review buku

Review Buku Helen dan Sukanta – Pidi Baiq

Dari semua buku Pidi Baiq yang pernah ditulis dan saya baca, ini yang menjadi favorit saya, Helen dan Sukanta. Dahulu saya pernah dibuat ngakak-ngakak pas baca serial Drunken-nya, dan dibuat termehe-mehe pas baca kisah Dilan-Milea, tapi kisah Helen dan Sukanta ini lain. Begitu dalam sekaligus menyayat. Begitu tulus dan romantis tapi tidak picisan. Dibalut dengan latar sejarah di era kolonialisme Belanda di Indonesia tahun 1930-1945. Lengkap dengan penuturan deskripsi tempat yang cukup detail di kawasan Ciwidey-Bandung-Lembang, di masa tersebut. Pikiran saya langsung melayang membayangkan Bandung tempo doeloe yang dingin dan berkabut di pagi hari, dengan tempat-tempat yang mengundang rasa rindu.

Saya masih terpikir apakah kisah Helen ini fiksi atau nyata. Rasanya terlalu nyata untuk fiksi, tetapi terlalu tragis jika ini nyata. Tadinya di awal-awal bab, saya mengira kisah cinta antara Helen dan Sukanta (Ukan) akan serupa Dilan-Milea, khas kisah cinta anak muda yang berapi-api. Tetapi tidak, kisah mereka tumbuh dari persahabatan anak-anak yang senang bermain dan mengeksplorasi alam. Tentu percakapan unik khas Pidi Baiq yang jenaka tetap terasa.

Helen Maria Eleonora adalah Noni Belanda yang lahir dan dibesarkan di Tjiwidey, ayahnya bekerja di perkebunan di sana. sementara Sukanta adalah pribumi biasa yang tinggal di daerah lingkungan Helen. Helen yang tidak punya teman karena keluarganya tertutup dari lingkungan luar selalu merasa kesepian. Dari Ukan-lah Helen menemukan kesenangan yang bebas, bermain di sungai, mencari belut, menjelajahi Situ Cileunca, diajari makan dengan tangan dengan menu khas rakyat. Sudah bisa ditebak tentu kisah cinta mereka mendapat pertentangan kuat dari pihak keluarga Helen. Namun, pada akhirnya bukan keluarganyalah yang memisahkan mereka, tetapi kondisi keji peperangan dan kekejaman pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

“Aku ingin segera mengatakan bahwa sebuah perang selalu tidak menyenangkan, yang ada hanyalah penderitaan, terutama bagi warga sipil.” (Halaman 351).

Dari sosok Helen saya merasakan bahwa tidak semua orang Belanda di masa penjajahan adalah sosok antagonis, tidak semua bersalah atas penderitaan rakyat Indonesia. Dari sosok Ukan saya mendapatkan ketulusan dan keramahan orang Indonesia, yang pada zaman sekarang ini semakin memudar.

“Orang Hindia dalam banyak hal lebih punya simpati dan perhatian daripada orang Belanda. Mereka lebih banyak memberi penghormatan yang bisa dirasakan oleh setiap orang Belanda. Oleh karena itu, harus aku katakan, orang Hindia hanya ingin mengambil persahabatan, tetapi kita membalasnya dengan kaki di atas kepala mereka.” (Helen, Halaman 236)

Saya yakin Helen adalah orang Belanda yang lebih mencintai tanah Bandung dan Indonesia melebihi orang Indonesia sendiri atau melebihi tanah nenek moyangnya, Belanda. Belanda baginya adalah tanah asing, yang tidak pernah ia rasakan kedekatan batinnya. Saya jadi mengerti mengapa orang-orang yang merantau jauh ke luar negeri, tetapi dalam lubuk hatinya nama Indonesia masih saja terpancang kuat. Meski coreng-moreng membayangi wajah Ibu Pertiwi.

Penuturan situasi alam Ciwidey, Bandung, dan Lembang pada jaman kolonialisme digambarkan dengan apik oleh Pidi Baiq. Ada lembah-lembah, sungai, kebun teh, perumahan, suasana Bandung, dan jalan-jalannya yang masih diikuti dengan weg (jalan, dalam bahasa Belanda). Saya seperti diberi kemampuan untuk bernostalgia dan menjelajahi kehidupan di tahun tersebut tanpa pernah ada di sana.

