’m not trying to fit in such community, I’m just enough to have my family and Allah by my side, Insya Allah. Hasbunallah wa ni’mal wakil.

*kali2 emak curcol gapapa yes.. biar variatif ga ngomongin anak mulu, hehe

Being a Student Mom, Being Indonesian in the Netherlands, Mommy's Abroad

My 1-year Assessment as a PhD

Bismillahirrahimaanirrahim..

Harus banget ini nulis, sebelum saya sibuk (sok banget) dan lupa sama apa yang mau ditulis. Sebab, tulisan yang jujur adalah ketika kita sedang on untuk curhat, mwahaha.

Enggak sih, sebenarnya saya juga kangen nulis pakai bahasa kalbu dan bahasa Indonesia (sok banget banyakan nulis pakai bahasa enggres ya kamu Mon?). Bukannya mau, tapi tuntutan profesi, gemana lagi dong, padahal Enggres aku juga cemen sebenernya.

Jadi bulan Maret ini saya resmi sudah menjalani PhD mom selama satu tahun. Mulai dari yang cuma masuk dua hari, lalu dua setengah hari, tiga hari, sampai tiga setengah hari. Gak usah dibayangin gimana saya bisa menyusun jadwalnya deh, di sela-sela mengurus keluarga dan rumah. Menjelang satu tahun assessment go or no go saya ga berhenti berdoa sama Allah. Ya Allah moga yang ini berlangsung lancar, ga separah assessment 6 bulan saya dulu. Satu lagi saya berharap semoga paper saya yang sedang on process di salah satu jurnal bisa accepted. Supaya paling engga ada nilai plus dalam penilaian nanti. Allah Maha Kuasa, dengan pertolonganNya-lah, tiba-tiba 3 hari sebelum hari assessment, saya menerima email yang menggembirakan:

Paper pertama saya akhirnya accepted di salah satu journal Q1

Saya membacanya berulang-ulang sampai yakin, ini beneran accepted

Terima kasih ya Allah, Alhamdulillah, Alhamdulillah….. Continue reading “My 1-year Assessment as a PhD”

Being a Student Mom, Being Indonesian in the Netherlands, Mommy's Abroad

A Roller-Coaster Relationship

Tiap hari Kamis, saya pasti gelisah dan deg-degan. Apa pasal, tiap kamis ada agenda merah bertengger di kalender saya: meeting pekanan dengan Ibuk supervisor. Dulu ketika saya masih memproses proposal S3 saya dan lanjut dengan proyek pendahuluan, saya juga sudah sering bertemu beliau secara rutin. Tapi tidak ada hal yang perlu saya cemaskan. Beliau masih manusia biasa, tidak ada tanda-tanda ia punya tanduk di kepalanya atau taring sepanjang galah yang muncul di bulan purnama. Saya juga tidak merasa kalau dia adalah tipe supervisor yang killer. Pokoknya everything went well-lah.

Tapi sudah lebih dari separuh tahun 2018 ini saya berinteraksi intens dengannya, tanduknya mulai keluar kepribadian aslinya baru terasa. Dulu ketika saya mencoba “melamar” beliau sebagai supervisor, feeling saya merasa bahwa dia tidak seperti Dutch pada umumnya, yang dingin dan to the point. Saya pikir supervisor S2 saya sudah cukup membuat saya kapok waktu itu. Gak lagi deh saya bergaul dengan tipe Dutch yang ngomongnya kayak Feni Rose (setajam silet). Tapi ternyata … setelah saya renungi, “silet” supervisor master saya dulu ga ada apa-apanya. Kalau boleh saya bandingkan, saya mau balik lagi dah sama supervisor master saya, daripada sama si Ibuk ini. Tapi roti sudah menjadi basi (berhubung Dutch makannya roti bukan nasi), we can’t turn back the time.

Semakin banyak bergaul dengannya, baru kelihatan ternyata si Ibuk ini kepribadiannya agak bipolar, haha.. Maksudnya kadang di satu meeting dia baik gitu ya, kayak jelmaan Dewi Kwam Im, senyum-senyum aja. Di meeting lain dia kayak streng banget mukanya kayak lagi sembelit. Suatu kali dia pernah memuji kerjaan saya, bahkan bertepuk tangan (untung gak sampai tepuk pramuka). Suatu kali lainnya saya pernah disayat-sayat dengan sembilu dengan perkataannya. Duh… Continue reading “A Roller-Coaster Relationship”

