Lifestyle

Daya pikat buku bekas

Saya masih ingat sewaktu saya masih SD, banyak pedagang buku bekas berjejer di Jalan Dewi Sartika Bandung. Mereka berjualan di trotoar. Buku-bukunya digelar di atas alas entah papan atau kain, saya lupa persisnya. Entah berdasarkan para pedagangnya menyusun buku-buku tersebut, ditumpuk-tumpuk, berderet-deret, dengan batas beberapa jengkal antara lapak satu pedangang dengan pedagang lainnya. Kalau hujan turun, para pedagang akan buru-buru menutupi dagangannya dengan terpal.

Saya juga masih ingat, ketika saya berhasil membeli buku cerita atau komik dari pedagang tersebut dengan harga murah, mungkin dulu seharga beberapa ribu saja. Saya sangat puas. Rasanya seperti memenangkan sesuatu. Meski bukunya sudah ada ditandai nama pemilik sebelumnya, dalam kondisi bekas, dan tentunya tidak ada aroma khas buku baru yang bisa saya hirup). Tapi saya senang, makanya memori itu masih terkenang sampai sekarang.

Jauh-jauh ke Groningen, ternyata saya masih punya perasaan terpikat pada buku bekas. Bedanya, tidak banyak buku yang bisa saya beli, karena kebanyakan berbahasa Belanda. Maka, saya coba mengajak anak-anak menyambangi toko buku bekas juga. Bedanya lagi, toko buku bekas saja level bagusnya sudah sama seperti toko buku biasa. Harga buku anak-anak juga hanya berkisar antara 50 sen sampai 2 euro. Kondisi buku-bukunya juga masih sangat layak, hampir seperti baru.

Rasanya kalau buku-buku ini berbahasa Inggris atau Indonesia pingin saya beli dan dikirim ke Indonesia, dibagi-bagi ke anak-anak yang memerlukan.

Untuk sekarang, saya sudah cukup senang bisa mengenalkan budaya membeli buku bekas pada Runa dan Senja. Semoga mereka juga nanti punya rasa keterpikatan danpenghargaan pada buku-buku bekas sampai besar nanti.

Lifestyle, Mommy's Abroad

Berlari demi Diri Sendiri

Hari itu, pukul 7 malam, saya baru sampai rumah dari kampus. Rasanya saya langsung ingin menyentuh kasur. Habis mandi air anget, makan, nelen parasetamol, salat Isya, trus langsung blas tidur. Pala pusing, badan remuk.

Bukan, saya bukan habis pulang ospek kok, atau bukan habis lembur ngelab, bukan juga habis kerja rodi membangun jalan Anyer-Panarukan. Tapi saya habis tes mata kuliah olahraga, yaitu lari ngelilingin sabuga 6 putaran, 2.4 km lah kira-kira (lintasan terdalam sabuga 400 m). Tes lari emang selalu jadi momok tersendiri buat saya dari SMP dan SMA. Sejak dulu memang selalu ada yang namanya tes lari di mata pelajaran olahraga. Jangan salah, rekor lari saya gak boyot-boyot amatlah. Saya masih bisa ngekor di belakang atlet sekolah sekaligus teman sebangku saya, SasQ. Tapi masalahnya adalah, saya gak pernah menikmati lari. Menurut saya tes lari itu bagaikan beban. Ada target yang harus dikejar untuk mendapatkan nilai bagus. Misalnya waktu kuliah, kita hrus bisa mengejar target lari sekian menit untuk bisa dapat 6 keliling sabuga. Yang paling saya gak suka adalah, efek habis lari bukannya seger tapi badan malah sakit-sakit ditambah sakit kepala. Aneh yak.

