Cerita Runa

“Runa Bisa Sendiri!”

“Engga Bun, Runa bisa sendiri.”

“Runa ajaaa, Bun”

Akhir-akhir ini kalimat seperti di atas dan sejenisnya sering keluar dari mulut Runa. Misalnya saat Runa mau dipakaikan baju, mau dibantuin pakai sepatu, atau mengambil barang. Anak seusia Runa (3 tahun) memang sedang dalam tahap eksplorasi, semua ingin dicobanya sendiri. Ditambah lagi mereka sering melihat orang lain atau orang tuanya melakukan hal tersebut, merekapun jadi ingin menirunya. Anak itu kan peniru yang ulung.

bcbae6834a23dd52f4a9c37afb82c9d1

Tapi tahapan “melakukan segala sesuatu sendiri” ini ternyata tricky juga. Di satu sisi saya senang karena Runa sudah mulai mandiri dan menguji kemampuan dirinya. Di satu sisi saya harus sabar dan telaten juga menghadapinya.  Continue reading ““Runa Bisa Sendiri!””

Mommy's Abroad, Motherhood

Mengatasi Kekacauan di tengan ke-multi-tasking-an

Menurut penelitian otak wanita memang dirancang untuk lebih bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan dalam satu waktu, multi-tasking bahasa kerennya. Entah karena pengaruh otak kanannya yang lebih bekerja, pengaruh hormon yang lebih banyak memproduksi ‘ketenangan’ sehingga bisa menghandle banyak kegiatan, atau karena.. memang tuntutan hidup?

Entahlah. Bisa dicari alasan ilmiahnya.

Tapi saya yakin ibu-ibu semua punya kemampuan tersebut. Udah terbiasa.

Saya juga. Ketika banyak kerjaan melanda, saya sendiri yang men-set bahwa saya harus bisa multitasking urus ini itu.

Tapi kadang saya merasa cape juga ya.

Kenapa ya perempuan harus multitasking? Kadang saya iri sama bapak-bapak yang (katanya) memang lebih fokus untuk satu pekerjaan sampai selesai. Di suatu waktu saya ingin cuma fokus pada satu pekerjaan saja. Tapi memang dasar wanita, itu gak bisa.

Ya udah deh disyukuri aja.

Cuma yang pentingnya itu gimana memanajemen stres saat multitasking itu ternyata tidak berjalan dengan baik. Masakan gosong, anak nangis, tugas kuliah belom beres, rumah berantakan. Huwaaaa.. Continue reading “Mengatasi Kekacauan di tengan ke-multi-tasking-an”

Cerita Runa, Info for Motion

Problematika Semua Ibu: Anak Susah Makan

Di grup whatsapp ibu-ibu, di grup motherhood facebook, di timeline facebook, curhatan temen di sini, hampir semuanya pernah membahas: “Anak saya lagi susah makan, gimana ya caranya biar dia mau makan?” atau “Anak saya BBnya ga naik-naik udah berapa bulan, udah coba menu baru dianya tetep ga mau makan .” atau “Anak saya makannya diemut, anak saya makannya harus sambil nonton atau main, aduh gimana yaa?” 

Anda gak sendiri ibu-ibu. Saya juga dulu mengalaminya, dan kayaknya hampir 85% ibu-ibu mengalami hal ini (presentase ngasal). Dari semua anak yang saya tahu, saya baru nemu satu anak yang makannya ga susah, namanya Daanish (laki-laki, 3 y.o), temennya Runa di sini. Semua yang dikasih dia makan, ga perlu disuapin, dia masukin sendiri makanan ke mulut, timun mentah aja dia lahap, ortunya kayaknya ga pernah pusing ngasih dia makan. Kelebihan anak emang beda-beda sih ya. Sampai saya bikin teori sendiri “9 dari 10 anak itu susah makan. 1 anak yang ga susah makan itu ya Daanish”

