Dalam hidup pasti kita selau dihadapkan dalam pilihan. Waktu kita masih kecil sih pasti setiap pilihan kita yang nentuin ortu, mulai dari makan, baju, sekolah, dll. Tapi seiring kita beranjak dewasa, pasti kita harus memutuskan pilihan dalam hidup sesuai keputusan kita sendiri. We live by our own decision. Orang tua dan sahabat boleh ngasih masukan, tapi tentunya pilihan akhir ada di tangan kita.
Dalam hidup saya, saya juga selalu dihadapkan dalam pilihan-pilihan. Saya lupa kapan saya mulai mandiri untuk memutuskan sendiri segala sesuatunya. Yang pasti, saya ini terlalu banyak pertimbangan, nanya sana-sini, lihat ini-itu, memikirkan pendapat orang lain juga, dan akhirnya kadang saya menjalani pilihan yang orang lain sarankan untuk saya, bukan murni kata hati saya. Saya sendiri suka bingung, kata hati saya apaah yaa? heuehuehu..
Bahkan pilihan untuk kuliah di Farmasi ITB pun adalah saran dari orang tua, tante, dan lain-lain. Saat itu saya memikirkan yang orang bilang untuk saya ini pasti yang terbaik, tanpa memikirkan apa yang saya mau untuk ke depannya mungkin lebih baik. Kecondongan saya dulu adalah kuliah di Psikologi Unpad dan saya sudah diterima di sana, tapi itu tadi.. saya tidak merenungkan pilihan itu dan mengindahkan suara hati terdalam saya (kamana atuh suara hati terdalaaam :P), pokonya yang penting ITB. Bukan, bukan saya menyesal sudah kuliah 4 tahun di Farmasi dan 1 tahun Apoteker.. tentu tidak, Alhamdulillah.. kalau saya gak memilih di sana, I would’t meet my lovely friends FKK, dan belum tentu hubungan LDR saya bisa selamat sampai pernikahan, hehe. Yah who knows.. berarti, pilihan itu sudah yang terbaik Insya Allah.
Balik lagi ke soal pilihan. Setelah lulus, banyaaaaak banget pilihan jalan hidup terbentang buat saya, saya sebenarnya memilih untuk S2 abroad, hahaha.. apa daya belum dikasih, jadi saya dipilihkan oleh Allah untuk cari pengalaman dengan bekerja dulu. Sempet kerja di dua perusahaan berbeda selama setaun ini, dan kemudian hamil, saya dihadapkan dengan pilihan lagi: Lanjut kerja atau engga.
Banyak orang menyarankan: lanjutin ajalah kerja, sayang gelarnya ga kepake atau di Badan P*M udah bagus lho, prospek kerjanya untuk farmasi bagus dan jadi PNS cocok untuk perempuan atau jadi perempuan harus mandiri, walaupun suami bekerja dan penghasilannya mencukupi tapi perempuan juga harus bisa berdiri sendiri atau dll.
Yaaa.. sebagai orang peragu dan penuh pertimbangan, saran tsb masuk ke pikiran saya dan bikin saya banyak mikirrr.. aazzzzzzZZzzzZZzz.. tapi akhirnya ya. I decided to be a full time mother. Setidaknya untuk sampai 3-6 bulan ini. Cabut deh saya dari Badan P*M, no matter what how many people wants the position in that place, yasuwalah.. rezeki mah ga kemana.
Si ayah sendiri sebenernya seneng liat saya kerja *bukan karena bisa nambah pemasukan juga, teu ngaruh oge jigana mah gaji eike dalam menambah neraca pemasukan keluarga. Eh lumayan ding buat jajan daku pribadi mah, meuli buku cerita, cemilan, sampe daleman mah, hahaha*. Tapi si ayah tau, bundanya ini ga biasa ngajentung di rumah, biasa aktif dan sibuk *hazekk*. Dia mikir bunda juga perlu mengembangkan dirinya dengan aktivitas yang mengasah kemampuan (mungkin juga karena ibu mertua yang dari sejak si ayah kecil sibuk ngajar). Terbukti sih, pas udah resign emang aktivitas aku kebanyakan maen hape dan tidur.. –trus aku dikritik ayah,heu– padahal banyaaak kegiatan bermanfaat yang bisa dikerjain seperti nulis kaya gini, punya banyak waktu luang emang berbahaya.
Oke, let’s see in these 3-6 months, what choices that left for me? I’m sure that Allah has set the best path for me. Dan semoga saya ga jadi manusia peragu lagi, loba mikir. Inget kata si Barney ke Ted (kurang lebih begini, lupa tepatnya): Ted, all you’re just doing is think, think, and think. Instead of it, you just have to do, do, and do.