Indonesia, etc, Info for Motion, Travelling time!

Halo Bali!

Orang Londo (OL): “So, you’re from Indonesia?”

Saya: “Yes, have you ever visited Indonesia?”

(OL): “Yes, we went to Bali for vacation. It was the best place we ever visited!”

Percakapan di atas sudah beberapa kali terjadi pada saya ketika saya berbicara dengan beberapa orang Belanda, di antaranya kolega di kampus, huisart (dokter keluarga) yang memeriksa anak saya, pasangan muda yang membeli stroller kami, oma-opa yang tinggal di apartmen kami, dan masih banyak lagi. Mata mereka berbinar-binar ketika menyebutkan kata ‘Bali’. Siapa yang tidak? Bagi kami yang orang Indonesia asli saja Bali merupakan pilihan wisata utama, apalagi bagi orang Belanda yang tidak pernah melihat Maha Karya Tuhan yang seindah ini? Maklumlah kondisi alam Belanda memang cenderung datar dan kaku. Sekaku orang Belanda pada umumnya, hehe. Tidak ada lekuk liku dari gunung dan lembah, dan tidak ada pantai dengan pemandangan sunset/sunrise yang cantik. Pantas saja orang Belanda begitu sampai di Bali merasa begitu takjub. Mereka selalu berkomentar, best destination ever!  Ya iyalah, Bukan cuma alamnya yang bisa dinikmati, tetapi juga keberadaan cuaca tropis plus angin sepoi-sepoi yang membuai, plus kuliner yang kaya.

Ngomongin Bali memang selalu bikin mellow, bawaannya jadi ingin liburan aja … Soalnya di Belanda sudah mulai mendekati libur panjang musim dingin. Biasanya sebagian besar orang di sini sudah merencanakan libur panjang untuk menghabiskan natal dan tahun baru, sekalian escape winter, menghindari udara dingin yang menggigit dan langit yang senantiasa berwarna kelabu sepanjang hari.

Merencanakan libur ke Bali memang bukan kemewahan yang bisa direncanakan oleh setiap orang. Namun, Bali selalu menjadi wishlist hampir semua orang.

Saya sudah tiga kali mengunjungi Bali, Alhamdulillah. Pertama waktu berlibur bareng Mama dan Kakak (sekitar tahun 2005 mungkin, waktu saya SMA, agak lupa). Yang kedua, waktu babymoon anak pertama, tahun 2012, pas kebetulan suami ada dinas dari kantornya juga. Dan yang ketiga, waktu babymoon anak kedua, tahun 2017. Waduh ternyata dua kali pas saya sedang hamil ternyata, padahal gak direncanakan khusus untuk babymoon sih. Tempat yang saya kunjungi beda-beda di tiga kali liburan tersebut, tapi tentu saja semuanya berkesan.

Garuda Wisnu Kencana (GWK)

Sepertinya GWK adalah tempat yang saya kunjungi setiap saya ke Bali. Bukan karena ini tempat wisata favorit saya sih, murni karena ada di dalam list tour yang saya ikuti. Saya juga gak terlalu menikmati melihat hasil karya seni berupa patung. Aslinya saya juga sebenarnya gak terlalu mengerti apa sih GWK itu? Kenapa begitu populer ya? Yang saya ingat ada patung kepala-badan orang yang gede banget dan patung kepala burung. Waktu tahun 2017 saya ke sana, saya baru ngeh, ternyata patung sepotong badan itu belum selesai. Potongan bagian patung yang lain sudah ada dan akan digabungkan. Jadi patung itu akan berdiri kokoh setinggi hampir 120 meter. Desain jadinya adalah patung Dewa Wisnu (dalam agama Hindu) yang sedang menaiki Garuda. Ohhh.. pantesan namanya Garuda Wisnu Kencana … ya ampuun, baru tahu … kemana ajaa? Tapi memang pembangunan GWK sendiri sudah memakan waktu 28 tahun lebih. Hampir seumur saya dong, jadi, dimaafkanlah ya ketidaktahuan saya.

Salah satu spot di kawasan GWK Cultural Park, yang luasnya sampai 60 hektar

Pura Uluwatu

Menurut saya, Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pusat wisata yang unik, perpaduan dari karya seni manusia dan lukisan alam Allah. Mungkin tadinya pura ini dibangun memang untuk beribadah karena lokasinya yang memberikan suasana sakral. Pura ini terletak di bukit karang dengan ketinggian hampir 100 meter dari permukaan laut. Dinamakan Uluwatu sebab lokasi pura ini berada di atas tebing karang (Uluwatu = puncak batu karang; Sanksekerta).

Yang menarik perhatian saya bukan pura-nya, tetapi dahsyatnya hamparan Samudera Hindia dengan anak-anak ombaknya yang menghantam kaki tebing. Ditambah dengan pemandangan rona matahari terbenam yang cantik. Saat saya ke sana, kebetulan sudah mau masuk waktu sunset. Suami langsung sibuk dengan kameranya merekam lukisan alam yang tidak akan kami temui di Belanda. Masya Allah.