Saya mau sharing sedikit pengalaman Runa ketika MPASI (usia 6 bulan) sampai 2 tahun. Awal-awal gak terlalu susah ngasih makan Runa dan mengenalkan menu MPASI yang bervariasi. Pernah saya jadwal MPASI Runa dan pelaksanaan MPASInya. Masa-masa tersulit kayaknya waktu Runa usia 8m sampai di atas setahun. Runa tipe makannya ga diemut sih tapi dilepeh. Jadi kalau ada makanan masuk ke mulutnya, dan menurutnya ga sesuai sama maunya, ya dilepeh gitu. Saya sempet jungkir balik juga nyari resep terbaru buat Runa, nyari ide ngasih makan untuk anak susah makan, beliin kursi-meja makan dan peralatan makan lucu-lucu, dan googling ke sana ke mari. Kadang berhasil kadang enggak. Yang bikin stres adalah ketika melihat BBnya itu naik sedikit/gak naik-naik. Untungnya ga pernah turun sih.. Tapi kayaknya si kurva BB itu udah jadi momok deh buat ibu-ibu semua. Jangan sampai anaknya berada di bawah garis kemiskinan eh garis batas merah.

Sebenarnya strategi saya ga bener-bener banget. Gak mengikuti “kaidah” memberi makan anak yang benar juga. Yang harus di meja makan, yang harus duduk diam disiplin, yang harus dalam waktu 30 menit habis, yang harus  fokus pada makanan (gak boleh dengan aktivitas lain). Tapi ya ibu-ibu.. teori biarlah tetap menjadi teori. Biarlah orang berkata apa, biarlah aturan begitu adanya. Saya sendiri bisa stres kalau terlalu strict sama aturan. Akhirnya saya melakukan yang sesuai keadaan saya aja. Yang penting saat itu Runa mau makan aja udah Alhamdulillah. Nanti juga anak bakal ada saatnya mau makan dengan benar sendiri.  Continue reading “Problematika Semua Ibu: Anak Susah Makan”

Just Learning, Life is Beautiful

Ayah – Sebuah Perjalanan Inspirasi

Kalau ada cerita yang bisa membangkitkan semangat saya lagi untuk apapun, itu adalah cerita Ayah dari Andrea Hirata.

Kalau ada buku yang bikin saya ga bisa berhenti sampai ke halaman terakhirnya, itu adalah buku Ayah dari Andrea Hirata.

Saya baca beberapa buku karya anak bangsa dalam kurun beberapa bulan ini, ceritanya saya pengen menggiatkan lagi kebiasaan baca buku yang sudah rada tenggelam semenjak saya punya anak, setidaknya sebulan sekali tamat satu buku. Saya baca Critical Eleven – Ika Natasha, Dilan – Pidi Baiq, dan satu cerpen Filosofi Kopi – Dee. Semuanya punya gaya cerita yang beda-beda, Ika Natasha dengan metropolis-jetsetnya, Pidi Baiq yang simpel, barebas dan bodor, Dee yang cerdas dan kadang rumit. Saya suka bacanya, tapi saya paliiing suka baca si Ayah ini dari Andrea Hirata, yang paling candu.

Saya baca semua karya Andrea Hirata (kecuali yg 11 Patriot, belum sempet nemu bukunya)  dan Ayah ini yang paling saya sukaiiiii, setelah Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, atau mungkin saya lebih suka ini dulu baru Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, entah deh.. yang pasti daya tariknya sama seperti kedua buku sebelumnya. Mungkin dulu Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi bikin saya berapi-api semasa kuliah dengan semua tagline “mengejar mimpi”. Ayah ini bikin saya adem menenangkan di masa-masa berkeluarga. Bahwa.. hidup itu ga rumit kok, bahagia itu begitu sederhana, sesederhana hari-hari Sabari, si Tokoh di dalamnya.

Selebihnya semua berlangsung seperti sediakala, Sabari bangun subuh, mengurus kambing, bekerja, merasa beruntung jika sekilas saja melihat Lena, pulang, mengurus kambing lagi, ngobrol dengan ibunya, mendorong kursi roda ayahnya ke dermaga, saling bercerita dan berbalas puisi sambil menyaksikan matahari terbenam di muara, malamnya duduk di beranda, menyaksikan cahaya bulan jatuh di padang ilalang. Dia merindukan Lena hingga jatuh tertidur sambil menggenggam pensil. Keesokannya terbangun, dia masih menggenggam pensil itu.

