Only a Story

Gampang Ingat, Sulit Lupa

Ustadz Adi Hidayat pernah bilang, (kalau saya tidak salah ingat) bahwa ada kategori-kategori orang dalam menghapalkan Al Qur’an

  1. Gampang ingat, gampang lupa
  2. Gampang ingat, sulit lupa
  3. Sulit ingat, gampang lupa
  4. Sulit ingat, sulit lupa

Tentu dari keempat kategori tersebut, kita inginnya ada di nomor 2 ya. Tapi Masya Allah, kalau usia udah semakin bertambah sepertinya daya ingat dan kemampuan menghapal cepat juga semakin menurun. Entah karena banyak hal-hal lain yang dipikirkan dan dikerjakan, atau memang usaha dalam menghapalkannya kurang maksimal.

Muroja’ah. Artinya kita selalu mengulang hapalan surat dalam al-Qur’an setiap hari dan setiap saat, secara konsisten. Anehnya konsisten ini malah sulit diterapkan ketika kita semakin dewasa. Kalau saya berkaca pada anak saya yang berusia 7 tahun. Ia bahkan memiliki jadwal teratur setiap harinya, yang ia sudah tahu itu.

Pulang sekolah, makan siang, solat zuhur, setelah solat ngaji satu halaman dan murojaah surat yang dihapalkannya. Setelah ngaji ia boleh memiliki tontonan untuknya. Tadinya kami membatasi nonton hanya di weekend saja. Tapi melihat peningkatkan kerajinannya mengaji, maka satu tontonan 30 menit won’t really harm. So, it’s okay. Ia sudah punya pemikiran logis, setelah mengerjakan ini ini dan itu, rewardnya adalah nonton. Bukankah kita sebagai orang dewasa juga gitu kan? Ah sudah beres kerja, buka sosmed dulu-lah.. Malah kita kadang lebih meminta banyak reward daripada tugas yang dikerjakan, heuheu. Continue reading “Gampang Ingat, Sulit Lupa”

Only a Story

Memori Cuci Piring

Sejak kecil saya dan kakak-adik saya selalu disuruh Mama untuk tidak lupa mencuci piring setelah makan. Minimal piring dan gelas yang habis kita pakai sendiri. Di rumah, Mama dan Papa memang jarang membiarkan cucian piring menumpuk. Mama biasanya selalu mencuci peralatan masak setelah selesai masak. Papa juga tangannya tidak bisa diam kalau lihat ada cucian di dapur menumpuk, pasti langsung selalu dicucinya.

Sewaktu ada pembantu di rumah, terkadang kami yang masih bocah ini berpikir, ah ada si bibik, ya bibik aja yang nyuci piringnya toh. Tapi Mama tidak pernah memberi ampun pada pikiran bocah kami ini. Kalau melihat kami “cuma” meletakkan piring kotor di tempat cucian, pasti suara Mama langsung menggelegar, “Siapaa ini yang piringnya gak dicuci, cuciii!!” Kami pasti langsung terbirit-birit menuju dapur dan mencucinya. Kalau lagi soleh/ah, kami akan langsung mencucinya dan sadar juga kalau memang gak boleh malas. Kalau lagi rada kurang soleh/ah, kami akan sedikit menggerutu, “Nanti juga dicuci Bibi” atau “Nyucinya habis selesai nonton tv aja.” Kalau sampai gerutuan kami terdengar Mama, sudah pasti omelan Mama akan makin terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Sementara Papa punya sikap yang berlainan. Kalau Papa melihat ada cucian piring kotor, tanpa ba-bi-bu dan bertanya bekas siapa, Papa akan segera mencucinya. Dalam hening tangan Papa bekerja satu-persatu membuat piring-piring dan gelas kotor tandas dari kotoran. Padahal ada bibik juga lho. Saya dan kakak kadang-kadang merasa tak enak dan akhirnya menawarkan jasa, “Udah Pa, nanti sama Monik aja dicucinya.” Tapi Papa cuma jawab sedikit dan melanjutkan pekerjaannya.

Lucu ya, Mama bertindak lewat ucapan dan Papa bertindak lewat perbuatan (teladan). Meski dua-duanya akan kita kerjakan, tetapi yang lebih membekas dan membuat kami sadar adalah teladan dari Papa. Tapi saya selalu bersyukur memiliki orang tua dengan kombinasi yang super seperti Mama dan Papa.

