Tadinya mau ngelanjutin postingan: https://monikaoktora.com/2022/01/20/cerita-mudik-di-kala-pandemi-belanda-to-indonesia/ tentang mudik di Indonesia pas lagi pandemi. Tapi yah, baru ketulis judulnya aja, terus kesimpen aja ini di draft blog, gak sempet ketulis-tulis. Penyakit kalo udah nunda nulis tuh ujungnya malah gak jadi nulis. Emang kuduna dipaksakan gitu, walaupun terasa waktu mepet di antara huru-hara kerjaan kampus dan rumah tangga?
Yah sudahlah, saya kasihan juga sama si draft ini yang menunggu ditulis, daripada ujung-ujungnya berakhir trash.
Intinya, waktu kami mudik di 11 Desember 2021-16 Januari 2022, banyak sekali perasaan tercampur-campur. Dari mulai karantina menggila 10 hari, berurusan sama birokrasi Indonesia yang, biasalah, ribet. Lalu sampai di Bandung bertemu keluarga, pokoknya agenda khusus untuk keluarga. Boro-boro ketemu teman, janjian sana-sini. Pokoknya family time full, keluarga Mama Papa, Ibu Bapak, sama Kakak-Mbak-Mas-dan adik, tante-tante, om-om. Alhamdulillah masih sempat juga ketemu sahabat baik, itupun kebanyakan mereka yang nyamperin kita.
Nulis ini biar inget aja, kalau pernah mengalami pulang kampung ke Indonesia di masa pandemi. Melalui keribetan administrasi dan cek ini itu demi bisa menembus Indonesia.
2020 was not easy, 2021 was not easy either. Both years were struggle for everyone. Kami sudah menjadwalkan untuk pulang ke Indonesia sejak summer 2020 (Juni-Juli). Selain untuk mengunjungi keluarga, juga untuk kepentingan penelitian. Qadarullah pandemi corona melanda. Jadi dua kali niatan ini tertunda. Akhirnya di akhir tahun 2021, sepertinya harus “dipaksakan” dengan segala konsekuensinya.
Jadwal karantina yang berganti-ganti dalam dua minggu
Dari Desember 2021, pemerintah Negara Ki Sanak senang banget ngeganti aturan karantina. Dari 5-7-3-10 hari, ah pokoknya saya sampe lupa urutannya gimana. Selama Bapak Lumut berkuasa mah Negara Ki Sanak diobrak-abrik aja sama dia. Wallahu’alam juga sih kan katanya memang omicron melanda, jadi kudu hati-hati sama orang LN yang mau datang. Tapi tuh kebijakan dibuat kayak mainan aja. Bayar hotel itu kayak ngerampok aja. Daku kan jadi kesel. Mana pake drama untuk booking hotel pula. Udah > 20 hotel kami hubungi, masa semuanya penuh. Trus kami mau ke mana dong? Ke Wisma bisa aja sih. Tapi mempertimbangkan dua anak dan jadwal kerja kami (kami gak cuti selama karantina), tampaknya sangat tricky untuk ke Wisma.
Akhirnya dengan bantuan Papa, bisa juga booking hotel Me*cur*. Itu kami harus booking dua kamar pula. Karena ga memungkinkan untuk ber-4 dalam satu kamar selam 10 hari. Bisa stres. Dan hotel juga bilang gak boleh dengan kapasitas kamar deluxe untuk ber 4. Ya udah bismillah aja.
(OL): “Yes, we went to Bali for vacation. It was the best place we ever visited!”