Continue reading “Ayah – Sebuah Perjalanan Inspirasi”

Mommy's Abroad, Motherhood

Is It Hard?

You’re doing a master while taking care of your family, is it hard?

Beberapa temen di kampus sempet melontarkan pertanyaan seperti itu. Hmm.. dan jawaban saya pun cuma.. “Yaaa.. it seems hard, but I’ll try”. Bukan jawaban yang menjanjikan.

Beberapa dari mereka cukup heran juga, oh are u already married? oh u have a daughter? Mungkin bukan sesuatu yg biasa gitu kali ya untuk mereka sekolah sambil mengurusi anak yang masih kecil. *Emang buat saya juga ini ga biasa*. Karena kebanyakan dari teman-teman saya yang lanjut master di sini itu masih fresh graduated dari bachelor-nya, ada juga yang udah beres masternya di bidang lain dan lanjut di bidang ini (rajin beut ya), atau memang lagi ambil short course. Kalo mahasiswa PhD di sini yang udah menikah dan punya anak  cukup banyak, jadi mungkin terlihat lebih wajar.

Entah yang bikin herannya itu apakah poin saya sudah menikah (karena mereka pikir saya masih umur 20an *sok muda*, etapi bener lho orang Asia itu emang tampak lebih muda), saya sudah punya anak (untung ga disangka teen pregnancy), atau saya sekolah S2 sambil punya anak. What is your goal? Tujuan saya, ya belajar. Bukan cuma belajar dari bangku kuliah, tapi belajar hidup di sini, belajar membentuk pola pikir, dan belajar “memajukan” diri sendiri, karena ilmu ga ada batasnya (ceileh, sok asik banget kayanya ngemeng gitu) Continue reading “Is It Hard?”

Informatie, tips & trucs, Journey, Just Learning, Life is Beautiful

Mengajukan Visa Keluarga Belanda dari Indonesia

Salah satu nazar saya jika visa keluarga (suami dan anak) jadi tepat waktu sehinga saya jadi bisa berangkat ke Belanda bersamaan dengan suami dan anak adalah: MEMBUAT BLOG MENGENAI MENGURUS VISA KELUARGA BELANDA DARI INDONESIA

Kenapa? Karena ternyata belum banyak yang tahu bahwa:

1. Bisa lho mengurus visa keluarga dari Indonesia

2. Bisa lho kita berangkat bersamaan dengan student-nya (atau sponsor dari keluarga)

3. Informasi mengenai pengurusan visa keluarga ini sepertinya masih terbatas, baik di website IND maupun dari Kedutaan Belanda

Visa yang dipakai oleh student (saya) dan keluarga adalah visa tinggal sementara, atau disebut MVV (“Machtiging Voorlopig Verblijf”). MVV ini diperlukan bagi warganegara asing yang akan tinggal di Belanda lebih dari 90 hari dalam periode 6 bulan.

Continue reading “Mengajukan Visa Keluarga Belanda dari Indonesia”

Cerita Apartment, Journey, Only a Story, Project

Cerita Apartment (2) Sebut saja Namanya Sara

Selama tinggal di apartment CP ini, banyak juga belajar jadi ibu yang baik. Ga cuma dari Stay at Home Mom yang tinggal di sini, tapi juga dari bibik/pengasuh/pembantu yang juga megang anak majikannya. Eh banyak juga kali yang di sini pake jasa pengasuh. Daku sendiri ga kebayang kalo di unit dengan 2 kamar minimalis ini masih ada space buat orang lain, lha kita betiga aja udah penuh.. Apalagi kalau ditambah yang bantu-bantu di apato, berasa ga bebas juga jadinya.. Lain halnya sih kalo memang udah keadaan, dua-duanya kerja, ya jadi mao ga mao harus punya pengasuh yang “megang” anaknya di rumah.