Makanya sampai saya udah punya anak, saya tu males olahraga, khususon olahraga lari. Sampai pada akhirnya di suatu titik, saya merasa butuh untuk meningkatkan stamina dengan jalan atau lari. Suami yang mendorong saya untuk memulai training itu, sedikit-sedikit aja. Titik balik itu adalah waktu kami hendak berangkat haji, di tahun 2016. Dari info yang kami dapatkan mengenai ibadah haji, hampir semuanya bilang bahwa dibutuhkan stamina yang kuat untuk bisa melakukan prosesi haji yang termasuk tawaf, sa’i, lempar jumroh, plus perjalanan yang di tempuh di antaranya. Fisik juga harus disiapkan untuk itu.

Baca Persiapan sebelum Haji, Apa Sajakah?

Wah, ini nih yang saya cemaskan. Stamina saya gak begitu kuat sebenarnya. Meski catatan olahraga saya ketika sekolah dan kuliah termasuk bagus, tetapi saya bukan orang yang sporty dan mahir berolahraga. Catatan bagus itu hanya karena saya berusaha lebih keras aja biar dapat nilai bagus. Kalau habis berolahraga, badan saya bukannya segar malah suka pegal-pegal dan kepala saya pusing. Persis kejadian yang saya ceritakan di atas tadi.

Akhirnya, mau gak mau, saya memulai untuk latihan jalan jauh dan lari. Track lari di dekat lingkungan tempat tinggal kami dulu termasuk enak banget. Sangat deso, pemandangan hijau, banyak pepohonan berjajar yang cantik, bisa melihat peternakan, damai-lah rasanya. Jadi saya lumayan termotivasi.

Track lari di Kardinge

Continue reading “Berlari demi Diri Sendiri”

Lifestyle, Mumbling

Kapankah kita boleh bersantai?

Tulisan ini murni curhat aja

Saat hari Senin sudah di depan mata, saya suka menghela napas panjang. Mulai lagi nih pekan ini. Ingin rasanya memperpanjang weekend, tapi tentu saja tidak mungkin. Senin adalah waktunya kembali memulai rutinitas, bakbukbakbuk untuk mengerjakan semua amanah, tugas, to-do-list di depan mata. Biasanya saya mulai bernapas sedikit di hari Rabu. Hari Rabu tidak ada jadwal daycare untuk Senja. Jadi biasanya saya bermain dengan Senja sepuasnya. Siang hari baru saya colongan buka email, saat suami sedang istirahat siang. Oiya, Runa sekolah sampai pukul 14.00, dan dia gak harus ditemani terus. Biasanya habis makan siang, dia akan sibuk sendiri, entah baca buku atau main di kamarnya. Jadi hari-hari biasa, Runa gak terlalu banyak menyita perhatian lagi.

Lanjut di hari Rabu tadi, kalau ada tugas penting untuk diselesaikan Kamis atau Jumat, Rabu malam saya paksakan untuk kembali menatap layar laptop. Hari Kamis adalah hari paling “dinanti” sepanjang pekan. Sebab di hari itu adalah jadwal meeting rutin saya dan supervisor. Saya sudah harus siap dengan segala bahan diskusi, jangan sampai meleng. Biasanya bahan meeting sudah saya kirimkan beberapa hari sebelumnya. Jumat pekan sebelumnya (kalau rajin), Senin, atau Selasa di pekan yang sama.

Kamis, pukul 11.00, ketika meeting sudah usai, rasanya setengah dari beban di pundak saya terangkat. Lalu saya cenderung sedikit bersantai, bisa sambil menyimak kajian tafsir Ustadz Hartanto Saryono via zoom. Sambil mengerjakan tugas yang ada. Lalu mulai deh buka-buka godaan baca blog, sosmed, twitter, hehe, sampai jam makan siang. Setelahnya baru nyadar, ya ampun tadi udah buang-buang waktu, harusnya bisa lebih efektif kerjanya. Langsung buru-buru bikin to-do-list baru biar lega dan gak merasa bersalah. Jumat tuh hari random, kalau saya lagi gak ada kerjaan yang mepet, biasanya saya loss aja tu seharian. Senja juga gak ke daycare. Jadi saya puas-puasin main sama Senja, buka email juga enggak. Tapi kadang Jumat suka ada jadwal meeting, di jam-jam tertentu, jadi saya minta suami atau adik saya megangin Senja selama 2 jam-an.