“Waktu akan membuat kita lupa, tapi yang kita tulis akan membuat kita ingat.” —Pidi Baiq

Helen dan Sukanta – Pidi Baiq
Journey

Perjalanan Keluarga

Road trip keluarga di musim panas kali ini ke Switzerland merupakan road trip terpanjang dan terlama bagi keluarga kami. Alasan kami road trip karena masih dalam rangka covid, jadi kalau mau jalan-jalan memang aman pakai kendaraan sendiri, meminimilasisasi kontak dengan orang. Oiya dan juga lebih irit, kalau jumlah keluarga sudah semakin banyak. Plus bisa bawa barang banyak, makanan, dll, tanpa ada batasan bagasi. Sekitar 3000 km mungkin kami tempuh pulang pergi. Perjalanan darat dengan mobil membawa anak-anak ada tantangannya tersendiri. Mulai dari persiapan, perbekalan, hiburan biar anak-anak gak bosen (buku, boneka, mainan, and of course gadget to the rescue, hehe..). Gadget jadi jalan keluar, bukan cuma pas anak-anak rungsing, tapi pas ortunya juga lieur.

Entah mengapa perjalanan seperti ini saya rasakan dapat merekatkan keluarga. Sebab kita jadi lebih mengenal diri kita sendiri, suami, anak-anak, dan sebaliknya. Bagaimana kita jadi lebih sabar menghadapi anak-anak, lebih telaten untuk mengurus segala rupa, lebih berani mengambil risiko. Tentu diperlukan kerjasama juga antar suami-istri.

Teirngat saya perjalanan panjang saya di masa kecil ketika papa dan mama selalu mengajak kami road trip pulang kampung ke Padang, setiap menjelang lebaran. Mungkin alasan ngirit juga jadi alasan utama ya ketika itu. Sekitar tahun 1990-2000an keluarga kami tiap tahun masih rutin pulang kampung ke Padang. Soalnya keluarga Mama tinggal di Padang, keluarga Papa di Bukittinggi, kami juga masih punya kampung di Payakumbuh. Kami merayakan Idul Fitri di kampung halaman Mama dan Papa.

Banyak cerita soal pulang kampung ini. Meski saya masih kanak-kanak, tapi ingatan itu masih begitu terasa. Mungkin karena berkesan ya. Perjalanan dari Bandung ke Pelabuhan Merak, menyebrang dengan feri, lalu ke Pelabuhan Bakauheuni di Lampung, disambung jalan darat sampai ke Padang. Biasanya perjalanan menghabiskan dua hari. Kami berangkat malam hari, nyebrang lautan di subuh hari (Cipularang belom ada ya, jadi ke arah Jakarta juga jauh rasanya). Pagi hari sudah sampai di Bakauheuni. Terus menyusuri Lampung ke Bengkulu/Palembang, ada beberapa rute yang bisa dipilih, lalu ke Jambi, dan sampai di Sumatera Barat. Dalam perjalanan kami akan berhenti-berhenti tentunya untuk istirahat dan salat, untuk istirahat dan tidur sejenak, khususnya buat supir, dan untuk mandi-ganti baju-makan. Tempat pemberhentian pun rupa-rupa, ada warung kopi/warung makan yang malam hari cuma sedia popmie/indomie dan kopi, restoran makan padang (tentunya akan mudah ditemui sepanjang jalan perjalanan), bisa juga di pom bensin. Kami akan bertemu dengan para musafir lainnya yang juga akan pulang kampung, bus-bus, juga truk. Segala rupa.

Perjalanan kami tidak sendiri, tapi kami berombongan, minimal 3 mobil (3 keluarga). Biasanya dalam keluarga tersebut ada om, atau kerabat yang ikut juga, jadi supir ganti selama perjalanan. Ternyata kalau dipikir-pikir sekarang Masya Allah yaaa.. luar biasa. Kami biasanya punya alat komunikasi berupa ‘brik-brik’, apa sih namanya? Saya kok lupa.. yang radio dengan frekuensi itu lho. Jadi di mobil kami bisa saling memantau, memberi kabar, kalau mau berhenti, dll. Kan dulu ga ada hapeee..