Sebut saja namanya Sara. Dia salah satu anak yang paling gede di antara genggongnya Runa (liaat Runa kecil-kecil aja udah ada geng doongg).  Umurnya 2,5 tahun mau 3 taun.. Setiap hari jam 7 pagi dia pasti udah stand by di taman bawah sama Mbaknya, Mbak Yayu -sebut saja-. Sara dan Mbak Yayu tuh kaya pembuka gerbang gitu. Kalo liat mereka udah di bawah, pasti mbak-mbak atau ibu-ibu yang lain baru nyusul ke bawah. Sara dan Mbak-nya ini juga yang ke atas paling siang. Jadi jam 7 tu Sara sarapan disuapin Mbaknya, sambil main, sampaaaai jam setengah 11 (paling lama) baru makanannya habis. Makannya diemut gitu soalnya. Sorenya pun kalau cuacanya bagus Sara pasti turun, daaan kita-kita pun jadi ikut betah nongkrong di taman. Continue reading “Cerita Apartment (2) Sebut saja Namanya Sara”

Love.., Motherhood

Repost – About IRT – dari Ust. Felix Siauw

1. saya masih ingat beberapa tahun lalu sebelum Muslim | papi sempat menasihati saya perihal “Ibu Rumah Tangga”

2. “lix, selama papimu masih bisa mencukupi keluarga, mamimu tugasnya di rumah” | tegas papi berpendapat soal IRT

3. padahal saat itu isu feminisme sedang santer | wacana wanita karir sedang panas-panasnya | arus genderisme mewabah

4. tapi papi tenang aja lalu menyampaikan | bahwa dia ingin yang terbaik bagi anak-anaknya | dan itu berarti perhatian full dari ibu mereka

5. hidup kala itu tidak mudah, dan akal lebih mudah seandainya mami bekerja | tapi papi sudah mengambil pilihan, dan itulah yang ia jalani

6. karena semua manusia punya pilihan | apa yang didapat dan apa yang dikorbankan | semua selalu tentang pilihan

7. sebelum Muslim pun saya tumbuh dengan memahami | lelaki dan wanita tidaklah sama | mereka punya kelebihan di bidang masing-masing

8. posisi ibu dalam dunia anak itu tidak tergantikan | perhatian seorang ibu pada anaknya takkan terbeli sebanyak apapun harta

9. dan posisi ibu itu tidak bisa diulang kembali | karena umur anak takkan bisa diputar lagi

10. maka ketika memilih calon ibu dari anak-anak kami syaratkan | “maukah engkau menjadi fulltime-mother bagi anak-anak?”

11. “saya nggak mau ketika anak dewasa lalu bermaksiat, kita menyesal ‘mengapa dulu tidak habiskan lebih banyak waktu bersamanya?!'”

12. itu pemahaman sebelum Muslim | saat sudah mengenal Islam | kami memahami betul Islam paling memuliakan wanita

13. feminisme menjadikan materi sebagai standar sukses | wajar bila mereka merasa dunia tidak adil | karena materi jadi penanda sukses

14. feminisme menganggap waniat modern harus lebih mirip lelaki | bahwa bila wanita tidak bekerja maka wanita akan direndahkan

15. feminisme sukses mendidik wanita melihat kesuksesan sebagai | punya penghasilan tinggi, gelar seabrek, mobil mewah, buka aurat dll

16. wajar hasilnya di negara-negara asal feminisme | wanita jadi lebih malas berkeluarga apalagi memiliki anak | kerja lebih asyik

17. menurut pandangan feminis | IRT itu perendahan martabat perempuan, tidak modern, perbudakan terhadap wanita

18. wajar di negara-negara yang vokal feminisme | perceraian pun memuncak | karena tidak ada satu pemimpin dalam keluarga

19. US misalnya yang jadi kampiun feminisme | angka perceraian mencapai 50% per 2012 sila rujuk http://t.co/OUvEkdUY8L

20. “nearly 80% cited financial problems as the leading cause of the marital demise” (Carr, 2003, p.10) | http://t.co/zQFsyYQuqe

21. feminisme mangaburkan fungsi ayah dan ibu dalam rumah tangga | hanya semata-mata demi mendapat lebih banyak materi