Percakapan di atas sudah beberapa kali terjadi pada saya ketika saya berbicara dengan beberapa orang Belanda, di antaranya kolega di kampus, huisart (dokter keluarga) yang memeriksa anak saya, pasangan muda yang membeli stroller kami, oma-opa yang tinggal di apartmen kami, dan masih banyak lagi. Mata mereka berbinar-binar ketika menyebutkan kata ‘Bali’. Siapa yang tidak? Bagi kami yang orang Indonesia asli saja Bali merupakan pilihan wisata utama, apalagi bagi orang Belanda yang tidak pernah melihat Maha Karya Tuhan yang seindah ini? Maklumlah kondisi alam Belanda memang cenderung datar dan kaku. Sekaku orang Belanda pada umumnya, hehe. Tidak ada lekuk liku dari gunung dan lembah, dan tidak ada pantai dengan pemandangan sunset/sunrise yang cantik. Pantas saja orang Belanda begitu sampai di Bali merasa begitu takjub. Mereka selalu berkomentar, best destination ever! Ya iyalah, Bukan cuma alamnya yang bisa dinikmati, tetapi juga keberadaan cuaca tropis plus angin sepoi-sepoi yang membuai, plus kuliner yang kaya.
Ngomongin Bali memang selalu bikin mellow, bawaannya jadi ingin liburan aja … Soalnya di Belanda sudah mulai mendekati libur panjang musim dingin. Biasanya sebagian besar orang di sini sudah merencanakan libur panjang untuk menghabiskan natal dan tahun baru, sekalian escape winter, menghindari udara dingin yang menggigit dan langit yang senantiasa berwarna kelabu sepanjang hari.
Merencanakan libur ke Bali memang bukan kemewahan yang bisa direncanakan oleh setiap orang. Namun, Bali selalu menjadi wishlist hampir semua orang.
Saya sudah tiga kali mengunjungi Bali, Alhamdulillah. Pertama waktu berlibur bareng Mama dan Kakak (sekitar tahun 2005 mungkin, waktu saya SMA, agak lupa). Yang kedua, waktu babymoon anak pertama, tahun 2012, pas kebetulan suami ada dinas dari kantornya juga. Dan yang ketiga, waktu babymoon anak kedua, tahun 2017. Waduh ternyata dua kali pas saya sedang hamil ternyata, padahal gak direncanakan khusus untuk babymoon sih. Tempat yang saya kunjungi beda-beda di tiga kali liburan tersebut, tapi tentu saja semuanya berkesan.
Garuda Wisnu Kencana (GWK)
Sepertinya GWK adalah tempat yang saya kunjungi setiap saya ke Bali. Bukan karena ini tempat wisata favorit saya sih, murni karena ada di dalam list tour yang saya ikuti. Saya juga gak terlalu menikmati melihat hasil karya seni berupa patung. Aslinya saya juga sebenarnya gak terlalu mengerti apa sih GWK itu? Kenapa begitu populer ya? Yang saya ingat ada patung kepala-badan orang yang gede banget dan patung kepala burung. Waktu tahun 2017 saya ke sana, saya baru ngeh, ternyata patung sepotong badan itu belum selesai. Potongan bagian patung yang lain sudah ada dan akan digabungkan. Jadi patung itu akan berdiri kokoh setinggi hampir 120 meter. Desain jadinya adalah patung Dewa Wisnu (dalam agama Hindu) yang sedang menaiki Garuda. Ohhh.. pantesan namanya Garuda Wisnu Kencana … ya ampuun, baru tahu … kemana ajaa? Tapi memang pembangunan GWK sendiri sudah memakan waktu 28 tahun lebih. Hampir seumur saya dong, jadi, dimaafkanlah ya ketidaktahuan saya.
Salah satu spot di kawasan GWK Cultural Park, yang luasnya sampai 60 hektar
Pura Uluwatu
Menurut saya, Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pusat wisata yang unik, perpaduan dari karya seni manusia dan lukisan alam Allah. Mungkin tadinya pura ini dibangun memang untuk beribadah karena lokasinya yang memberikan suasana sakral. Pura ini terletak di bukit karang dengan ketinggian hampir 100 meter dari permukaan laut. Dinamakan Uluwatu sebab lokasi pura ini berada di atas tebing karang (Uluwatu = puncak batu karang; Sanksekerta).