Seru rasanya. Ingin saya bikin tulisan lengkap perjalanan keluarga dulu. Tapi nanti deh, ini buat pengingat aja kalau saya akan nulis ini.

Love..

5 years with you

19 Desember 2015. Tadinya mau nulis tentang ini pas tanggal pernikahan. Tapi banyak yang dikerjain pas minggu-minggu itu *sok sibuk, padahal lagi libur winter*

5 tahun. Kalau anak sekolahan setaun lagi lulus SD

5 tahun. Kalau anak kuliahan, udah telat lulus setahun tu

5 tahun. Kalau mahasiswa farmasi, udah lulus sampe apoteker

5 tahun. Udah dikasih hadiah satu anak perempuan yang usianya mau 3 tahun dan gemesin banged dan lagi banyak nanya dan banyak maunya, hehe..

5 tahun udah ngapain aja yaa? Continue reading “5 years with you”

Journey, Life is Beautiful, Lifestyle

Jauh

Jauh/ja·uh/: panjang antaranya (jaraknya); tidak dekat. Begitu menurut paparan dari KBBI mengenai kata jauh.

Pandangan saya terhadap ‘jauh’ mungkin berbeda dengan yang KBBI bilang. Menurut saya jauh adalah panjang antaranya (jaraknya), tetapi relatif menurut individu tertentu. Sepanjang hidup saya selama 27 tahun ini saya sangat familiar dengan yang namanya ‘jauh’. Gimana enggak, setiap tempat tinggal yang saya huni (di beberapa kota) selalu dikomen orang: “jauh banget rumahnya”. Mungkin jauh sudah menjadi mengalir di darah saya (apa siih).

Saya besar di Bandung, sejak kecil saya tinggal di Kopo. Orang bilang Bandung coret. Emang iya sih, perbatasan kota Bandung dan kabupatennya sudah dilewati sama komplek rumah saya. Tapi saya bersekolah SD, SMP, SMA sampai kuliah di kota (ciyeh, berasa desa ke kota), yang jaraknya dari rumah rata-rata lebih dari 10 km. SD di Kebon Kelapa (Sasak Gantung), SMP di Jalan Sumatera, SMA di Jalan Belitung, kuliah di Jalan Ganesa. Makin tinggi pendidikan saya, makin jauh jarak yang harus saya tempuh. Beruntung papa saya sangat sabar, dari mulai SD sampe saya kuliah selaluuuuuuuu nganterin saya dan kakak saya ke sekolah, bahkan kalo sore-sore sempet ya jemputin juga. Jadi berasa betapa baiknya papaku ini huhu.. dan akunya suka bandel, kalo dijemput papa telat suka ngambek, maafkan anakmu papa.

Sudah biasa buat saya jadi bahan bully-an temen-temen. “Idiihh jauh amat rumahnya”, “Bandung coret yah”, “Ogah, ke rumah Monik entar sampe-sampe ke sana bisa-bisa udah ubanan”. Mungkin sebenarnya selain jauhnya juga, macet jadi masalah di perjalanan dari Kopo ke Bandung. Tapi entahlah.. lagi-lagi macet mungkin juga jadi relatif bagi orang Kopo. Kalo jalanan tersendat-sendat orang udah bilang macet, kita masih bilang lancar merayap. Emang saya juga sempet merasa desperate sama rumah kok ya jauh banget. Lalu si mama akan menjawab panjang lebar sejarah kenapa si papa memilih tempat tinggal di sini. “Dulu ini yaa.. pas mama pertama kali ke rumah ini, sepanjang jalan menuju ke sini itu sawaahh aja.. Mama juga mikir, hah mau tinggal di mana ini.” Baiklah mama.. daku menyerah.. Alhamdulillah juga ya punya rumah. Papa sudah mengambil keputusan terbaik menghuni rumah di Kopo.