22. akhirnya meningkatlah angka single parents http://t.co/k9eNybXtq7 | dan jelas broken home http://t.co/yUvU499gT9 http://t.co/qAjjFfHBQJ

23. banyak juga studi-studi yang menperingatkan | sangat sulit untuk memadukan ibu dan karir sekaligus | http://t.co/mu5t6N2u3m

24. sebagai tambahan, US yang melahirkan gerakan feminisme saja | sudah banyak bermunculan gerakan anti-feminisme sebagai gantinya

25. di US, sudah banyak wanita sadar bahwa feminisme mengorbankan keluarga | mereka ingin kembali menjalankan peran ibu rumah tangga

26. karena seberapa banyak waktu pun yang didedikasikan untuk mendidik anak | tiada pernah akan ada waktu yang cukup untuknya

27. “saya ibu sekaligus karyawan, anak saya baik-baik saja” | di-sambi aja sudah baik, apalagi bila fulltime-mother? tentu sangat baik 😀

28. lalu pertanyaan prinsipil | “apakah Islam melarang wanita bekerja?” | “apakah wanita tidak boleh berpendidikan tinggi?”

29. dalam Islam hukum wanita bekerja itu mubah (boleh) | sedangkan menjadi “ibu dan pengelola rumah tangga” itu kewajiban

30. jadi sah-sah saja wanita memilih bekerja | namun beres juga kewajibannya | tentu bila dia lebih memilih yang wajib, itu yang utama

31. hidup memang perkara pilihan | dan Islam memerintahkan untuk memaksimalkan waktu ibu untuk anak-anaknya | urusan uang biar ayahnya

32. bagaimana dengan wanita yang ditinggal suami apapun alasannya | maka bekerja menafkahi anak tentu amal pahala besar baginya 🙂

33. maka karir terbaik wanita | adalah menjadi ibu sepenuhnya

34. tentang pendidikan? | tidak bosan-bosan saya sampaikan | bahwa seorang ibu HARUS terdidik sempurna, tinggi dan luasnya

35. bahkan wanita Muslimah WAJIB lebih terdidik daripada lelaki | karena ialah madrasatul ula (pendidikan pertama dan utama) anak-anaknya

36. maka jangan tanya “untuk apa pendidikan tinggi bila hanya jadi IRT?” | jadi IRT justru perlu pendidikan tinggi

37. karena di tangan kaum ibu generasi Muslim berada | bukan di tangan ayah generasi Muslim dibentuk

38. banyak wanita yang sebetulnya bisa menggapai dunia lebih dari lelaki | tapi mereka mengorbankan segalanya demi anaknya | MULIA

39. dari ibunda MULIA semisal itulah | menjadilah Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad

40. rata-rata ulama besar menghabiskan masa kecil dalam yatim | ibu merekalah yang mendidik dan mendaras Al-Qur’an setiap waktu

41. sembah sujud kami pada Allah yang selalu menjaga dunia dengan para ibunda MULIA | yang mau mengorbankan semua buat kami anak-anaknya

42. hormat khidmat kami padamu wahai ibu | yang gadaikan semua waktu tanpa sesal dan keluh | membina kami jadi yang terbaik dalam agama

43. pada para bunda MULIA doa kami | “Wahai Tuhanku, kasihilah keduanya, sebagaimana keduanya TELAH MENDIDIK AKU WAKTU KECIL” (QS 17:24)

44. kembali lagi semua masalah pilihan | part-time mother or full-time mother? | you decide 😀

Just Learning, Lifestyle, Motherhood

Tentang Anak – Orangtua

Mengacu pada postingan saya sebelumnya tentang membesarkan anak, memang  pengaruh orangtua pada kondisi psikogis dan mental anak terasa sangat besar. Kenapa? Karena pada saat anak masih sangat kecil orangtualah yang banyak berinteraksi dengan anak, mulai dari mengajak berbicara, tersenyum, mengajarkan segala macam, sampai memarahinya. Dan memang memori masa kecil seorang anak akan sangat terpatri sampai dia dewasa. Baik secara sadar maupun dari alam bawah sadarnya.