Yang menarik perhatian saya bukan pura-nya, tetapi dahsyatnya hamparan Samudera Hindia dengan anak-anak ombaknya yang menghantam kaki tebing. Ditambah dengan pemandangan rona matahari terbenam yang cantik. Saat saya ke sana, kebetulan sudah mau masuk waktu sunset. Suami langsung sibuk dengan kameranya merekam lukisan alam yang tidak akan kami temui di Belanda. Masya Allah.
Oiya, ada dua hal lagi yang unik di Uluwatu. Pertama adalah keberadaan monyet atau kera yang cukup banyak, dari jalan masuk sampai masuk pintu utama pura, Di sekitar sana ada hutan rimbun, yang merupakan habitat para kera ini. Kera-kera ini agak iseng lho, hati-hati saja. Beberapa pemandu atau staf di Uluwatu meningatkan agar kita tidak memegang atau menggantungkan barang-barang (berharga) di tangan dan di badan, seperti kalung, kacamata kamera, handphone, dll. Bisa-bisa kera akan mengambilnya secara tiba-tiba dari tangan kita. Bahkan saya terpaksa melepas kacamata minus saya, daripada dicuri oleh si Kera.
Hal lain yang menarik adalah adanya pertunjukan Tari Kecak di Uluwatu. Kami mendapatkan selebaran untuk menonton pentas, yang akan dimulai setelah matahari terbenam, sekitar pukul 18-19. Saya ingin sekali menontonnya, terbayang suara “cak,cak, cak” bersahut-sahutan dari sekitar 50-100 penari. Tapi sayangnya, kondisi waktu itu tidak memungkinkan, jadi kesempatan tersebut kami lewatkan deh.
Pemandangan di Uluwatu menjelang sunset
Pantai Seminyak
Dari sekian banyak pantai di Bali, pantai ini merupakan salah satu favorit saya. Pantai ini terletak di sebelah utara Pantai Kuta. Tapi pantai ini tidak seramai dan sepadat Kuta, jadi kesannya lebih eksklusif. Di sepanjang Pantai Seminyak, ada tempat duduk plus payung besar yang disewakan untuk wisatawan. Saya lupa tarifnya, tapi bisa disewa misal sampai setengah hari atau beberapa jam.
Banyak aktivitas yang bisa dilakukan di Pantai Seminyak, berenang, berselancar, berjemur (khususnya buat para bule, kita mah udah cukup menikmati banyak sinar matahari), dan tentunya menikmati matahari terbenam.
Pemandangan sunset di Seminyak
Satu hal yang penting ketika liburan di Bali tentu mencari penginapan yang cocok dan pastinya harganya juga pas. Tiga kali ke Bali, saya menginap di beberapa tempat berbeda. Pernah di hotal kelas Melati, di hotel berbintang, maupun di villa (suami nyari di airbnb). Saya paling terkesan ketika menginap di villa (soalnya ramai-ramai juga dengan tante dan sepupu). Memang ada beberapa pilihan tempat menginap di Bali, mencari villa murah di Bali memang takes time, tapi demi liburan yang nyaman, effort dikit gak masalah dong. Salah satu pilihan untuk mencari penginapan di Bali, baik hotel maupun villa, bisa dilakukan di Pegipegi. Fitur pencarian di Pegipegi sangat user friendly. Kamu bisa mencari lokasi mana yang kamu inginkan, tipe penginapan yang seperti apa (hotel, villa, guest house, bungalow, dst), tarif yang sesuai kantong, sampai fasilitas apa saja yang kamu inginkan di penginapan tersebut. Misal kalau saya sih mencari hotel atau villa yang sudah include dengan kolam renang, soalnya anak-anak pasti happy banget. Nah, cuma klik-klik aja bisa deh nemu penginapan mana yang sesuai, mudah dan nyaman!
Selain menyiapkan dana dan itinerary yang matang untuk travelling, ada hal lain yang penting juga yang harus diperhatikan selama jalan-jalan. Yaitu perbekalan dan kesehatan.
