Tadinya mau ngelanjutin postingan: https://monikaoktora.com/2022/01/20/cerita-mudik-di-kala-pandemi-belanda-to-indonesia/ tentang mudik di Indonesia pas lagi pandemi. Tapi yah, baru ketulis judulnya aja, terus kesimpen aja ini di draft blog, gak sempet ketulis-tulis. Penyakit kalo udah nunda nulis tuh ujungnya malah gak jadi nulis. Emang kuduna dipaksakan gitu, walaupun terasa waktu mepet di antara huru-hara kerjaan kampus dan rumah tangga?
Yah sudahlah, saya kasihan juga sama si draft ini yang menunggu ditulis, daripada ujung-ujungnya berakhir trash.
Intinya, waktu kami mudik di 11 Desember 2021-16 Januari 2022, banyak sekali perasaan tercampur-campur. Dari mulai karantina menggila 10 hari, berurusan sama birokrasi Indonesia yang, biasalah, ribet. Lalu sampai di Bandung bertemu keluarga, pokoknya agenda khusus untuk keluarga. Boro-boro ketemu teman, janjian sana-sini. Pokoknya family time full, keluarga Mama Papa, Ibu Bapak, sama Kakak-Mbak-Mas-dan adik, tante-tante, om-om. Alhamdulillah masih sempat juga ketemu sahabat baik, itupun kebanyakan mereka yang nyamperin kita.
Nulis ini biar inget aja, kalau pernah mengalami pulang kampung ke Indonesia di masa pandemi. Melalui keribetan administrasi dan cek ini itu demi bisa menembus Indonesia.
2020 was not easy, 2021 was not easy either. Both years were struggle for everyone. Kami sudah menjadwalkan untuk pulang ke Indonesia sejak summer 2020 (Juni-Juli). Selain untuk mengunjungi keluarga, juga untuk kepentingan penelitian. Qadarullah pandemi corona melanda. Jadi dua kali niatan ini tertunda. Akhirnya di akhir tahun 2021, sepertinya harus “dipaksakan” dengan segala konsekuensinya.
Jadwal karantina yang berganti-ganti dalam dua minggu
Dari Desember 2021, pemerintah Negara Ki Sanak senang banget ngeganti aturan karantina. Dari 5-7-3-10 hari, ah pokoknya saya sampe lupa urutannya gimana. Selama Bapak Lumut berkuasa mah Negara Ki Sanak diobrak-abrik aja sama dia. Wallahu’alam juga sih kan katanya memang omicron melanda, jadi kudu hati-hati sama orang LN yang mau datang. Tapi tuh kebijakan dibuat kayak mainan aja. Bayar hotel itu kayak ngerampok aja. Daku kan jadi kesel. Mana pake drama untuk booking hotel pula. Udah > 20 hotel kami hubungi, masa semuanya penuh. Trus kami mau ke mana dong? Ke Wisma bisa aja sih. Tapi mempertimbangkan dua anak dan jadwal kerja kami (kami gak cuti selama karantina), tampaknya sangat tricky untuk ke Wisma.
Akhirnya dengan bantuan Papa, bisa juga booking hotel Me*cur*. Itu kami harus booking dua kamar pula. Karena ga memungkinkan untuk ber-4 dalam satu kamar selam 10 hari. Bisa stres. Dan hotel juga bilang gak boleh dengan kapasitas kamar deluxe untuk ber 4. Ya udah bismillah aja.
(OL): “Yes, we went to Bali for vacation. It was the best place we ever visited!”
Percakapan di atas sudah beberapa kali terjadi pada saya ketika saya berbicara dengan beberapa orang Belanda, di antaranya kolega di kampus, huisart (dokter keluarga) yang memeriksa anak saya, pasangan muda yang membeli stroller kami, oma-opa yang tinggal di apartmen kami, dan masih banyak lagi. Mata mereka berbinar-binar ketika menyebutkan kata ‘Bali’. Siapa yang tidak? Bagi kami yang orang Indonesia asli saja Bali merupakan pilihan wisata utama, apalagi bagi orang Belanda yang tidak pernah melihat Maha Karya Tuhan yang seindah ini? Maklumlah kondisi alam Belanda memang cenderung datar dan kaku. Sekaku orang Belanda pada umumnya, hehe. Tidak ada lekuk liku dari gunung dan lembah, dan tidak ada pantai dengan pemandangan sunset/sunrise yang cantik. Pantas saja orang Belanda begitu sampai di Bali merasa begitu takjub. Mereka selalu berkomentar, best destination ever! Ya iyalah, Bukan cuma alamnya yang bisa dinikmati, tetapi juga keberadaan cuaca tropis plus angin sepoi-sepoi yang membuai, plus kuliner yang kaya.