Sebutlah saya memang masih hijau sebagai ibu, sebagai orangtua, dan memang gatau banyak tentang metode-metode membesarkan anak. Tapi saya ingin belajar bagaimana supaya bisa menumbuh-kembangkan *halah* anak saya dengan baik, sehingga nantinya dia akan jadi anak yang berhasil dan tentunya jadi pribadi yang lebih baik dari bundanya ini. Bundanya ini banyak sifat bututnya, nak: pesimistis, pundungan, nyinyir-an, self-blaming, dll.. mangkanya jangan dicontoh (Bukan berarti orangtua saya ngajarin saya jadi kaya gini juga sih, bentukan lingkungan dan terpaan hidup *double halah* juga sepertinya).

Pernah denger cerita zaman Rasulullah, lupa tepatnya.. tentang didikan orangtua terhadap anaknya. Anak pertama ini tidak sengaja menghilangkan anting mutiara yang ibunya berikan. Dengan takut ia mengadu pada ibunya, takut dimarahin kalau udah ngilangin barang mahal. Tapi ibunya bilang gini: “Barang itu milik Allah, jadi kalau hilang, berarti bukan rezekimu, kalau nanti ketemu lagi berarti Allah masih memberikan rezeki itu padamu. Lain kali hati-hati.” Dan anak kedua juga dengan tidak sengaja menghilangkan sepeda yang ayahnya berikan, sama takutnya ia mengadu pada ayahnya. Ayahnya malah memarahinya dan berkata bahwa ia ceroboh, sepeda itu mahal, dsb.

Nah apa yang terjadi pada kedua anak itu ketika dewasa? Anak yang pertama tumbuh menjadi anak yang pemaaf dan pantang menyerah. Ketika dia gagal, dia ingat pesan ibunya saat kecil, bahwa itu belum rezekinya, sehingga ia ikhlas dan terus mencoba. Sedangkan anak kedua tumbuh menjadi anak yang pemarah dan pendendam. Semasa kecil ia merasa kesal karena ayahnya memarahinya, padahal ia lebih marah lagi pada dirinya karena menghilangkan benda kesayangannya. Saat ia butuh ditenangkan eh malah dimarahin.

Begituuuu ceritanya..

Memang memori masa kecil tu nempel banget ya. Sekarang gimana caranya supaya bisa membentuk kenangan masa kecil yang baik untuk si anak supaya gedenya dia jadi pribadi yang mulia (jeileee..).

Yuk ya yuuu..

Motherhood, Mumbling, Project

Mencari si Bibik

Bibik atau Mbak biasanya kita memanggilnya. Bahasa kerennya asisten rumah tangga (ART). Buat kita yang tinggal di Indonesia, mungkin udah biasa kalau tiap rumah dibantu sama ART, beberapa keluarga bahkan ketergantungan akan adanya ART. Entah memang budaya kita yang seperti itu, atau kitanya kurang mandiri, atau kita cukup mampu untuk menyewa tenaga kerja di rumah, atau memang tenaga kerja Indonesia yang pendidikannya rendah sehingga hanya bisa sampai jadi ART.

Hmm.. entahlah.. Apapun faktornya.

Sama seperti keluarga pada umumnya, keluarga saya juga bolak-balik pakai jasa ART. Apalagi dulu waktu anak si mama masih dua unyil-unyil, saya sama si kakak yang cuma beda setaun, kebanyang repotnya (baru kebayang sekarang pas udah punya baby, heu). Walaupun mama ini full time mother, yang ada di rumah terus, tetep aja keteteran ngerjain semua kerjaan rumah tangga pleus ngurusin dua anak ingusan yang cengeng dan ga bisa diem (kata mama begitu). Mana zaman dulu belom kenal pampers, belum punya mesin cuci, belum ada sagala macam yang instan-instan-lah. Pengalaman mama sama ART juga macem-macem, ada yang cuma tahan sebulan, ada yang cuma tahan seminggu terus nangis minta pulang, ada yang suka nyubitin saya sama kakak kalo kita rewel (huhuhu.. jahat ya), ada yang tingkah lakunya ga baik, dll. Alhamdulillah-nya ga ada yang sampai parah banget kaya kasus yang suka kejadian di tipi (Nadzubillahimindzalik.. ga mau nyebut kasusnya ah).

