Kalau ada cerita yang bisa membangkitkan semangat saya lagi untuk apapun, itu adalah cerita Ayah dari Andrea Hirata.
Kalau ada buku yang bikin saya ga bisa berhenti sampai ke halaman terakhirnya, itu adalah buku Ayah dari Andrea Hirata.
Saya baca beberapa buku karya anak bangsa dalam kurun beberapa bulan ini, ceritanya saya pengen menggiatkan lagi kebiasaan baca buku yang sudah rada tenggelam semenjak saya punya anak, setidaknya sebulan sekali tamat satu buku. Saya baca Critical Eleven – Ika Natasha, Dilan – Pidi Baiq, dan satu cerpen Filosofi Kopi – Dee. Semuanya punya gaya cerita yang beda-beda, Ika Natasha dengan metropolis-jetsetnya, Pidi Baiq yang simpel, barebas dan bodor, Dee yang cerdas dan kadang rumit. Saya suka bacanya, tapi saya paliiing suka baca si Ayah ini dari Andrea Hirata, yang paling candu.
Saya baca semua karya Andrea Hirata (kecuali yg 11 Patriot, belum sempet nemu bukunya) dan Ayah ini yang paling saya sukaiiiii, setelah Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, atau mungkin saya lebih suka ini dulu baru Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, entah deh.. yang pasti daya tariknya sama seperti kedua buku sebelumnya. Mungkin dulu Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi bikin saya berapi-api semasa kuliah dengan semua tagline “mengejar mimpi”. Ayah ini bikin saya adem menenangkan di masa-masa berkeluarga. Bahwa.. hidup itu ga rumit kok, bahagia itu begitu sederhana, sesederhana hari-hari Sabari, si Tokoh di dalamnya.
Selebihnya semua berlangsung seperti sediakala, Sabari bangun subuh, mengurus kambing, bekerja, merasa beruntung jika sekilas saja melihat Lena, pulang, mengurus kambing lagi, ngobrol dengan ibunya, mendorong kursi roda ayahnya ke dermaga, saling bercerita dan berbalas puisi sambil menyaksikan matahari terbenam di muara, malamnya duduk di beranda, menyaksikan cahaya bulan jatuh di padang ilalang. Dia merindukan Lena hingga jatuh tertidur sambil menggenggam pensil. Keesokannya terbangun, dia masih menggenggam pensil itu.