Ngomongin Bali memang selalu bikin mellow, bawaannya jadi ingin liburan aja … Soalnya di Belanda sudah mulai mendekati libur panjang musim dingin. Biasanya sebagian besar orang di sini sudah merencanakan libur panjang untuk menghabiskan natal dan tahun baru, sekalian escape winter, menghindari udara dingin yang menggigit dan langit yang senantiasa berwarna kelabu sepanjang hari.
Merencanakan libur ke Bali memang bukan kemewahan yang bisa direncanakan oleh setiap orang. Namun, Bali selalu menjadi wishlist hampir semua orang.
Saya sudah tiga kali mengunjungi Bali, Alhamdulillah. Pertama waktu berlibur bareng Mama dan Kakak (sekitar tahun 2005 mungkin, waktu saya SMA, agak lupa). Yang kedua, waktu babymoon anak pertama, tahun 2012, pas kebetulan suami ada dinas dari kantornya juga. Dan yang ketiga, waktu babymoon anak kedua, tahun 2017. Waduh ternyata dua kali pas saya sedang hamil ternyata, padahal gak direncanakan khusus untuk babymoon sih. Tempat yang saya kunjungi beda-beda di tiga kali liburan tersebut, tapi tentu saja semuanya berkesan.
Garuda Wisnu Kencana (GWK)
Sepertinya GWK adalah tempat yang saya kunjungi setiap saya ke Bali. Bukan karena ini tempat wisata favorit saya sih, murni karena ada di dalam list tour yang saya ikuti. Saya juga gak terlalu menikmati melihat hasil karya seni berupa patung. Aslinya saya juga sebenarnya gak terlalu mengerti apa sih GWK itu? Kenapa begitu populer ya? Yang saya ingat ada patung kepala-badan orang yang gede banget dan patung kepala burung. Waktu tahun 2017 saya ke sana, saya baru ngeh, ternyata patung sepotong badan itu belum selesai. Potongan bagian patung yang lain sudah ada dan akan digabungkan. Jadi patung itu akan berdiri kokoh setinggi hampir 120 meter. Desain jadinya adalah patung Dewa Wisnu (dalam agama Hindu) yang sedang menaiki Garuda. Ohhh.. pantesan namanya Garuda Wisnu Kencana … ya ampuun, baru tahu … kemana ajaa? Tapi memang pembangunan GWK sendiri sudah memakan waktu 28 tahun lebih. Hampir seumur saya dong, jadi, dimaafkanlah ya ketidaktahuan saya.
Salah satu spot di kawasan GWK Cultural Park, yang luasnya sampai 60 hektar
Pura Uluwatu
Menurut saya, Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pusat wisata yang unik, perpaduan dari karya seni manusia dan lukisan alam Allah. Mungkin tadinya pura ini dibangun memang untuk beribadah karena lokasinya yang memberikan suasana sakral. Pura ini terletak di bukit karang dengan ketinggian hampir 100 meter dari permukaan laut. Dinamakan Uluwatu sebab lokasi pura ini berada di atas tebing karang (Uluwatu = puncak batu karang; Sanksekerta).
Yang menarik perhatian saya bukan pura-nya, tetapi dahsyatnya hamparan Samudera Hindia dengan anak-anak ombaknya yang menghantam kaki tebing. Ditambah dengan pemandangan rona matahari terbenam yang cantik. Saat saya ke sana, kebetulan sudah mau masuk waktu sunset. Suami langsung sibuk dengan kameranya merekam lukisan alam yang tidak akan kami temui di Belanda. Masya Allah.
Oiya, ada dua hal lagi yang unik di Uluwatu. Pertama adalah keberadaan monyet atau kera yang cukup banyak, dari jalan masuk sampai masuk pintu utama pura, Di sekitar sana ada hutan rimbun, yang merupakan habitat para kera ini. Kera-kera ini agak iseng lho, hati-hati saja. Beberapa pemandu atau staf di Uluwatu meningatkan agar kita tidak memegang atau menggantungkan barang-barang (berharga) di tangan dan di badan, seperti kalung, kacamata kamera, handphone, dll. Bisa-bisa kera akan mengambilnya secara tiba-tiba dari tangan kita. Bahkan saya terpaksa melepas kacamata minus saya, daripada dicuri oleh si Kera.