Bagaimanapun, si mama tetep berjuang mengurus rumah tangganya sendiri, ART hanya sebagai perpanjangan tangan untuk bantu sana-sini. (Saya sangat salut sama mama, mo nyeritain soal mama mah 1000 post juga ga akan habis, heu). Kita pun diajarin untuk selalu mandiri dari kecil, ga ngandelin si Bibik. Sejak kita beranjak agak besar, udah ga pernah pake bibik full time, paling bibik part time (gaya yah sekarang bibik aja part time). Mau gamau kita ngakuin emang enak kan ada Bibik: “Biik, cuci piring.. Biik, setrika.. Biik, bersihin kamar.. Biik, ngeronda, dst, dst.” Noted to myself, saya harus bisa mengajarkan anak saya seperti apa yang mama dan papa ajarkan, beberes sendiri!

Sampai mana tadi, oya kebutuhan akan bibik. Saat ini setelah saya balik lagi ke Bandung dan ada kehadiran si Kecil Runa, mulai kerasa bahwa we need Bibik. Konsentrasi saya tercurah sepenuhnya buat si Kecil, si mama ikut riweuh, dan kasian atuh mun si mama pas muda cape, masa hari tua ga bisa sante dikit. Yah, we need ART, buat nyuci popok dan bedongnya yang tiap bentar kotor kena pup ama pipis setiap sejam sekali, buat nyetrika, buat bantuin mama masak, buat beberes rumah, buat gosok kamar mandi, dll.

Saya kebayang nanti kalo saya balik ke Jakarta (Bekasi, ehem) dan tinggal bertiga sama si Ayah, kumaha cerita ya? heu.. Akankah mampu masak-ngurus bayi-beberes rumah-nyuci baju nyetrika seorang diri? (dibantu si Ayah tentuya –Awas kalo ENGGA, *ngancem*–) Kalo pas masih berdua sih oke-oke aja, semua bisa sendiri, Nah.. udah ada si dede ini baru bingung. Sebenernya belom kebayang nasip saya nanti ke depan, gimana kemandirian saya selama apakah bisa teruji. Terpikir untuk mencari si Bibik.. Tapi tentunya jaman sekarang nyari ART tu susah, ga semudah seperti nyari upil di idung, he. Perlu banyak pertimbangan dan pasti gonta-ganti yang cocok (pengalaman si mama), tentunya harus terpercaya dan berbudi luhur (kaya yang di buku PPKn, hehe).

Entah deh, ntar aja mikirnya ya.. semoga Allah memberi kami jalan yang terbaik.

Oya, fenomena ART ini jarang ditemukan di negara maju. Di Eropa, Amrik, Jepang, jarang denger ada keluarga punya ART. Di serial barat Parenthood aja anaknya 3 (1 bayi) ko ga ada ya peran pembantu di dalemnya (apa karena ga ada di naskahnya ya) heuheu. Saya ga akan membandingkan kenapa di Indonesia begini dan kenapa di luar negeri begitu. Tidak adil juga menjudge kita yang di Indonesia adalah orang yang manja sehingga perlu bala bantuan ART sedangkan orang barat atau orang Indonesia yang tinggal di LN mandiri apa-apa bisa sendiri, heu. Kondisinya tentu berbeda. Di sana ada fasilitas yang lebih canggih lagi dari ART. Mau nyuci baju, laundry umum tersedia bisa dioperasikan sendiri. Punya anak bayi, ada tempat penitipan anak profesional yang sekalian tempat belajar (kalo di Bandung kaya Galenia kali ya), kalopun ga dititipin, ada mahasiswa/i yang bersedia bekerja paruh waktu untuk mengurus anaknya –nah kan, yang ngasuh anaknya orang terpelajar kok, ga mungkin macem-macem kan kaya babysitter/pembantu di sini–.

Yah well, udah sih gitu aja. Cuma pengen ngacapruk dikit, mumpung Runa lagi bobo..

See you later pals.