Oiya, ada dua hal lagi yang unik di Uluwatu. Pertama adalah keberadaan monyet atau kera yang cukup banyak, dari jalan masuk sampai masuk pintu utama pura, Di sekitar sana ada hutan rimbun, yang merupakan habitat para kera ini. Kera-kera ini agak iseng lho, hati-hati saja. Beberapa pemandu atau staf di Uluwatu meningatkan agar kita tidak memegang atau menggantungkan barang-barang (berharga) di tangan dan di badan, seperti kalung, kacamata kamera, handphone, dll. Bisa-bisa kera akan mengambilnya secara tiba-tiba dari tangan kita. Bahkan saya terpaksa melepas kacamata minus saya, daripada dicuri oleh si Kera.

Hal lain yang menarik adalah adanya pertunjukan Tari Kecak di Uluwatu. Kami mendapatkan selebaran untuk menonton pentas, yang akan dimulai setelah matahari terbenam, sekitar pukul 18-19. Saya ingin sekali menontonnya, terbayang suara “cak,cak, cak” bersahut-sahutan dari sekitar 50-100 penari. Tapi sayangnya, kondisi waktu itu tidak memungkinkan, jadi kesempatan tersebut kami lewatkan deh.

Pemandangan di Uluwatu menjelang sunset

Pantai Seminyak

Dari sekian banyak pantai di Bali, pantai ini merupakan salah satu favorit saya. Pantai ini terletak di sebelah utara Pantai Kuta. Tapi pantai ini tidak seramai dan sepadat Kuta, jadi kesannya lebih eksklusif. Di sepanjang Pantai Seminyak, ada tempat duduk plus payung besar yang disewakan untuk wisatawan. Saya lupa tarifnya, tapi bisa disewa misal sampai setengah hari atau beberapa jam.

Banyak aktivitas yang bisa dilakukan di Pantai Seminyak, berenang, berselancar, berjemur (khususnya buat para bule, kita mah udah cukup menikmati banyak sinar matahari), dan tentunya menikmati matahari terbenam.

Pemandangan sunset di Seminyak

Satu hal yang penting ketika liburan di Bali tentu mencari penginapan yang cocok dan pastinya harganya juga pas. Tiga kali ke Bali, saya menginap di beberapa tempat berbeda. Pernah di hotal kelas Melati, di hotel berbintang, maupun di villa (suami nyari di airbnb). Saya paling terkesan ketika menginap di villa (soalnya ramai-ramai juga dengan tante dan sepupu). Memang ada beberapa pilihan tempat menginap di Bali, mencari villa murah di Bali memang takes time, tapi demi liburan yang nyaman, effort dikit gak masalah dong. Salah satu pilihan untuk mencari penginapan di Bali, baik hotel maupun villa, bisa dilakukan di Pegipegi. Fitur pencarian di Pegipegi sangat user friendly. Kamu bisa mencari lokasi mana yang kamu inginkan, tipe penginapan yang seperti apa (hotel, villa, guest house, bungalow, dst), tarif yang sesuai kantong, sampai fasilitas apa saja yang kamu inginkan di penginapan tersebut. Misal kalau saya sih mencari hotel atau villa yang sudah include dengan kolam renang, soalnya anak-anak pasti happy banget. Nah, cuma klik-klik aja bisa deh nemu penginapan mana yang sesuai, mudah dan nyaman!

Mommy's Abroad, Pharmacisthings, [GJ] – Groningen’s Journal

Bapak-Bapak yang Macho itu adalah…

Runa diantar Ayah ke Sekolah

Vandaag op school
Runa is blij als elke keer Ayah te gaan met haar naar school.
Zij zwaaien in het raam
*pardon my Dutch, msh belajar iki
.
.
Hari ini di sekolah
Runa seneng banget kalau setiap Ayahnya nganter ke sekolah.
Runa selalu minta Ayahnya dadah-dadah di jendela setelah nganter.

Saya juga senang kalau tiap ke sekolah Runa sering melihat bapak-bapak yang mengantar anaknya sekolah, ada yang menemani sampai depan pintu kelas, ada yang ikut masuk dulu ke kelas, membaca buku dulu bersama sampai gurunya datang, atau ada juga yang melambaikan tangan dari depan kelas/jendela.

Tidak jarang juga ada bapak-bapak yang menjemput anaknya ketika pulang sekolah, sambil mendorong stroller berisi anaknya yang lebih kecil. Bapak-bapak itu kelihatan sangat warm dan manly. Meski ada yang penampilannya bertato, terlihat sangar dengan kepala botak, beranting, atau ada juga sih yang necis memakai jas atau jaket keren, dengan sepatu pantofel.