Continue reading “Jauh”

Journey, Life is Beautiful

Pulang Kampuang

Tahun ini kali pertama saya dan keluarga pulang kampung ditemani anggota keluarga terkecil kami, Runa. Runa mau ketemu Uci (Nenek dalam bahasa bukittingginya), Buyutnya.. Uci belum pernah ketemu Runa ni, uyut satu2nya.. mumpung masih ada umur dan kesempatan. Runa harus tau dia punya darah minang dari Bundanya, dia harus tetep kenal kampuangnya. Begitu juga dengan kampung ayahnya di Magelang dan Solo, tentu Runa pun akan kami ajak ke sana.

imageRuna pulang kampuang

Alhamdulillah masih banyak saudara-saudara yg bermukim di Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh.. jd ke manapun kami melangkah selalu ada yg menampung. Kampung mama sebenarnya di Payakumbuh, almarhumah Oma besar di sana.. mama jg lahir di sana, sedangkan Opa ga ada darah Padangnya, Opa dari Madiun. Kalau Padang tempat mama&saudara2nya dibesarkan.. Opa&Oma kerja di Padang sebagai guru dan dosen. Papa berasal dari Bukittinggi, Uci dan alm. Aki sudah bermukim di sana sejak lama.. Continue reading “Pulang Kampuang”

Info for Motion, Journey, Just Learning, Life is Beautiful, Project

Djarie Class – Mengorek Mimpi Masa Kecil

Nah, ini salah satu aktivitas yang bikin Monik lebih “hidup”. Jadi selama si Ayah balik lagi ke Duri (untuk ke-3 kalinya), saya memutuskan untuk nyari kegiatan positif yang produktif sekaligus bisa ngusir bete. Kepikiran eh.. apa ikut kelas broadcasting ya.. Trus nanya-nanya ke temen yang pernah ikut. Ada yang bilang biasa aja dan ga terlalu menarik, ada yang bilang seru, dan bahkan ada temen jebolan kursus ini udah jadi penyiar di salah satu radio ternama di Bandung. Ah cobi-cobi ahh… Akhirnya setelah dapat izin suami, saya pun daftar. Untuk awal, saya daftar kelas Minggu, seminggu sekali selama 10 pertemuan (lebih sih, karena suka ada bonus kelas tambahan).

Jadi jadi jadi.. dengan bayar Rp 650.000 dan Rp. 100.000 untuk pendaftaran daku resmi deh jadi muridnya Djarieschool. Entah sebenernya mahal atau ga, tapi worthy kata aku mah.

Kenapa monik ikutan kelas ini? Serius saya sendiri gatau kalau Djarie ini udah ada lama banget berdiri, sekolah announcer gitu (walaupun banyak skill-skill lainnya yang dipelajari di sini).  Kalau tau ya, dari dulu saya ikutannnn.. Bisa diliat di postingan saya dulu tentang ingin jadi penyiar radio. Alasannya masih sesimple dulu: pengen jadi penyiar radio. Walaupun kayanya jauh bisa ke sana, dan ngeliat usia pun, apa ga telat yah? Mana udah emak-emak lagi.

Pas ikutan pertemuan pertama, saya minder deh.. Emang yang ikutannya masih pada mude-mude, ada yang masih kuliah, ada yang baru lulus dan lagi jadi jobseeker, bahkan ada yang masih SMP dan SMA, meeen.. dan saya pikir yang ikutan ini pada anak-anak gaul yang songong, tapi engga, saya salah besar, ternyata kelas saya IHT-39, anaknya asik-asik dan bodor.

Akhirnya kesampean juga deh bisa belajar mixing, cuap-cuap di mic ala penyiar radio, sambil muterin lagu, wkwkwkwk.. ini satu bucket list bisa dicentang deh.

1396150196751Pertemuan Kedua sama Mas Arie, belajar tentang on beat, speaking natural, sama bawain rekues program.  dari Kiri: Ceu Windi, Ulfah, Yufi, Dekky, Mike, (lupa namanya cuma ketemu hari itu doang), Sherly, Me, Barried, Ratna, Coy. (di depan: Putri, Anna). Ada Anggitha, Astrie, ama Ibob tapi lagi ke mana ya tu anak betiga. Btw, sayah paling kolot di antara mereka smuaaa (Mas Arie sih paling kolot, haha), tapi ga keliatan kan, kaan, kaaaan?? (todong pake keris)

Continue reading “Djarie Class – Mengorek Mimpi Masa Kecil”

Cerita Runa, Indonesia, etc, Info for Motion, Travelling time!