Kalau dana ada tapi gak ada makanan yang layak untuk dibeli, selama jalan-jalan perut bisa keroncongan. Dana ada, tapi tetap harus memikirkan makanan apa yang murah dan halal-thoyyib untuk bisa dimakan. Kalau makanannya mahal-mahal yang dibeli terus, bisa-bisa pulang travelling ngais-ngais ntar. Maka dari itu makanan adalah hal yang esensial untuk disiapkan.
Biasanya kami selalu membawa bekal dari Groningen. Apakah itu beras/lontong, mie/popmie, biskuit, abon, sosis kalengan dll. Kadang jika dibutuhkan (di penginapan tidak ada dapur) kami akan membawa rice cooker turut serta. Nasi memang tidak lepas sebagai makanan sehari-hari. Biasanya sih, saya kuat aja gak makan nasi beberapa hari, begitu juga dengan Runa. Suami juga bisa diajak kompromi. Tapi dengan kondisi saya sekarang yang sedang hamil muda, perut kurang bisa diajak kerja sama. Dalam waktu dua jam saya udah merasa lapar. Kalau makan berat pengennya nasi biar nampol. Akhirnya perbekalan yang kami bawa cukup banyak, rice cooker, beras, mie, dan aneka biskuit.
Namun ternyata perjalanan seminggu tetap saja bekal kami kurang. Itupun kami tetap jajan di luar dan membeli roti, telor, selai di supermarket yang ada.
Satu lagi, meski itinerary sudah komplit dan matang, tapi kalau badan gak fit, tentu tidak bisa menikmati jalan-jalan dengan nyaman. Maka dari itu, kami lebih santai kalau sedang jalan-jalan. Menghabiskan 2-3 hari di kota yang sama baru pindah ke tempat lainnya. Kalau badan sudah capek, ya sudah tidak usah dipaksakan untuk tetap jalan, istirahat saja di penginapan.. santai-santai. Itu kan juga bagian dari liburan.
Jadi, merencanakan travelling yang matang juga tetap harus mempertimbangkan dua faktor penting tadi. Buat apa jalan-jalan tapi perut lapar dan badan tidak fit? Nanti pemandangan di depan mata jadi tidak menarik lagi. Seni travelling ternyata banyak juga celahnya, terutama kalau travelling dengan bocah. Yang penting semuanya dinikmati dan disyukuri. Alhamdulillah
Trip kali ini saya benar-benar lost. Karena satu dan lain hal, saya gak ikut menyiapkan itinerary sama sekali, googling tempat-tempat yang akan kami kunjungi, apalagi membayangkan tempatnya seperti apa. Biasanya kamu menyusunnya bersama. Untung suami yang sigap, merencanakan semuanya.
Maka begitu ketika kami sampai di Santorini, saya juga gak tahu sama sekali apa-apa yang bagus di sini. Saya cuma tahu dari beberapa teman yang sudah ke sini, katanya Santorini itu cantiiiik banget. Good escape dari cuaca Belanda yang moody. Ternyata memang, cuaca cerah dan matahari hangat menyambut kami.
Santorini adalah pulau yang terletak di Laut Aegean, sekitar 200 km dari pulau utama Yunani. Nama Santorini diambil dari nama Kerajaan Latin di abad ke-13 Saint Irene, merupakan nama yang diambil dari katedral tua.
Saya juga baru tahu setelah sampai di sini, ternyata Santorini ini adalah sisa-sisa dari bekas erupsi volcano beribu tahun yang lalu (disebut Caldera). Erupsi terbesarnya adalah Minoan eruption, disebut juga Thera eruption. Maka, Pulau Santorini juga terkenal dengan nama lain Thera.
Apa saja yang bisa dinikmati di Santorini?