Mommy's Abroad, [GJ] – Groningen’s Journal

Catatan Ramadhan 1439: Mubazir – sebuah Jalan Keluar dari Keraguan

Setiap bertemu hari Senin, pikiran saya sering gelisah, terutama ketika membuka hari. Setiap hari Senin jam 9 pagi, saya memang sudah ada jadwal untuk ke kampus. Setidaknya ada dua jadwal meeting yang harus dihadiri di kampus. Yaa.. gak wajib-harus sih. Tetapi itu sudah jadi agenda rutin di departmen saya, sebagai anak bawang PhD yang baru mulai, sebaiknya saya manut apa kata supervisor. Terkadang di Monday Morning Meeting jam 9 pagi itu dan di GANG meeting jam 11, saya merasa pikiran saya loss aja gitu. Kalimat-kalimat yang berseliweran dalam presentasi dan diskusi bahkan ada yang tidak saya mengerti sama sekali. Saya merutuk, bergumam tidak jelas dalam hati. Hati dan pikiran saya seperti melakukan diskusi sendiri.

Ya Allah, napa saya ada di sini?

Apakah saya tidak salah tempat?

Why do I even hear something I do not understand entirely?

Kenapa saya tidak di rumah saja, nyaman di depan laptop, ngerjain hobi saya, baca sampai sakit mata, ngetik sampai pegel?

Apa yang saya kejar dengan mengambil sekolah lagi? Cukuplah saya mengurus bayi saya-yang makan MPASI aja belum-, sambil sesekali tidur siang bareng? Continue reading “Catatan Ramadhan 1439: Mubazir – sebuah Jalan Keluar dari Keraguan”

Cerita Runa dan Senja, Mommy's Abroad

Cerita mengenai Kehamilan di Belanda

It’s 37 weeks already! Alhamdulillah, sampai saat ini saya sehat dan begitu juga janin di dalam perut. Meski selama periode kehamilan ini tentu banyak tantangan, baik fisik maupun mental. Yaah.. namanya juga ibu hamil, keluhannya pasti ada aja. Mulai dari mual dan pusing di trimester pertama, harus menjaga asupan makanan yang bagus dan jangan sampai kecapekan di trimester kedua, sampai tidak nyaman setiap tidur malam karena sesak dan berat, serta beser di trimester ketiga.

Udah lama saya mau berbagi sedikit pengalaman saya hamil selama hampir 9 bulan di Belanda, bagaimana sistem kesehatannya, bagaimana pemeriksaan dengan bidan dan dokter, dan prosedur untuk mempersiapkan kelahiran, biar gak lupa pengalamannya. Tentu banyak cerita yang berbeda, jauh berbeda dengan kehamilan saya yang pertama di Indonesia. Jadi siap-siap ini postingan akan agak panjang.

Mulai dari mental dan kesiapan dari saya dan suami juga sudah beda. Dulu namanya anak pertama, pasti apa-apa khawatir, sedikit-sedikit ingin ke dokter, cek USG, nanya saran ini itu. Kalau sekarang saya cenderung lebih santai, atau jangan-jangan terlalu santai? Heuheu.. tapi tetap ada kekhawatiran sebenarnya, sebab pengalaman saya melahirkan anak pertama dulu cukup traumatis (ibuuu manaa yang lahirannya gampaang emaang?). Saya masih terbayang bagaimana kondisi dulu saya melahirkan Runa. Mungkin itu saat-saat paling terdekat dengan kematian.

Ringkas cerita, kehamilan saya dulu sangat baik, no big problem, mual muntah cuma sedikit, masih bisa beraktivitas kerja seperti biasa bahkan naik KRL dari Bekasi ke Percetakan Negara. Di trimester kedua saya dan suami sempat traveling ke Hongkong, saat saya ada konferensi Farmasi Klinik di sana. Di trimester ketiga kami juga sempat jalan-jalan ke Bali dengan pesawat, waktu itu suami ada meeting tahunan dengan klien kantornya. Saya yang sudah mau resign dari kerjaan ingin ikutan juga dong sekalian pelesir di Bali, membawa-bawa perut saya yang sudah demikian besar. Saya merasa optimis bisa melahirkan dengan normal, plasenta oke, BB bayi normal, ketuban baik, posisi bayi juga sudah di bawah.

Qadarullah, takdir berkata lain, sesiap dan sebagus apapun kondisi sebelumnya ternyata tidak menjamin bahwa saya bisa melewati kontraksi dengan baik. Baru di bukaan ke-4, tiba-tiba tekanan darah saya naik, sampai 190/110. Kepala saya sakit berat, saya muntah, dan pemeriksaan urin menandakan positif protein. Padahal selama kehamilan tekanan darah saya cenderung rendah/normal. Akhirnya saya harus menjalani operasi sesar dengan bius total. Belakangan saya tahu diagnosis dokter saat itu adalah impending eklampsi. Nah, berdasarkan pengalaman tersebut, sejak awal kami sudah memberitahu bidan dan dokter di sini mengenai riwayat tersebut.

Jadi bagaimana prosedur pemeriksaan kehamilan di Belanda?