Saya pernah bilang sama Suami, Ini kayaknya saya semingguan itu, hidup untuk melewati hari Kamis. Kalau Kamis sudah terlewati, rasanya lega.

Sebenarnya gak selebay itu juga sih. Bisa jadi karena meeting sama supervisor yang membuat hari itu jadi terasa penting. Bisa jadi juga karena Kamis itu sudah mendekati weekend. Tapi tak apa, bismillah, diniatkan ibadah. Kalau gak punya kesibukan nanti bingung lagi. Terus kapan dong kita boleh bersantai? Kan urusan kerjaan itu gak kelar-kelar, urusan dunia juga terus berputar, sampai pada akhirnya ada waktu finish masing-masing.

Ada dua nikmat yang banyak membuat manusia tertipu, nikmat sehat dan waktu luang (HR Bukhari). Sedang sehat, tapi tidak punya waktu luang karena sibuk dengan urusan dunia. Kalau sedang punya waktu lowong, malah kondisi sedang tidak sehat. Sedangkan ketika punya keduanya, manusia malah dihinggapi rasa malas. Itulah manusia yang tertipu.

Makanya santai-santainya tetap harus yang bermanfaat dong yah. Gimana sih santai-santai yang bermanfaat? Kalau buat saya:

  1. Nulis
  2. Baca buku
  3. Baca blog/web yang bermanfaat
  4. Nonton youtube/denger podcast kajian ustadz
  5. Bikin konten untuk post IG (jatohnya nulis juga maksudnya sih)
  6. Masak-masak, bikin kue

Maunya sih nonton K-drama, menggoda banget. Tapi aku kapok. Gara-gara banyak yang bilang Reply 1988 seru jadi we aku nonton di Netflix. Daaan.. benar seru dan tak bisa berhenti. Akhirnya malah kebanyakan nontonnya, begadang demi memuaskan dahaga penasaran, besok paginya bangun malah gak fit, migren karena kurang tidur, kerjaan pun tak beres. Kapok udah. Saya stop dulu nonton yang bikin candu gitu. Nanti aja kalau beneran emang libur panjang.

Gimana santai-santai yang bermanfaat menurut kamu?

Just Learning, Lifestyle

Millennial Paradox

Begitu banyak tulisan, video, cerita, ceramah, gambar, meme, apapun deh yang menggambarkan betapa ketergantungannya anak muda zaman sekarang dengan gadget, smart phone, dan media sosial (medsos). Berkali-kali juga saya sering menyimak sharing-sharing tersebut baik melalui facebook, youtube, broadcast message di whatsapp tentang bahaya akan ketergantungan medsos. Memang sih setelah itu saya jadi sadar, oh iya nih gak bener saya sering-sering medsos-an bikin waktu jadi gak berkualitas.. Lalu saya pun mengurangi waktu saya dengan hape dan medsos. Di antaranya menjadwalkan no hape pada pukul 18-21. Sehingga suasana malam lebih kondusif. Makan malam bersama keluarga, bercerita bersama, menemani Runa bermain, mengaji, membaca buku, sampai akhirnya tidur. Awal-awal masih bisa kondusif. Tapi namanya manusia tu ya, semangat dan konsistensinya naik turun gak karuan (saya itu mah). Belakangan ya lupa lagi dengan si janji suci untuk mengurangi interaksi dengan hape dan medsos. Lama-lama bablas lagi itu jadwal no hape-nya.