Ibu kota Santorini adalah Fira, bandaranya juga terletak di sana. Tapi tempat yang terkenal senagai daerah wisatanya adalah Oia. Di Oia, warna putih dan biru mendominasi. Bangunan-bangunannya terbuat dari semem bertumpuk-tumpuk, diselingi dengan tangga. Warna biru menemani warna putih yang mendominasi. Memberikan efek sejuk pada mata. Salah satu spot utama yang terkenal di Santorini. Tiga kubah biru, yang merupakan gereja. Spot tersebut menjadi incaran untuk berfoto.
Sunset di Santorini
Salah satu yang para turis incar di Oia, Santorini adalah momen matahari terbenam. Panorama langit, laut, matahari yang berpadu dengan cantiknya kota sangat menarik untuk dinikmati. Guratan warna merah-oranye-kuning yang menyatu dengan birunya laut dan langit sangatlah indah. Berbondong-bondong para turis ini menuju spot di mana sunset dapat terlohat jelas. Di bulan April ini sunset jatuh pada pukul 20.00-20.30. Tetapi sejak pukul 19.00, spot tersebut sudah penuh turis, yang ingin mengabadikan momen dengan berfoto. Ketika sunset tiba, dan matahari sudah tenggelam sama sekali, terdengar tepuk tangan dari mereka. Menandakan berakhirnya momen sunset. Kalau kita mah bilangnya Subhanallah.. Masya Allah.. Maha Besar Allah yang menciptakan keindahan tersebut.
Jika ingin berkunjung ke Santorini, waktu terbaik adalah selepas winter dan sebelum winter datang. Bahkan beberapa penginapan di Oia hanya buka 6 bulan saja (mungkin saat pertengahan spring-summer-pertengahan autumn). Sisanya ketika winter, mereka tutup, untuk renovasi. Selain itu, mungkin karena cuaca dingin juga sih. Ramainya turis juga bisa ditemukan sepanjang 6 bulan tersebut.
Dengan magnet pariwisata di Santorini yang sangat kuat ini membuat Greece tetap bisa bertahan di tengah terjangan krisis ekonomi yang menimpa mereka. Tidak aneh sih, bisa dibayangkan berapa devisa yang mereka dapatkan dari pariwisata. Pelayanan mereka juga sangat prima untuk turis. Dari mulai pengurus penginapan sampai pelayan resto mereka sangat profesional sekali. Yunani saja “hanya” memiliki beberapa pulau untuk spot wisata bisa bertahan dari sana. Mungkin seharusnya Indonesia yang punya ribuan pulau dan berbagai pusat wisata juga bisa melejitkan potensi devisanya. Jadi turis gak cuma kenal Bali lagi, Bali lagi.
Masih dalam rangka #30DWC, meski saat ini lagi liburan dan kami keliling-keliling, saya paksakan juga tetap menulis sesuatu. Justru masih dalam suasana libur, jadi cerita yang saya mau tulis masih panas. Kebiasaan kalau sudah pulang, selesai libur, semua cerita yang mau ditulis malah keburu menguap. Sayanya juga terbawa malas. Ditambah pressure menulis yang isinya harus berbobot.
Mumpung masih hangat nih ya.
Menonton bola langsung di stadium sebenarnya bukanlah hal yang benar-benar saya ingin lakukan. Menonton liga-liga terkenal di dunia secara live memang menggiurkan, membayangkan sensasi berasa satu tempat dengan pemain-pemain terkenal. Kali ini suami yang ngebet banget ingin nonton, tim kesayangannya bermain, match derby pula di Milan. Saya sih hayuk-hayuk aja.
Kalau dulu, mungkin saya akan excited banget. Tapi makin ke sini, antusiasme saya dalam menonton bola semakin meluntur (seiring bertambahnya usia haha). Kalau dulu saya akan bela-belain bangun dini malam untuk nonton tim favorit saya berlaga, atau menonton pertandingan seru antar dua tim terkenal. Sekarang mah woles aja, padahal jam nonton bola di Belanda masih bersahabat, kadang siang, sore, atau malam di bawah jam 9. Mending waktu saya dipakai untuk tidur. Dulu saya sampai hapal siapa-siapa pemain, pelatih, siapa yang ada di atas klasemen dan siapa top scorer. Sekarang, cukup tahu siapa yang menang aja.