Continue reading “Cerita mengenai Kehamilan di Belanda”

Groningen's Corner, Mommy's Abroad, Pharmacisthings

Runa Schoolreisje

Hari Kamis (4 Mei) kemarin, sekolah Runa mengadakan schoolreisje (school trip), mungkin kalau di Indo namanya karyawisata kali ya. Kali ini tujuannya ke Wildlands Adventure Zoo Emmen. Semacam kebun binatang yang dilengkapi arena petualangan seru di dalamnya. Mereka pergi dengan bus yang memakan waktu satu jam perjalanan. Di jadwalnya mereka berkumpul di sekolah pukul 8.30, berangkat dengan bus pukul 09.00, dan akan sampai kembali ke sekolah pukul 15.30. 30 menit lebih lambat dari biasanya sekolah berakhir. Semua anak dari grup 1 sampai grup 8 diharapkan ikut. Oiya biayanya gratis.

Beberapa minggu sebelumnya, orang tua dikirimi email mengenai detail schoolreisje ini. Orang tua murid boleh ikut, dengan mendaftar sebelumnya. Di kelas Runa, karena beberapa orang tua bersedia ikut, lalu diundi orang tua siapa yang beruntung ikut. Tapi para orang tua ini ikut bukan untuk menjaga anaknya lho. Tetapi ia diberi tugas untuk mengawasi grup kecil yang akan dibentuk saat jalan-jalan nanti.

Runa sangat excited dari beberapa hari sebelum pergi. Tapi kok sayanya yang deg-degan. Ya iyaa.. ini kan pertama kalinya Runa pergi jalan-jalan jauh tanpa orang tuanya (atau saudara/kerabat dekatnya). Takutnya Runa capek karena mereka pasti akan jalan kaki mengelilingi Zoo Emmen tersebut, padahal kalau jalan-jalan sama kami pasti selalu bawa stroller. Takutnya Runa rewel karena bosan atau ngantuk. Takutnya Runa kedinginan karena cuaca pagi itu mendung dan sedikit gerimis, sudah pertengahan musim semi tapi cuaca tidak berubah membaik. Takutnya Runa lapar selama perjalanan, meskipun saya membekali Runa dengan roti, pisang, biskuit, dan botol minum. Sifatnya emak-emak emang selalu khawatiran. Saya juga bilang sama gurunya, ini pertama kalinya Runa pergi agak jauh dengan rombongan besar, dan bukan familinya. Juf(guru)-nya sih bilang: don’t worry, be happy. Enggak deng, haha.. Kata gurunya gak usah khawatir, nanti anak-anak akan dibagi dalam 4 grup kecil dan ada orang dewasa di dalam grup tersebut yang mengawasi anak-anak tsb. Lagipula dua guru di kelas Runa, Marjolejn dan Doeska juga ikut serta.

Rombongan ke Emmen itu besar juga lho. Di kelas Runa ada sekitar 25 anak, mungkin kelas lain jumlahnya ya kurang lebih 20-25 anak juga. Dikali total ada 26 grup di satu sekolah, jadi ada 600-an anak yang ikut.

Pukul 15.30 kurang lima menit saya sudah menunggu rombongan bus tiba di lapangan sekolah. Saya menunggu dengan cemas di bawah rintik-rintik hujan sore itu. Bus Runa belum tiba juga, sudah ada beberapa bus yang sampai duluan. Sampai akhirnya 5 menit menunggu datang juga bus grup Runa. Runa turun bus sambil memegang tasnya dan bungkus biskuitnya yang sudah habis. Kelihatannya dia capek. Saya langsung memeluk Runa dan bertanya antusias, gimana tadi sepanjang perjalanan, capek gak, lapar gak, makan apa aja, sama siapa aja mainnya. Runa menjawab sambil ogah-ogahan. Capek katanya.

Sampai di rumah, Runa pun mandi air hangat dan makan. Saya kira setelahnya dia akan segera tidur karena capek. Eh ternyata baterainya kayak terisi penuh lagi, haha. Runa malah jadi cerewet menceritakan pengalamannya tadi. Dia bilang tadi naik boat, lihat banyak binatang, juga dikasih makan patat (kentang goreng) jadi bekal roti dan pisangnya gak habis. Saya jadi lega.

Tadinya saya cemas aja, anak 4 tahu lhoo ikutan school trip segalasaya aja dulu trip jauh-jauh pas udah kelas 6 SD kayaknya. Tapi memang anak Belanda ini jadi cepat dewasa karena dianggap mandiri juga sama orang dewasa. Mereka dianggap sudah bisa mengatur dirinya sendiri dan belajar bertanggung jawab. Selama trip mereka harus menggendong tasnya sendiri (yang isinya bekal dan air minum). Kalau mereka mau pipis dan pup ya bilang sama gurunya (meski di dalam tasnya juga anak-anak kecil ini diminta untuk membawa baju salin jika kotor). Mereka juga belajar untuk mendengarkan dan mengikuti instruksi orang dewasa dengan baik.