Continue reading “Memori Cuci Piring”

Life is Beautiful, Only a Story

Ingin Cepat-cepat

Ketika saya berada dalam kondisi yang kurang menyenangkan, dalam tekanan, atau tidak nyaman, secara tidak sadar saya selalu berucap: ingin cepet-cepet selesai ini atau ingin cepet-cepet sampai itu.

Pokoknya ingin cepat-cepat aja. Saya sendiri mengucapkannya secara spontan. Sampai suami yang bilang: Bunda tuh kalau lagi blabla (dalam kondisi di atas), selalu bilangnya ingin cepet-cepet terus.

Misalnya:

Ketika saya sedang sibuk dan repot dengan research project S2 saya, saya bilang: ingin cepet-cepet beres kerjaannya dan segera lulus.

Ketika saya sedang mengalami kebosanan di tengah-tengah kuliah dan capek dengan rutinitas rumah tangga, saya bilang: ingin cepet-cepet liburan dan travelling.

Ketika saya sedang travelling selama seminggu dan sudah berada di ujung liburan, badan sudah terasa lelah, saya bilang: ingin cepet-cepet sampai rumah dan istirahat.

Ketika saya sedang mual, puyeng, gak nafsu makan di masa trimester pertama saya, saya bilang: ingin cepet-cepet selesai trimester pertamanya dan bisa makan enak lagikalau bisa babynya segera lahir.

Dalam pikiran saya, saya ingin masa-masa tidak menyenangkan tersebut segera berakhir. Berganti ke masa-masa yang lebih baik, lebih enak. Padahal semuanya berproses. Tidak mungkin kan bisa langsung ke momen yang ingin cepet-cepet itu begitu saja. Malah ketika sudah sampai ke “bagian akhir” tersebut, ya sudah selesai saja.

Yang sesungguhnya akan melekat di memori ternyata bukan bagian akhir yang saya inginkan sebelumnya.

Ketika saya sudah lulus kuliah, yang lebih saya ingat bukanlah momen ketika saya menerima ijazah, berfoto dengan keluarga di depan Academic Gebouw, dan menerima banyak bunga. Tetapi adalah saat-saat saya berjuang menyelesaikan research saya. Bagaimana setiap harinya diisi dengan progress yang lambat laun berujung ke final master report dan presentasi.

Ketika saya sudah berada di detik-detik hendak liburan, yang saya ingat bukanlah saat-saat packing dan mempersiapkan trip, tetapi justru rutinitas kuliah dan urusan rumah tangga yang akhirnya bisa selesai demi liburan ini.

Ketika saya sudah sampai di rumah setelah pulang travelling, tentu bukan momen kembali ke rumah yang saya ingat. Setiap seru dan susahnya saat travelling yang paling melekat di kepala saya.

Ketika saya melihat Runa sudah besar dan sekarang saya sedang hamil. Saya akan selalu mengingat masa-masa saat saya sedang hamil Runa, dan membandingkannya dengan kondisi hamil saya sekarang. Bahkan saya tidak ingat bagaimana saya melahirkan Runa (soalnya saya dibius total haha), saya cuma melihat Runa sekilas, sebelum saya “pingsan” lagi. Mudah-mudahan kehamilan yang sekarang berjalan lebih lancar daripada yang pertama, aamiin.

Artinya mah.. just cherish every moment you have. Cause you’ll never know, after you reach the finish line, you will remember all the things (that seems hard and terrible) as GOOD THINGS.

Being Indonesian in the Netherlands, Only a Story

Operasi Gigi

Dari dulu saya gak suka ke dokter gigi. Soalnya tiap pulang dari dokter gigi pasti setelahnya jadi susah makan, susah tidur, dan ga enak ngapa-ngapain, hiks. Bukan salah dokter gigi memang, tapi salah saya yang kurang bisa merawat gigi, atau memang sudah suratan takdir gigi saya ada yang bermasalah.