Hal lain yang menarik adalah adanya pertunjukan Tari Kecak di Uluwatu. Kami mendapatkan selebaran untuk menonton pentas, yang akan dimulai setelah matahari terbenam, sekitar pukul 18-19. Saya ingin sekali menontonnya, terbayang suara “cak,cak, cak” bersahut-sahutan dari sekitar 50-100 penari. Tapi sayangnya, kondisi waktu itu tidak memungkinkan, jadi kesempatan tersebut kami lewatkan deh.
Pemandangan di Uluwatu menjelang sunset
Pantai Seminyak
Dari sekian banyak pantai di Bali, pantai ini merupakan salah satu favorit saya. Pantai ini terletak di sebelah utara Pantai Kuta. Tapi pantai ini tidak seramai dan sepadat Kuta, jadi kesannya lebih eksklusif. Di sepanjang Pantai Seminyak, ada tempat duduk plus payung besar yang disewakan untuk wisatawan. Saya lupa tarifnya, tapi bisa disewa misal sampai setengah hari atau beberapa jam.
Banyak aktivitas yang bisa dilakukan di Pantai Seminyak, berenang, berselancar, berjemur (khususnya buat para bule, kita mah udah cukup menikmati banyak sinar matahari), dan tentunya menikmati matahari terbenam.
Pemandangan sunset di Seminyak
Satu hal yang penting ketika liburan di Bali tentu mencari penginapan yang cocok dan pastinya harganya juga pas. Tiga kali ke Bali, saya menginap di beberapa tempat berbeda. Pernah di hotal kelas Melati, di hotel berbintang, maupun di villa (suami nyari di airbnb). Saya paling terkesan ketika menginap di villa (soalnya ramai-ramai juga dengan tante dan sepupu). Memang ada beberapa pilihan tempat menginap di Bali, mencari villa murah di Bali memang takes time, tapi demi liburan yang nyaman, effort dikit gak masalah dong. Salah satu pilihan untuk mencari penginapan di Bali, baik hotel maupun villa, bisa dilakukan di Pegipegi. Fitur pencarian di Pegipegi sangat user friendly. Kamu bisa mencari lokasi mana yang kamu inginkan, tipe penginapan yang seperti apa (hotel, villa, guest house, bungalow, dst), tarif yang sesuai kantong, sampai fasilitas apa saja yang kamu inginkan di penginapan tersebut. Misal kalau saya sih mencari hotel atau villa yang sudah include dengan kolam renang, soalnya anak-anak pasti happy banget. Nah, cuma klik-klik aja bisa deh nemu penginapan mana yang sesuai, mudah dan nyaman!
Udah lama mo ngeposting ini ga jadi-jadi aja.. Sayang foto-fotonya kesimpen di draft. Begitu ada waktu lowong baru deh lanjut lagi..
Jadi waktu si Ayah dapet libur panjang, kita emang berencana ngabisin liburan di Bandung, salah satu tujuan kita ke Floating Market. Penasaran juga sih orang-orang ngomongin Floating Market, tapi ga kebayang gimana bentuknya. Kita ke sana sengaja bukan pas weekend, karena pasti penuuhh.. Dan ternyata bener, pas weekdays lebih enak, lebih nyantai, dan ga riweuh.
Jalanan ke arah Lembang pun ga macet, kebayang sih kalo weekend macetnya kaya apa. Si Floating Market letaknya di belakang Grand Hotel Lembang, jalannya ini searah, jadi kita harus memutar melewati pasar Lembang dan balik lagi ke arah Bandung melalui jalan searah Jl. Grand Hotel.
Biaya masuknya Rp.10.000/orang dan Rp.5.000,- untuk parkir mobil. Dengan bayar tiket masuk 10ribu, kita udah bisa sekalian dapet minuman anget gratis (Milo, Lemon Tea, Coffe latte, dan Choco Latte. ), ditukerin dengan tiket di pintu masuknya. Cocok deh untuk menyambut udara dinginnya Lembang.
