Cerita Apartment, Journey, Only a Story, Project

Cerita Apartment (2) Sebut saja Namanya Sara

Selama tinggal di apartment CP ini, banyak juga belajar jadi ibu yang baik. Ga cuma dari Stay at Home Mom yang tinggal di sini, tapi juga dari bibik/pengasuh/pembantu yang juga megang anak majikannya. Eh banyak juga kali yang di sini pake jasa pengasuh. Daku sendiri ga kebayang kalo di unit dengan 2 kamar minimalis ini masih ada space buat orang lain, lha kita betiga aja udah penuh.. Apalagi kalau ditambah yang bantu-bantu di apato, berasa ga bebas juga jadinya.. Lain halnya sih kalo memang udah keadaan, dua-duanya kerja, ya jadi mao ga mao harus punya pengasuh yang “megang” anaknya di rumah.

Sebut saja namanya Sara. Dia salah satu anak yang paling gede di antara genggongnya Runa (liaat Runa kecil-kecil aja udah ada geng doongg).  Umurnya 2,5 tahun mau 3 taun.. Setiap hari jam 7 pagi dia pasti udah stand by di taman bawah sama Mbaknya, Mbak Yayu -sebut saja-. Sara dan Mbak Yayu tuh kaya pembuka gerbang gitu. Kalo liat mereka udah di bawah, pasti mbak-mbak atau ibu-ibu yang lain baru nyusul ke bawah. Sara dan Mbak-nya ini juga yang ke atas paling siang. Jadi jam 7 tu Sara sarapan disuapin Mbaknya, sambil main, sampaaaai jam setengah 11 (paling lama) baru makanannya habis. Makannya diemut gitu soalnya. Sorenya pun kalau cuacanya bagus Sara pasti turun, daaan kita-kita pun jadi ikut betah nongkrong di taman. Continue reading “Cerita Apartment (2) Sebut saja Namanya Sara”

Love.., Motherhood

Repost – About IRT – dari Ust. Felix Siauw

1. saya masih ingat beberapa tahun lalu sebelum Muslim | papi sempat menasihati saya perihal “Ibu Rumah Tangga”

2. “lix, selama papimu masih bisa mencukupi keluarga, mamimu tugasnya di rumah” | tegas papi berpendapat soal IRT

3. padahal saat itu isu feminisme sedang santer | wacana wanita karir sedang panas-panasnya | arus genderisme mewabah

4. tapi papi tenang aja lalu menyampaikan | bahwa dia ingin yang terbaik bagi anak-anaknya | dan itu berarti perhatian full dari ibu mereka

5. hidup kala itu tidak mudah, dan akal lebih mudah seandainya mami bekerja | tapi papi sudah mengambil pilihan, dan itulah yang ia jalani

6. karena semua manusia punya pilihan | apa yang didapat dan apa yang dikorbankan | semua selalu tentang pilihan

7. sebelum Muslim pun saya tumbuh dengan memahami | lelaki dan wanita tidaklah sama | mereka punya kelebihan di bidang masing-masing

8. posisi ibu dalam dunia anak itu tidak tergantikan | perhatian seorang ibu pada anaknya takkan terbeli sebanyak apapun harta

9. dan posisi ibu itu tidak bisa diulang kembali | karena umur anak takkan bisa diputar lagi

10. maka ketika memilih calon ibu dari anak-anak kami syaratkan | “maukah engkau menjadi fulltime-mother bagi anak-anak?”

11. “saya nggak mau ketika anak dewasa lalu bermaksiat, kita menyesal ‘mengapa dulu tidak habiskan lebih banyak waktu bersamanya?!'”

12. itu pemahaman sebelum Muslim | saat sudah mengenal Islam | kami memahami betul Islam paling memuliakan wanita

13. feminisme menjadikan materi sebagai standar sukses | wajar bila mereka merasa dunia tidak adil | karena materi jadi penanda sukses

14. feminisme menganggap waniat modern harus lebih mirip lelaki | bahwa bila wanita tidak bekerja maka wanita akan direndahkan

15. feminisme sukses mendidik wanita melihat kesuksesan sebagai | punya penghasilan tinggi, gelar seabrek, mobil mewah, buka aurat dll

16. wajar hasilnya di negara-negara asal feminisme | wanita jadi lebih malas berkeluarga apalagi memiliki anak | kerja lebih asyik

17. menurut pandangan feminis | IRT itu perendahan martabat perempuan, tidak modern, perbudakan terhadap wanita

18. wajar di negara-negara yang vokal feminisme | perceraian pun memuncak | karena tidak ada satu pemimpin dalam keluarga

19. US misalnya yang jadi kampiun feminisme | angka perceraian mencapai 50% per 2012 sila rujuk http://t.co/OUvEkdUY8L

20. “nearly 80% cited financial problems as the leading cause of the marital demise” (Carr, 2003, p.10) | http://t.co/zQFsyYQuqe