Duluuu banget pengalaman ke dokter gigi itu pas saya masih SD, lupa kelas berapa. Gigi seri depan saya ada yang tumbuh lagi, nyusul gigi yang sudah ada. Jadi gigi yang sudah ada itu harus dicabut untuk memberikan space pada si gigi yang baru tumbuh untuk menghindari dobel gigi. Selain dari segi estetika gak bagus, katanya gak sehat juga. Dulu dokter gigi langganan keluarga saya di RS Rajawali, gak tahu kenapa, papa seringnya bawa kita ke sana, mungkin itu yang ada kerjasama dengan kantornya papa kali ya. Tiap ke dokter gigi di RS tersebut bawaannya tu suram dan serem. Memang pas eksekusi cabut gigi pun saya masih ngerasa takut. Kombinasi alat-alat dokter gigi yang ngaduk-ngaduk mulut saya dan wajah dokter cuma keliatan matanya karena bermasker bikin saya makin ciut. Benarlah pas pulang rasanya sakit bangeuuut. Efek anastesinya udah hilang. Beberapa waktu lainnya saya masih sempat juga ke RS Rajawali itu untuk menangani gigi saya yang bolong.  Continue reading “Operasi Gigi”

Only a Story, Random Things

Obrolan Konyol tentang Pendidikan Runa

Suatu kali saya dan suami terlibat obrolan serius, biasanya banyak becandaan soalnya.

Pembicaraan dimulai dari fenomena pelajar Indonesia di Groningen yang jumlahnya meningkat drastis. Gak cuma yang berbekal beasiswa, tapi juga yang mendapat kucuran dana dari ABF (Ayah Bunda Foundation) alias biaya sendiri. Saya merasakan ternyata orang Indonesia tu sebenernya banyak ya yang kaya, banyak banget yang kuliah di sini pake biaya sendiri, ga cuma yang kuliah S2, yang S1 juga banyaak. Contohnya anak UI yang bisnis itu (katanya) seangkatan sekolah semua di LN, double degree. Biayanya pasti aduhai..

Terus saya tanya sama suami: “Yah kalo nih ya, kalo.. misalnya kita tu orang kayaaa banget, banyak duit, yang duitnya ga berkurang kalo dipake nyekolahin anak ke LN, ayah mau ga Runa disekolahin di LN? Untuk S1 lho ya..” Continue reading “Obrolan Konyol tentang Pendidikan Runa”

Only a Story

Si OMDO

OMDO – Omong Doang.

Setiap awal tahun saya selalu bikin resolusi untuk tahun yang akan dijalani. Resolusi untuk diri sendiri, beragama, keluarga, cita-cita, dan lain-lain.. Kadang saya selalu melupakan si list panjang tersebut di tengah-tengah tahun, jadinya “yaah yang penting kejalanin”. Memang ada yang akhirnya terselesaikan dengan baik, ada yang menggantung, ada yang bersambung ke tahun berikutnya, ada satu yang SAMA SEKALI NOL.

Ini yang memprihatinkan.

Dan lucunya si “nol besar” itu selalu muncul di tiap tahun saya menulis resolusi atau di saat saya menulis impian saya.

Dan lucunya lagi, saya selalu menyimpan si “nol besar” itu dari sejak saya SMP, kayaknya

Saya juga selalu bilang sama suami, saya punya mimpi itu dari dulu, tapi kok gak pernah dikerjain.

Apa coba itu?

Iyah, NERBITIN BUKU, BIKIN BUKU, PUNYA BUKU SENDIRI DENGAN NAMA PENA SAYA.

*CAPSLOCK/BOLD/UNDERLINE* Continue reading “Si OMDO”

Just Learning, Lifestyle, Only a Story, Project

Gugurnya Si Smart Phone

Kalau saat handphone (hape) rusak adalah momen untuk ganti atau beli hape baru, buat saya itu adalah momen untuk membatasi diri dari pengaruh kecanduan si hape.

Tamatlah sudah riwayat Samsung Android S4 milik saya.. Yang saya beli dengan menyisihkan uang beasiswa sendiri. Penuh kenangan dan penuh perjuangan. Semuanya sudah berakhir…

Iyah bener, mungkin 2016 ini jadi titik balik buat saya untuk ga terlalu addict sama yang namanya smart phone. Seperti yang kita tahu kan saking pinternya si hape semuamua bisa dikerjain dari hape: chatting, poto-poto langsung aplot dan share, browsing segala rupa, webcam-an, denger mp3, nonton yutub, apalagi dengan fasilitas sosmed yang lengkap, twitter, facebook, instagraam, path, daan sebutlah apapun itu.. Otomatis dong tangan dan mata kita seharian selalu mantengin si pintar berukuran segenggaman tangan itu. Continue reading “Gugurnya Si Smart Phone”

Cerita Apartment, Only a Story, Project

Cerita Apartment (4) – Runa dan Double Alya

Runa punya 2 teman sepantaran yang namanaya sama2 Alya di apartement. Saya bahkan ga apal nama lengkap kedua Alya itu, hehe.. Nanti deh saya tanyain ke mama2nya. Alya pertama lahir Bulan Agustus 2013 dan Alya kedua lahir Bulan September 2013. Mangkanya yang satu dibilang Alya besar yang satu lagi Alya kecil. Tapi kalo dari perawakan mah si Alya kecil ini malah lebih gede daripada Alya Besar.