Itu juga tidak hanya dilihat di sekolah Runa saja lho. Di Belanda, sepertinya bapak-bapak membawa anak (seorang diri, tanpa istrinya) adalah pemandangan yang biasa. Mereka terlihat di posyandu, mengantar anaknya imunisasi atau kontrol rutin. Mereka juga terlihat di pusat perbelanjaan, mendorong stroller dan menggandeng anaknya. Mereka juga terlihat di kereta atau bus. Ke mana ibunya? Saya juga tidak tahu. Mungkin mereka sedang berbagi tugas saja. Mereka tidak nampak risih dan kikuk. Padahal sepertinya cukup repot juga melihat bapak-bapak dengan anak balita/batita. Mereka malah terlihat makin macho.

Saya salut sama bapak-bapak itu. Santai saja mereka menjalani perannya. Memang tidak ada yang salah juga. Tidak ada yang menganggap hal itu tabu juga. Mengurus anak kan bukan cuma tugas istri toh? Seperti paradigma yang banyak dianut masyarakat di Indonesia. Bahwa urusan anak-rumah-dapur adalah tugas istri. Bapak-bapak ya tugasnya cari duit di luar rumah. Jadilah beban seorang ibu-ibu Indonesia terasa beratnya. Kalau pun suaminya mau berbagi tugas mengurus anak, nanti judgment dari lingkungan luar yang membuat suami (dan tentu istrinya) jadi merasa di posisi yang salah. Masa suaminya disuruh gantiin popok anaknya? Kok suaminya sih yang belanja ke pasar? Itu ibunya ke mana kok yang ngasuh anak-anaknya malah bapaknya? dst.

Saya merasa bersyukur. Kalau tidak pernah menjalani kehidupan di Belanda, mungkin suami tidak akan banyak belajar untuk ikut berperan dalam mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga. Di sini, tidak ada pembantu rumah tangga, semua harus dikerjakan sendiri. Mau tak mau kerja tim sangat dibutuhkan untuk bisa seimbang.

Dulu waktu saya maasih sibuk kuliah dan suami kerja. Kami selalu berbagi tugas beres-beres rumah, masak, dan mengurus Runa. Saat kuliah saya sudah selesai, tidak ada yang berubah. Walaupun saya lebih banyak di rumah, tetapi bukan berarti rumah adalah tugas saya sepenuhnya, bukan berarti mengurus anak hanya menjadi urusan saya. Suami tetap berperan di dalamnya, mengantar jemput Runa, beres-beres rumah, kadang belanja. Kalau “hanya” kerja dan ongkang-0ngkang kaki di rumah, malu dong sama bapak-bapak tatoan tadi, yang lebih luwes mengurus anak. Nanti jadinya machonya berkurang deh.

Informatie, tips & trucs, Journey, Just Learning, Life is Beautiful

Mengajukan Visa Keluarga Belanda dari Indonesia

Salah satu nazar saya jika visa keluarga (suami dan anak) jadi tepat waktu sehinga saya jadi bisa berangkat ke Belanda bersamaan dengan suami dan anak adalah: MEMBUAT BLOG MENGENAI MENGURUS VISA KELUARGA BELANDA DARI INDONESIA

Kenapa? Karena ternyata belum banyak yang tahu bahwa:

1. Bisa lho mengurus visa keluarga dari Indonesia

2. Bisa lho kita berangkat bersamaan dengan student-nya (atau sponsor dari keluarga)

3. Informasi mengenai pengurusan visa keluarga ini sepertinya masih terbatas, baik di website IND maupun dari Kedutaan Belanda

Visa yang dipakai oleh student (saya) dan keluarga adalah visa tinggal sementara, atau disebut MVV (“Machtiging Voorlopig Verblijf”). MVV ini diperlukan bagi warganegara asing yang akan tinggal di Belanda lebih dari 90 hari dalam periode 6 bulan.

Continue reading “Mengajukan Visa Keluarga Belanda dari Indonesia”

Journey, Just Learning, Love..

Kebodohan Derajat 1: Unforgivable, but must forgotten

Pengen ga pengen nyeritain ini, tetapi didorong oleh rasa kemanusiaan dan sosial yang tinggi, saya akan menuangkan kisah ini di blog saya. Sebagai pengingat, suatu hari bisa ditertawakan, tapi ga perlu disesalkan..

Judulnya adalah the worst trip to Bandung ever!!!!

It was a looooongg and never ending nightmare for me.

Bermula dari sabtu ceria di Jakarta, saya sudah menunggu-nunggu kedatangan hari Sabtu karena saya bakal mudik ke kota yang telah membesarkan saya, Bandung. Terlebih lagi Sabtu sore ada acara kumpul-kumpul FKKers 06, farewell party tetuanya anak FKK, Ilman a.ka Omkong.. karena dia mau ke Jepang minggu depan dalam rangka jadi TKI bergengsi. Minggunya pun udah ada jadwal ke acara farmadays HMF Ars Praeparandi, ceritanya nih eike diundang jadi juri PCE (Patient Counseling Event) *ga kerasa dulu jadi peserta, sekarang diminta jadi juri*. Intinya in that time I was so excited waiting for 12.30 teng, untuk segera go kejar bus pulaaaaang! Continue reading “Kebodohan Derajat 1: Unforgivable, but must forgotten”