
Vandaag op school
Runa is blij als elke keer Ayah te gaan met haar naar school.
Zij zwaaien in het raam
*pardon my Dutch, msh belajar iki
.
.
Hari ini di sekolah
Runa seneng banget kalau setiap Ayahnya nganter ke sekolah.
Runa selalu minta Ayahnya dadah-dadah di jendela setelah nganter.
Saya juga senang kalau tiap ke sekolah Runa sering melihat bapak-bapak yang mengantar anaknya sekolah, ada yang menemani sampai depan pintu kelas, ada yang ikut masuk dulu ke kelas, membaca buku dulu bersama sampai gurunya datang, atau ada juga yang melambaikan tangan dari depan kelas/jendela.
Tidak jarang juga ada bapak-bapak yang menjemput anaknya ketika pulang sekolah, sambil mendorong stroller berisi anaknya yang lebih kecil. Bapak-bapak itu kelihatan sangat warm dan manly. Meski ada yang penampilannya bertato, terlihat sangar dengan kepala botak, beranting, atau ada juga sih yang necis memakai jas atau jaket keren, dengan sepatu pantofel.
Itu juga tidak hanya dilihat di sekolah Runa saja lho. Di Belanda, sepertinya bapak-bapak membawa anak (seorang diri, tanpa istrinya) adalah pemandangan yang biasa. Mereka terlihat di posyandu, mengantar anaknya imunisasi atau kontrol rutin. Mereka juga terlihat di pusat perbelanjaan, mendorong stroller dan menggandeng anaknya. Mereka juga terlihat di kereta atau bus. Ke mana ibunya? Saya juga tidak tahu. Mungkin mereka sedang berbagi tugas saja. Mereka tidak nampak risih dan kikuk. Padahal sepertinya cukup repot juga melihat bapak-bapak dengan anak balita/batita. Mereka malah terlihat makin macho.
Saya salut sama bapak-bapak itu. Santai saja mereka menjalani perannya. Memang tidak ada yang salah juga. Tidak ada yang menganggap hal itu tabu juga. Mengurus anak kan bukan cuma tugas istri toh? Seperti paradigma yang banyak dianut masyarakat di Indonesia. Bahwa urusan anak-rumah-dapur adalah tugas istri. Bapak-bapak ya tugasnya cari duit di luar rumah. Jadilah beban seorang ibu-ibu Indonesia terasa beratnya. Kalau pun suaminya mau berbagi tugas mengurus anak, nanti judgment dari lingkungan luar yang membuat suami (dan tentu istrinya) jadi merasa di posisi yang salah. Masa suaminya disuruh gantiin popok anaknya? Kok suaminya sih yang belanja ke pasar? Itu ibunya ke mana kok yang ngasuh anak-anaknya malah bapaknya? dst.
Saya merasa bersyukur. Kalau tidak pernah menjalani kehidupan di Belanda, mungkin suami tidak akan banyak belajar untuk ikut berperan dalam mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga. Di sini, tidak ada pembantu rumah tangga, semua harus dikerjakan sendiri. Mau tak mau kerja tim sangat dibutuhkan untuk bisa seimbang.
Dulu waktu saya maasih sibuk kuliah dan suami kerja. Kami selalu berbagi tugas beres-beres rumah, masak, dan mengurus Runa. Saat kuliah saya sudah selesai, tidak ada yang berubah. Walaupun saya lebih banyak di rumah, tetapi bukan berarti rumah adalah tugas saya sepenuhnya, bukan berarti mengurus anak hanya menjadi urusan saya. Suami tetap berperan di dalamnya, mengantar jemput Runa, beres-beres rumah, kadang belanja. Kalau “hanya” kerja dan ongkang-0ngkang kaki di rumah, malu dong sama bapak-bapak tatoan tadi, yang lebih luwes mengurus anak. Nanti jadinya machonya berkurang deh.