Jadi sewaktu saya melangkahkan kaki ke Stadium San Siro, stadium yang membesarkan nama pemain favorit saya dulu, Pippo inzaghi, saya merasa biasa-biasa saja. Tidak seperti suami yang heboh banget, beli atribut Inter Milan supaya nonton bolanya makin seru.
Duh penuh gini stadium, kayaknya gak children friendly buat Runa, pikir saya (hyaeyalah). Kami mengantri di gate 9. Ketika sudah lama mengantri dan diperiksa tiket dan identitas, eh kami disuruh ke gate 5, karena bawa anak. Anak-anak ternyata perlu tiket, meski gak bayar. Jadilah kami mengantri lagi. Untung gak lama, kami pun masuk. Ternyata tempat duduk kami di deretan 300 itu berada paliiingg atas. Saya udah cemas aja ketika masuk stadium yang kecium adalah bau rokok, cimeng (ganja), dan gerombolan laki-laki Itali yang gogorowokan. Syukur tempat kami di atas cukup nyaman. Saya dan Runa bisa duduk, sementara suami berdiri di belakang (Runa memang gak dapat tempat duduk). Sebelah Runa adalah anak muda yang minim ekspresi, gak ribut. Sebelah saya adalah bapak-bapak necis yang sibuk berkomentar sepanjang pertandingan. Di depan kami bapak dengan dua anaknya yang mungkin berusia 8-10 th.
Tapi memang beda hawa-hawa nonton di stadium itu. Semua orang bersuka cita menanti timnya berlaga, melakukan yel-yel, teriak-teriak, ber-AH-OH, dan tepuk tangan bersama-sama. Suami udah ikutan aja. Saya sama Runa cukup duduk manis aja, sambil ngemil.Di waktu break, kami yang lapar malah buka kotak bekel makan nasi. Di awal babak kedua, Runa dengan santainya tertidur di pangkuan saya, di tengah berisiknya para penonton. Runa pulas sampai peluit panjang babak kedua ditiup
Kekurangannya nonton live ada juga. Pertama gak bisa lihat siaran ulang. Kedua, gak tahu siapa yang lagi ngegiring bola, bahkan yang ngegol-in. Posisi duduk kami kan jauh dari lapangan. Ketiga, gak bisa nyelonjorin kaki sambil makan kacang kayak kall nonton depan tipi.
Pada akhirnya derby memang berakhir dramatis 2-2. Padahal awalnya Inter memimpin 2-0. Hal ini membuat fans Inter di tempat duduk kami berteriak-teriak kecewa. Tapi mau gimana lagi. Sepak bola memang tak ubahnya candu seperti cimeng dan penuh drama seperti sinetron punjabi. Bagaimanapun juga untuk saya, cukup sekali saja nonton live sambil bawa anak. Besok-besok mending nonton di rumah, itupun kalau saya gak tidur.
Sudah lama gak nulis tentang trip atau jalan-jalan ala Monik and Family. Masih ngutang Trip to Spain (Malaga and Granada), Trip to Bremen (yang udah ketiga kalinya saya ke sana), dan tentunya spiritual trip to Mekah dan Madinah. Deuh utangnya banyak cuy, kenapa saya anggap hutang? Karena menurut saya pengalaman tersebut harus dituliskan, supaya saya pribadi punya kenangan yang bisa dibaca dan dibuka kapan saja, ganjel aja gitu kalau ga dituliskan. Selain itu juga untuk sharing ke orang lain yang mungkin punya rencana trip yang sama dengan saya, jadi memudahkan juga toh.
Okeh, mumpung yang ini masih agak fresh, saya cicil cerita trip saya.