Runa seneng main sama mereka. Untunglah Runa ga termasuk anak yang berulah, kalo ada temen malah dia seneng banget.. “Ayaaa..” itu panggil Runa sama mereka berdua. Continue reading “Cerita Apartment (4) – Runa dan Double Alya”

Cerita Apartment, Lifestyle, Only a Story, Project

Cerita Apartment (3) – Pak Pur Penyelamat di Kala Lapar

Sudah 2 minggu habis lebaran tenda Pak Pur yang nangkring tepat di depan apartment Center Point blm keliatan buka juga. Haduuhh.. padahal saya udah keabisan ide buat masak makan malem.. Harapan bisa menyantap nasi goreng Suroboyo ala Pak Pur pun pupus sudah.

Saya ga tau sejak kapan warung kaki lima ‘Bakmi Surabaya’ milik Pak Pur berdiri di depan apartment. Yang pasti sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di sini Pak Pur sudah ada. Menunya ala bumbu Suroboyo semua, mulai dari macam2 menu nasi goreng: nasi goreng telor, nasi goreng ati ampela, nasi goreng pete, dll, ada juga kwetiaw, capcay, bihun, mie goreng, mie godog. Dulu juga Pak Pur sedia ayam goreng, pecel lele, tahu tempe gitu.. Tapi sekarang akhirnya menu ayam goreng itu dipisah tendanya, tendanya sebelahan sama tenda Pak Pur, yang mengelola masih anaknya juga. Jadi usaha tendanya ini dikelola sama Pak Pur, istrinya, dan anak-anaknya.

Tenda Pak Pur buka tiap sore sampai malam.. bisa sampai dini hari. Waktu itu suami kelaparan sambil nonton bola, jam 2 pagi Pak Pur pun masih stand by. Walaupun menunya sederhana tapi kami ga pernah bosen.. Salah satunya karena harganya yg terjangkau.. 10-15ribu. 10ribu aja udah dapet nasi goreng porsi besar. Continue reading “Cerita Apartment (3) – Pak Pur Penyelamat di Kala Lapar”

Cerita Apartment, Journey, Only a Story, Project

Cerita Apartment (2) Sebut saja Namanya Sara

Selama tinggal di apartment CP ini, banyak juga belajar jadi ibu yang baik. Ga cuma dari Stay at Home Mom yang tinggal di sini, tapi juga dari bibik/pengasuh/pembantu yang juga megang anak majikannya. Eh banyak juga kali yang di sini pake jasa pengasuh. Daku sendiri ga kebayang kalo di unit dengan 2 kamar minimalis ini masih ada space buat orang lain, lha kita betiga aja udah penuh.. Apalagi kalau ditambah yang bantu-bantu di apato, berasa ga bebas juga jadinya.. Lain halnya sih kalo memang udah keadaan, dua-duanya kerja, ya jadi mao ga mao harus punya pengasuh yang “megang” anaknya di rumah.

Sebut saja namanya Sara. Dia salah satu anak yang paling gede di antara genggongnya Runa (liaat Runa kecil-kecil aja udah ada geng doongg).  Umurnya 2,5 tahun mau 3 taun.. Setiap hari jam 7 pagi dia pasti udah stand by di taman bawah sama Mbaknya, Mbak Yayu -sebut saja-. Sara dan Mbak Yayu tuh kaya pembuka gerbang gitu. Kalo liat mereka udah di bawah, pasti mbak-mbak atau ibu-ibu yang lain baru nyusul ke bawah. Sara dan Mbak-nya ini juga yang ke atas paling siang. Jadi jam 7 tu Sara sarapan disuapin Mbaknya, sambil main, sampaaaai jam setengah 11 (paling lama) baru makanannya habis. Makannya diemut gitu soalnya. Sorenya pun kalau cuacanya bagus Sara pasti turun, daaan kita-kita pun jadi ikut betah nongkrong di taman. Continue reading “Cerita Apartment (2) Sebut saja Namanya Sara”