Suatu pagi, saya dapat lagi nih video bagus mengenai Millennial Paradox yang dipaparkan oleh Simon Sinek, seoranng speaker, konsultan, dan penulis asal Inggris. Video motivasinya mengenai How Great Leaders Inspire Action sangat popular di TED. Yang dia bilang di video tersebut meskipun pedas tapi benar adanya. Walaupun saya sudah berkali-kali juga dapat teori atau materi yang mirip-mirip seperti itu. Tapi cukuplah paparan Simon tersebut menampar saya (dan suami, karena kami nontonnya bareng-bareng).

Ya, kitalah generasi milenial, yang lahir di atas tahun 1984 ke atas. Kita, teman-teman kita, lingkungan sepantaran kita yang dibesarkan dengan banyak limpahan gadget dan medsos. Facebook, Instagram, Path, Twitter, Line, Friendster (eh) you name it. Sepertinya interaksi kita di sosmed masih dalam batas normal kok, yaa biasa aja. Tapi men, sebenarnya ga sesimpel itu. Agak susah memang mengakui sesuatu dalam diri kita yang sepertinya benar tapi ternyata salah, it’s paradox.  Maka dari itu saya nulis ini biar jadi pengingat buat saya.

Oke biar adil, saya menggambarkan keadaan diri saya sendiri saja sebagai seorang milenial. Continue reading “Millennial Paradox”

Lifestyle, Random Things

My Top 10 Guilty Pleasures

Guilty pleasureSomething that you shouldn’t like, but like anyway (Urban Dictionary)

Guilty pleasure ~ Something pleasurable that induces a usually minor feeling of guilt (merriam-webster Dictionary)

Monik version: Kesenangan yang berdosa. Jadi suatu kegiatan yang sebenarnya tidak sesuai (pakem pribadi) tapi dalam pelaksanannya itu malah bikin doyan atau nikmat. Walaupun tau salah tapi tetep dikerjain juga.. Dalam proses pengerjaannya ya terselip rasa bersalah jadinya.

Here’s my top 10 guilty pleasure (random order)

1. Tidur sama Runa

Sejak Runa menginjak 3 tahun, memang kami mencoba agar Runa tidur sendiri. Walaupun belum beda kamar, tapi paling tidak beda tempat tidur dulu deh. Memang awal-awal susah karena Runa pengen ditemenin dan dibacain buku dulu, kadang Runa juga masih pengen bobo sambil ndesel-ndesel Bundanya. Lama-lama Runa bisa juga tidur di kasur sendiri tanpa ada saya. Cumaaa… sayanya yang kadang susah move on. Kalau Runa mau tidur malah saya yang nawarin bobo bareng saya *emak tidak konsisten*. Saya malah berakhir tidur empet-empetan di kasur mungil Runa, biasanya saya ketiduran setelah bacain buku atau kalau Runa kebangun tengah malem saya yang setengah sadar ngepuk-pukin Runa di kasurnya. Ayahnya yang geleng-geleng kepala, ini gimana anaknya mau mandiri? Habis tidur deket Runa enak siih, wangiii dan lembuuut, hihi.. Continue reading “My Top 10 Guilty Pleasures”

Lifestyle, Random Things

Dari Jarkom ke Group WhatsApp

Coba hitung ada berapa grup whatsapp yang ada di smartphone kamu? 10, 20, 30? Katanya sih makin banyak group WA makin menunjukkan tingkat keaktifan seseorang. Saya sendiri punya kira-kira lebih dari 20 grup WA, tapi yang aktif saya ikuti atau yang aktif berbunyi paling hanya sekitar 6-10. Mulai dari grup whatsapp keluarga, saudara, teman kampus, tetangga, alumni SD, angkatan farmasi, genggong pas kuliah, awardee, komunitas blogger, komunitas di Groningen, sampai grup whatsapp sementara, yang terbentuk untuk janjian bikin acara, kepantiaan, atau iuran kado. Kreatif dan praktis banget generasi zaman Y dan Z ini. Gak ribet mau komunikasi atau memberi informasi di antara kumpulan orang, tinggal bikin grup, ngobrol di grup, jadi deh.