Yuk Jalan-jalan ke Floating Market Lembang

Udah lama mo ngeposting ini ga jadi-jadi aja.. Sayang foto-fotonya kesimpen di draft. Begitu ada waktu lowong baru deh lanjut lagi..

Jadi waktu si Ayah dapet libur panjang, kita emang berencana ngabisin liburan di Bandung, salah satu tujuan kita ke Floating Market. Penasaran juga sih orang-orang ngomongin Floating Market, tapi ga kebayang gimana bentuknya. Kita ke sana sengaja bukan pas weekend, karena pasti penuuhh.. Dan ternyata bener, pas weekdays lebih enak, lebih nyantai, dan ga riweuh.

Jalanan ke arah Lembang pun ga macet, kebayang sih kalo weekend macetnya kaya apa. Si Floating Market letaknya  di belakang Grand Hotel Lembang, jalannya ini searah, jadi kita harus memutar melewati pasar Lembang dan balik lagi ke arah Bandung melalui jalan searah Jl. Grand Hotel.

Biaya masuknya Rp.10.000/orang dan Rp.5.000,- untuk parkir mobil. Dengan bayar tiket masuk 10ribu, kita udah bisa sekalian dapet minuman anget gratis (Milo, Lemon Tea, Coffe latte, dan Choco Latte. ), ditukerin dengan tiket di pintu masuknya. Cocok deh untuk menyambut udara dinginnya Lembang.

IMG_20140317_102339Di depan pintu masuk disambut lambang koin ini Continue reading “Yuk Jalan-jalan ke Floating Market Lembang”

Journey, Just Learning, Life is Beautiful

Selalu Ada Jawaban

Pernah ga mengalami hal kayak gini: Keseeeel banget sama suatu kondisi yang terjadi sama kita dan bahkan cenderung kurang bisa menerima kondisi tersebut, tapi kemudian ketika hati sudah mulai melunak dan menerima, eh muncul banyak sisi baik dari kondisi tersebut.

That happened to me during this 3 months. 3 months with many unexpected changes, which I really really HATE IT at the first time,  then still denied it for the next following days and months, but then I realized that actually everything was not too bad, even I got a kind of ‘break’ from this situation.

Singkat cerita, selama bulan Januari-April ini saya dan keluarga mengalami beberapa perubahan kondisi dan detour, di Bekasi-Bandung-Duri. Di saat saya dan keluarga lagi nyaman-nyamannya nih dengan kondisi saat itu, eh jengjeng ada yang harus berubah. Di apartmen bertiga, ga pake bibik ga masalah. Runa walaupun lagi lasak tapi saya udah mulai kebiasa, olshop lagi lancar, punya geng sosialita di apartmen, lagi mulai mo ngisi rumah yang di komplek dan rencana pindah ke sana. Everything was going well.

Tiba-tiba nih, kita (harus) mengalami pergeseran dari zona nyaman kita ini. Ini yang sebenernya bikin saya empet selama hampir 2-3 bulanan ini. Panjaaaaang deh mo diceritain, bisa-bisa esmosi deh aing (tuh kan). Waktu itu saya pikir sebenernya kami masih bisa punya pilihan untuk menolak “hal itu” tapi dikarenakan “oknum-oknum” yang menyebalkan jadi semuanya kaya ketimpaan ke saya dan Runa tentunya. Si Ayah jadi “kambing hitam” untuk jadi engineer yang ditransfer ke Duri, padahal aslinya bukan dia yang harusnya ke sana, sekali lagi karena perbuatan si “oknum” tersebut jadilah sudah.. Saya pengen nolak ya gimana ga punya kuasa, mo nurut ya jadi sakit hati.. Apalagi waktu itu si Ayah sampai melewatkan momen ultah pertamanya Runa.

Continue reading “Selalu Ada Jawaban”

Cerita Runa, Indonesia, etc, Info for Motion, Travelling time!