Jadi Trip to Italy ini adalah the first buat saya dan Runa jalan-jalan tanpa Si Ayah. Saya dan Runa “bertugas” menemani Mama dan Papa jalan-jalan ke tanah kelahiran Leonardo da Vinci tersebut, Negara di bagian Eropa Selatan. Suami memang lagi gak bisa nemenin karena cutinya udah tipis, dipakai untuk haji kemarin. Alasan lain saya mau aja berangkat gak sama suami yaa karena saya sendiri belum pernah menjejakkan kaki ke negara pizza tersebut. Yang kedua, kapan lagi ini anaknya bisa ngajak orang tua pelesir ke negara orang (yang juga belum pernah ke sana), yang katanya penuh dengan karya budaya dan berseni tinggi? Continue reading “Trip to Italy? Choose the cities first”→
Menyambut weekend minggu kemarin, saya diajak Mbak Frita jalan-jalan ke Bourtange, salah satu obyek wisata di Provinsi Groningen. Letaknya sebenarnya cukup jauh dari pusat Kota Groningen, hampir ke perbatasan Jerman, ke arah selatannya Groningen. Saya yang lagi lowong pun mengiyakan saja, lumayan bisa sekalian cek lokasi kalau nanti mau ke sana lagi ngajak Mama dan Runa.
Ada beberapa cara untuk bisa sampai ke Bourtange. Kami memilih untuk naik bus. Kebetulan saat zomer vakantie ini ada promo dari Qbuzz Groningen, dagkaart 10€ (untuk 2 orang), bisa naik bus ke seluruh wilayah Provinsi Groningen seharian! Murah banget itu mah namanya. Kebetulan kami memang ber-4 (saya, Mbak Frita, Mbak Esmi, dan Laras), jadi pas beli tiketnya. Oiya ditambah Muti, anaknya Mbak Frita, tapi anak-anak sih masih gratis bayar transportasinya. Continue reading “One Day Trip to Bourtange”→
Apa yang akan kalian beli untuk oleh-oleh ketika jalan-jalan ke tempat baru? atau ke suatu tempat yang jarang-jarang dikunjungi? Bisa jadi oleh-oleh bisa berupa makanan khas daerah tersebut, kerajinan tangan khas, atau pajangan yang merepresentasikan daerah tersebut. Tidak lupa oleh-oleh berupa beberapa jepretan foto saat kita travelling ke sana. Macem-macem deh.. Kalau di Indonesia biasanya lebih sering oleh-oleh berupa makanan ya, hehe.. habisnya makanan di Indo enak-enak, kalau ke Yogtakarta ya beli bakpia, kalau ke Medan beli bolu gulung Meranti, ke Bali ada pie susu atau pia legong, ke Padang ada sanjai balado, karak kaliang, kipang, randang *buset ik jadi ngiler sendiri nulisnya*, apalagi kalau ke Bandung udah berlimpah tu oleh-oleh makanan khas Bandung. Continue reading “Memilih Oleh-oleh ketika Travelling”→
Hallstatt. Awalnya, saya juga gak terlalu ngeh Hallstatt itu semacam apa, kota-kah, site wisata-kah, atau apa..? Cuma waktu saya lagi nyusun rencana travelling ke Austria, saya nanya ke sahabat saya, Laras (dia sudah ke Salzburg dan Innsbruck sebelumnya), kalau di Austria yang layak untuk dikunjungi itu apa? Dia bilang Hallstatt.. Kemarin dia belum mampir ke sana. Eh Hallstatt apaan? Kata saya. Itu lho yang desa di kelilingi pegunnungan, tempatnya kaya di dongeng-dongeng. Jawab Laras.
Lah.. makin ga kebayang deh. Sudah saya googling juga, tapi belum dapat gambaran yang pas tentang Hallstatt. Begitu saya bilang ke suami tentang Hallstatt, dia langsung oke. Katanya terkenal sih itu. Ternyata Pidi, si sahabat saya yang tinggal di Austria juga sudah pernah ke sana. Bahkan dia cuma sehari pulang pergi, katanya cukup. Continue reading “Trip to Hallstatt: Si Desa Tambang Garam Tertua”→