Buat yang lagi nyari-nyari tempat renang yang oke di Bandung, mungkin ini bisa jadi salah satu pilihan. Tempatnya di pusat kota, akses ke sana gampang, kolam renang, dan fasilitasnya pun oke. Saya bukan agen marketingnya dari kolam renang ini lhoo.. cuma ngasi info aja. Soalnya sering kan yaa pas weekend atau pas lagi libur, rasanya pengen ngajak anak renang, eh bingung mo ke mana, pengen yang tempatnya di kota, terus pengen juga aer kolamnya anget. Kalau menurut saya Siliwangi ini recommended utk opsi di atas. Untuk kolam renang air hangat bisa juga ke Cipaku (tapi lumayan jauh juga); Eldorado (Setiabudi) belum dieksplor ke sana, next time aah; Bikasoga (buah batu) wiken doang sih air angetnya, udah lama beeut ga ke situ, kayanya terakhir pas taun 2000-an, dulu mah asa biasa, kayanya skrg udah lebih bagus; ada juga sih kolam renang favorit saya dari jaman SD, Bandung Indah Waterpark, dulu maah WAAAH PISANN, gatau tah skrg, cuma sayangnya ga ada kolam air angetnya, ntar deh pengen ke sana sama Ayah&Runa.
Kalau ada liburan panjang, suami bisa cuti kerja, dan si Kecil udah bisa diajak-ajak jalan-jalan ada 3 tempat yang ingin saya datangi:
Padang-Bukittinggi-Payakumbuh, kampuang halaman mama dan papa, dan saya juga tentunya
Yogyakarta, tempat kuliah si Ayah (UGM) yang somehow tiap ke sana selalu kangenn lagi dan lagi.. dan tiap denger lagu Yogyakartanya Kla Project pasti mellow
Bali, well.. who doesn’t want to go there?
Terakhir kali saya jalan-jalan sebelum punya buntut adalah ke Bali. Nemenin dinasnya suami, yang kebetulan ada meeting di sana. Yah, bolehlah.. walopun suka bete sama load kerja si Ayah di perusahaan seragam biru itu, tapi ada juga yang kecipratan senengnya. Kompensasilah yaa..
And I was in my 7th month pregnancy, and I still fly with airplane Jakarta-Bali *nekat–tapi udah ngantongin izin dokter, walopun sempet terhambat di Soetta, heu)
Pantai di belakang Hotel Intercontinental, Jimbaran
Sunset @ Private FInn’s Beach Club, Ungasan
@ Private FInn’s Beach Club, Ungasan
Haaahh.. kalau inget saat jalan-jalan.. inget angin pantai Bali yang sepoi-sepoi, suara ombak yang merdu, rasanya damaiiiii gitu…
Jadi pengen ke Bali lagi..
Nanti-lah yaa..
Kalo di saat-saat butek, inget damainya saat-saat santai di pantai, jadi bersyukur.. Alhamdulillah.. pernah ngerasain juga saat-saat tenang 🙂
“Nak, kalau ayahmu udah pernah jalan-jalan ke Menara Pisa di Italia, bundamu ini juga udah pernah mengelilingi Monas dan naik sampai puncaknya”
Mungkin itu yang bisa saya sampaikan pada anakku kelak (tapi yaa.. mudah2an sebelum ngegendong anak bisa mampir dulu ke Paris lihat dan manjat Menara Eiffel sama ayah, hehehe… Amiin).
Ya, memang bukan orang Jakarta namanya kalo naik-naik ke puncak Monas. dan memang saya bukan orang Jakarta, hehe.. jadi penasaran untuk jalan kesana, melihat langsung, papanasan ga jelas, dan manjat (naik lift tepatnya) ke puncak Monas.
Dapat kesempatan kerja praktek (KP) apoteker di Jakarta saya manfaatkan untuk bisa sedikit ‘melek’ Jakarta. Sebagai Mojang Bandung berdarah Minang, selama hampir seumur hidup saya (dihitung sampai sekarang), saya jarang melangkahkan kaki keluar Paris van Java untuk menetap sampai sebulan. Pengalaman hidup saya untuk menetap seorang diri di luar Bandung memang minim. Dulu sih pernah magang di Jakarta juga sebulan, tapi ga dihitung soalnya nginep di rumah tante dan tiap minggu pulang Bandung, heuheu..