Dua hari setelahnya saya sudah bisa mengakses foto-foto saat schoolreisje-nya. Saya jadi tahu, oh ini yang dimaksud Runa naik boat. Oh ini kegiatan mereka selama di sana. Salut, Runa memang terlihat (belajar) lebih mandiri

Bersama teman-teman sekelasnya dan dua orang jufnya. Mereka dipakaikan rompi khusus, biar gampang dikenali kali ya, gak ilang-ilang.

Kecapekan di Bus, tidur di perjalanan pulang

Mommy's Abroad, Pharmacisthings, [GJ] – Groningen’s Journal

Bapak-Bapak yang Macho itu adalah…

Runa diantar Ayah ke Sekolah

Vandaag op school
Runa is blij als elke keer Ayah te gaan met haar naar school.
Zij zwaaien in het raam
*pardon my Dutch, msh belajar iki
.
.
Hari ini di sekolah
Runa seneng banget kalau setiap Ayahnya nganter ke sekolah.
Runa selalu minta Ayahnya dadah-dadah di jendela setelah nganter.

Saya juga senang kalau tiap ke sekolah Runa sering melihat bapak-bapak yang mengantar anaknya sekolah, ada yang menemani sampai depan pintu kelas, ada yang ikut masuk dulu ke kelas, membaca buku dulu bersama sampai gurunya datang, atau ada juga yang melambaikan tangan dari depan kelas/jendela.

Tidak jarang juga ada bapak-bapak yang menjemput anaknya ketika pulang sekolah, sambil mendorong stroller berisi anaknya yang lebih kecil. Bapak-bapak itu kelihatan sangat warm dan manly. Meski ada yang penampilannya bertato, terlihat sangar dengan kepala botak, beranting, atau ada juga sih yang necis memakai jas atau jaket keren, dengan sepatu pantofel.

Itu juga tidak hanya dilihat di sekolah Runa saja lho. Di Belanda, sepertinya bapak-bapak membawa anak (seorang diri, tanpa istrinya) adalah pemandangan yang biasa. Mereka terlihat di posyandu, mengantar anaknya imunisasi atau kontrol rutin. Mereka juga terlihat di pusat perbelanjaan, mendorong stroller dan menggandeng anaknya. Mereka juga terlihat di kereta atau bus. Ke mana ibunya? Saya juga tidak tahu. Mungkin mereka sedang berbagi tugas saja. Mereka tidak nampak risih dan kikuk. Padahal sepertinya cukup repot juga melihat bapak-bapak dengan anak balita/batita. Mereka malah terlihat makin macho.

Saya salut sama bapak-bapak itu. Santai saja mereka menjalani perannya. Memang tidak ada yang salah juga. Tidak ada yang menganggap hal itu tabu juga. Mengurus anak kan bukan cuma tugas istri toh? Seperti paradigma yang banyak dianut masyarakat di Indonesia. Bahwa urusan anak-rumah-dapur adalah tugas istri. Bapak-bapak ya tugasnya cari duit di luar rumah. Jadilah beban seorang ibu-ibu Indonesia terasa beratnya. Kalau pun suaminya mau berbagi tugas mengurus anak, nanti judgment dari lingkungan luar yang membuat suami (dan tentu istrinya) jadi merasa di posisi yang salah. Masa suaminya disuruh gantiin popok anaknya? Kok suaminya sih yang belanja ke pasar? Itu ibunya ke mana kok yang ngasuh anak-anaknya malah bapaknya? dst.

Saya merasa bersyukur. Kalau tidak pernah menjalani kehidupan di Belanda, mungkin suami tidak akan banyak belajar untuk ikut berperan dalam mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga. Di sini, tidak ada pembantu rumah tangga, semua harus dikerjakan sendiri. Mau tak mau kerja tim sangat dibutuhkan untuk bisa seimbang.

Dulu waktu saya maasih sibuk kuliah dan suami kerja. Kami selalu berbagi tugas beres-beres rumah, masak, dan mengurus Runa. Saat kuliah saya sudah selesai, tidak ada yang berubah. Walaupun saya lebih banyak di rumah, tetapi bukan berarti rumah adalah tugas saya sepenuhnya, bukan berarti mengurus anak hanya menjadi urusan saya. Suami tetap berperan di dalamnya, mengantar jemput Runa, beres-beres rumah, kadang belanja. Kalau “hanya” kerja dan ongkang-0ngkang kaki di rumah, malu dong sama bapak-bapak tatoan tadi, yang lebih luwes mengurus anak. Nanti jadinya machonya berkurang deh.