Swimming Time @Siliwangi Bandung

Buat yang lagi nyari-nyari tempat renang yang oke di Bandung, mungkin ini bisa jadi salah satu pilihan. Tempatnya di pusat kota, akses ke sana gampang, kolam renang, dan fasilitasnya pun oke.  Saya bukan agen marketingnya dari kolam renang ini lhoo.. cuma ngasi info aja. Soalnya sering kan yaa pas weekend atau pas lagi libur, rasanya pengen ngajak anak renang, eh bingung mo ke mana, pengen yang tempatnya di kota, terus pengen juga aer kolamnya anget. Kalau menurut saya Siliwangi ini recommended utk opsi di atas. Untuk kolam renang air hangat bisa juga ke Cipaku (tapi lumayan jauh juga); Eldorado (Setiabudi) belum dieksplor ke sana, next time aah; Bikasoga (buah batu) wiken doang sih air angetnya, udah lama beeut ga ke situ, kayanya terakhir pas taun 2000-an, dulu mah asa biasa, kayanya skrg udah lebih bagus; ada juga sih kolam renang favorit saya dari jaman SD, Bandung Indah Waterpark, dulu maah WAAAH PISANN, gatau tah skrg, cuma sayangnya ga ada kolam air angetnya, ntar deh pengen ke sana sama Ayah&Runa.

Continue reading “Swimming Time @Siliwangi Bandung”

Cerita Apartment, Journey, Only a Story

Cerita Apartment (1)

Ga disangka juga bakal kangen juga sama bangunan berlantai 18 berwarna ijo-ijo lumut itu. Padahal sebelum-sebelumnya, ngerasa.. aih bosan di apartmen, ruangannya hemat, pemandangan dari kamar terbatas, cape segala sesuatu dikerjain sendiri, dan keluhan lain-lainnya..

Oiya FYI, jangan bayangin apartment kita ini mewah cem apartment di pusat kota Jakarta atau keren kayak apato-apato di film serial barat yah, hihi.. CenterPoint (CP) Apartment tu apartment di pusat kota Bekasi, yang lebih kayak rusun, haha.. tapi jadi keliatan rada wah karena lokasinya  yang strategis maknyus, dikelilingi berbagai macam mall, dan akses kemana-mana gampang.

Udah 2 taun apa ya kami di sini. kalo ga salah Februari 2012 kita mulai menclok di CP (emangnya burung kakak tua menclok di jendela). Runa dibawa dari Bandung, mulai menghuni apartment pas usianya 3-4 bulan, di April 2013.. Eh sekarang udah 2014 aja yaah.. Ga kerasa.. Wah banyak deh cerita-cerita apartment yang seru. Kalo dulu sih pas masih kerja, jarang banyak interaksi sama orang-orang di sini. Begitu udah full di rumah, baru deh kita mulai begahoel.. dan CP ini sangat homey lho.. Beda sama apato-apato di Jakarta yang penghuninya lu-lu-gue-gue. Di sini semuanya saling kenal, Pak Satpam, Mbak Resepsionis, Mas-Mbak yang jaga laundry, Mas-mas Indomaret, Bapak Warung Padang, Mas-Mbak OB, dll..

Sekarang udah sekitar 3 bulan kita ninggalin CP unit 605 itu.. Asa kangen sih sama suasana di sana dan keriweuhan sehari-hari ngurus Runa, ngurus rumah, ngurus olshop, hehe.. Abisan kalo di Bandung kan di rumah mama, balik lagi deh jadi anak bawang. Ga mikir nyuci-nyetrika, ga mikir beberes rumah, ga mikir masak (kecuali masakin Runa).

Beberapa hari kemarin sempet ke sana, itu debunya udah sampe 5 senti deh.. terus ditanyain sama satpam, Mbak Susi & Mbak Devi resepsionis, Mbak Irma OB, Mbak Romlah tukang jaga coffee shop, Mas Laundry, Pak Satpam, pleus emak-emak segenggongan Runa: “Ke mana aja Bu, baru keliatan?“, Ada kali ngejawab: “Iya kita di Bandung, ayahnya dinas di Duri, sempet juga kita ke Duri nemenin ayahnya, baru ke sini lagi.” sekitar  10 kali-an, ke orang beda-beda, hihihi.. Gapapa dong, berarti orang notice  sama kehadiran kita, ciyee…

Oke deh, ini baru part 1 yah Cerita Apartment-nya.. nantikan part-part berikutnyaa.. 🙂