Saya jadi inget zaman saya SMA dan kuliah dulu. Mana ada grup whatsapp untuk woro-woro ngasih pengumuman. Yang ada itu adalah JARKOM, alias jaringan komunikasi. Masih inget gak? Continue reading “Dari Jarkom ke Group WhatsApp”

Lifestyle, Motherhood

TV or No TV, Nonton or No Nonton?

Kalau di forum ibu-ibu, pasti rame deh ini bahasan.

“Saya NO TV di rumah, biar anak-anak ga nonton sama sekali.”

“Saya masih pake TV, tapi cuma untuk nyetel DVD/VCD aja”

“Yaa.. kadang pake TV sih, kalau acara anak-anak aja dan ada jadwalnya, selain itu dimatiin.”

“Pake TV, tapi lebih sering youtub-an, soalnya tontonan buat anak-anak gak ada yang bermutu sih.”

“Saya masih pake TV, dan saya selalu menemani anak saya tiap kali nonton”

“Saya gak punya TV, soalnya saya yang doyan nonton, takut anaknya jadi ikutan” (lhooo.. kok emaknya yang lebih heboh)

endesbre.. endesbre.. lalala..

Bagus sih diskusinya, jadi tahu pilihan dan kebijakan masing-masing keluarga kayak apa. Yang gak bagusnya kalo udah merasa pilihan dia benar dan menjelekkan pilihan orang lain, heu.. Dan diskusi memanas. Biasa ibu-ibu ga sedep kalo ga ada yang panas-panas getoh.

Intinya semua ibu dan ayah punya kebijakan sendiri deh buat anaknya, pastinya semua ingin yang terbaik. Menyambung tulisan saya sebelumnya mengenai tontonan Runa, saya dan suami, serta keluarga lain pasti punya filter masing-masing buat anaknya. Continue reading “TV or No TV, Nonton or No Nonton?”

Just Learning, Lifestyle, Only a Story, Project

Gugurnya Si Smart Phone

Kalau saat handphone (hape) rusak adalah momen untuk ganti atau beli hape baru, buat saya itu adalah momen untuk membatasi diri dari pengaruh kecanduan si hape.

Tamatlah sudah riwayat Samsung Android S4 milik saya.. Yang saya beli dengan menyisihkan uang beasiswa sendiri. Penuh kenangan dan penuh perjuangan. Semuanya sudah berakhir…

Iyah bener, mungkin 2016 ini jadi titik balik buat saya untuk ga terlalu addict sama yang namanya smart phone. Seperti yang kita tahu kan saking pinternya si hape semuamua bisa dikerjain dari hape: chatting, poto-poto langsung aplot dan share, browsing segala rupa, webcam-an, denger mp3, nonton yutub, apalagi dengan fasilitas sosmed yang lengkap, twitter, facebook, instagraam, path, daan sebutlah apapun itu.. Otomatis dong tangan dan mata kita seharian selalu mantengin si pintar berukuran segenggaman tangan itu. Continue reading “Gugurnya Si Smart Phone”

Journey, Life is Beautiful, Lifestyle

Jauh

Jauh/ja·uh/: panjang antaranya (jaraknya); tidak dekat. Begitu menurut paparan dari KBBI mengenai kata jauh.

Pandangan saya terhadap ‘jauh’ mungkin berbeda dengan yang KBBI bilang. Menurut saya jauh adalah panjang antaranya (jaraknya), tetapi relatif menurut individu tertentu. Sepanjang hidup saya selama 27 tahun ini saya sangat familiar dengan yang namanya ‘jauh’. Gimana enggak, setiap tempat tinggal yang saya huni (di beberapa kota) selalu dikomen orang: “jauh banget rumahnya”. Mungkin jauh sudah menjadi mengalir di darah saya (apa siih).

Saya besar di Bandung, sejak kecil saya tinggal di Kopo. Orang bilang Bandung coret. Emang iya sih, perbatasan kota Bandung dan kabupatennya sudah dilewati sama komplek rumah saya. Tapi saya bersekolah SD, SMP, SMA sampai kuliah di kota (ciyeh, berasa desa ke kota), yang jaraknya dari rumah rata-rata lebih dari 10 km. SD di Kebon Kelapa (Sasak Gantung), SMP di Jalan Sumatera, SMA di Jalan Belitung, kuliah di Jalan Ganesa. Makin tinggi pendidikan saya, makin jauh jarak yang harus saya tempuh. Beruntung papa saya sangat sabar, dari mulai SD sampe saya kuliah selaluuuuuuuu nganterin saya dan kakak saya ke sekolah, bahkan kalo sore-sore sempet ya jemputin juga. Jadi berasa betapa baiknya papaku ini huhu.. dan akunya suka bandel, kalo dijemput papa telat suka ngambek, maafkan anakmu papa.

Sudah biasa buat saya jadi bahan bully-an temen-temen. “Idiihh jauh amat rumahnya”, “Bandung coret yah”, “Ogah, ke rumah Monik entar sampe-sampe ke sana bisa-bisa udah ubanan”. Mungkin sebenarnya selain jauhnya juga, macet jadi masalah di perjalanan dari Kopo ke Bandung. Tapi entahlah.. lagi-lagi macet mungkin juga jadi relatif bagi orang Kopo. Kalo jalanan tersendat-sendat orang udah bilang macet, kita masih bilang lancar merayap. Emang saya juga sempet merasa desperate sama rumah kok ya jauh banget. Lalu si mama akan menjawab panjang lebar sejarah kenapa si papa memilih tempat tinggal di sini. “Dulu ini yaa.. pas mama pertama kali ke rumah ini, sepanjang jalan menuju ke sini itu sawaahh aja.. Mama juga mikir, hah mau tinggal di mana ini.” Baiklah mama.. daku menyerah.. Alhamdulillah juga ya punya rumah. Papa sudah mengambil keputusan terbaik menghuni rumah di Kopo.

Continue reading “Jauh”

Cerita Apartment, Lifestyle, Only a Story, Project

Cerita Apartment (3) – Pak Pur Penyelamat di Kala Lapar

Sudah 2 minggu habis lebaran tenda Pak Pur yang nangkring tepat di depan apartment Center Point blm keliatan buka juga. Haduuhh.. padahal saya udah keabisan ide buat masak makan malem.. Harapan bisa menyantap nasi goreng Suroboyo ala Pak Pur pun pupus sudah.

Saya ga tau sejak kapan warung kaki lima ‘Bakmi Surabaya’ milik Pak Pur berdiri di depan apartment. Yang pasti sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di sini Pak Pur sudah ada. Menunya ala bumbu Suroboyo semua, mulai dari macam2 menu nasi goreng: nasi goreng telor, nasi goreng ati ampela, nasi goreng pete, dll, ada juga kwetiaw, capcay, bihun, mie goreng, mie godog. Dulu juga Pak Pur sedia ayam goreng, pecel lele, tahu tempe gitu.. Tapi sekarang akhirnya menu ayam goreng itu dipisah tendanya, tendanya sebelahan sama tenda Pak Pur, yang mengelola masih anaknya juga. Jadi usaha tendanya ini dikelola sama Pak Pur, istrinya, dan anak-anaknya.

Tenda Pak Pur buka tiap sore sampai malam.. bisa sampai dini hari. Waktu itu suami kelaparan sambil nonton bola, jam 2 pagi Pak Pur pun masih stand by. Walaupun menunya sederhana tapi kami ga pernah bosen.. Salah satunya karena harganya yg terjangkau.. 10-15ribu. 10ribu aja udah dapet nasi goreng porsi besar. Continue reading “Cerita Apartment (3) – Pak Pur Penyelamat di Kala Lapar”