21. feminisme mangaburkan fungsi ayah dan ibu dalam rumah tangga | hanya semata-mata demi mendapat lebih banyak materi

22. akhirnya meningkatlah angka single parents http://t.co/k9eNybXtq7 | dan jelas broken home http://t.co/yUvU499gT9 http://t.co/qAjjFfHBQJ

23. banyak juga studi-studi yang menperingatkan | sangat sulit untuk memadukan ibu dan karir sekaligus | http://t.co/mu5t6N2u3m

24. sebagai tambahan, US yang melahirkan gerakan feminisme saja | sudah banyak bermunculan gerakan anti-feminisme sebagai gantinya

25. di US, sudah banyak wanita sadar bahwa feminisme mengorbankan keluarga | mereka ingin kembali menjalankan peran ibu rumah tangga

26. karena seberapa banyak waktu pun yang didedikasikan untuk mendidik anak | tiada pernah akan ada waktu yang cukup untuknya

27. “saya ibu sekaligus karyawan, anak saya baik-baik saja” | di-sambi aja sudah baik, apalagi bila fulltime-mother? tentu sangat baik 😀

28. lalu pertanyaan prinsipil | “apakah Islam melarang wanita bekerja?” | “apakah wanita tidak boleh berpendidikan tinggi?”

29. dalam Islam hukum wanita bekerja itu mubah (boleh) | sedangkan menjadi “ibu dan pengelola rumah tangga” itu kewajiban

30. jadi sah-sah saja wanita memilih bekerja | namun beres juga kewajibannya | tentu bila dia lebih memilih yang wajib, itu yang utama

31. hidup memang perkara pilihan | dan Islam memerintahkan untuk memaksimalkan waktu ibu untuk anak-anaknya | urusan uang biar ayahnya

32. bagaimana dengan wanita yang ditinggal suami apapun alasannya | maka bekerja menafkahi anak tentu amal pahala besar baginya 🙂

33. maka karir terbaik wanita | adalah menjadi ibu sepenuhnya

34. tentang pendidikan? | tidak bosan-bosan saya sampaikan | bahwa seorang ibu HARUS terdidik sempurna, tinggi dan luasnya

35. bahkan wanita Muslimah WAJIB lebih terdidik daripada lelaki | karena ialah madrasatul ula (pendidikan pertama dan utama) anak-anaknya

36. maka jangan tanya “untuk apa pendidikan tinggi bila hanya jadi IRT?” | jadi IRT justru perlu pendidikan tinggi

37. karena di tangan kaum ibu generasi Muslim berada | bukan di tangan ayah generasi Muslim dibentuk

38. banyak wanita yang sebetulnya bisa menggapai dunia lebih dari lelaki | tapi mereka mengorbankan segalanya demi anaknya | MULIA

39. dari ibunda MULIA semisal itulah | menjadilah Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad

40. rata-rata ulama besar menghabiskan masa kecil dalam yatim | ibu merekalah yang mendidik dan mendaras Al-Qur’an setiap waktu

41. sembah sujud kami pada Allah yang selalu menjaga dunia dengan para ibunda MULIA | yang mau mengorbankan semua buat kami anak-anaknya

42. hormat khidmat kami padamu wahai ibu | yang gadaikan semua waktu tanpa sesal dan keluh | membina kami jadi yang terbaik dalam agama

43. pada para bunda MULIA doa kami | “Wahai Tuhanku, kasihilah keduanya, sebagaimana keduanya TELAH MENDIDIK AKU WAKTU KECIL” (QS 17:24)

44. kembali lagi semua masalah pilihan | part-time mother or full-time mother? | you decide 😀

Lifestyle, Love.., Motherhood

Role model: Papa

Papa.

Ga banyak kata dan cerita tentang sosok seorang papa, sama seperti orangnya, yang juga ga banyak berkata-kata. Bahkan untuk orang yang ga kenal papa, orang berasumsi kalo papa orang yang galak dan dingin. (Mungkin dari situ ya sifat pendiam saya mengalir –what monik pendiam? Ahahaha).

Papa seperti layaknya sosok bapak-bapak kebanyakan: tenang, diam, lebih banyak bekerja daripada bicara. Kalau digambarkan dalam cerita, papa pas seperti ayahnya si Ikal dalam Laskar Pelangi. Dia kecewa atau dia senang, kelihatannya sama. Sama-sama tetap sayang sama anak-anaknya.

Papa adalah penyeimbang mama dalam segala hal. Mama blak-blakan, papa memendam. Mama banyak cerita, papa mendengarkan. Mama banyak mengomeli anak-anaknya supaya nurut, papa cukup diam sudah bisa membuat kami terdiam. Mama berhemat, papa suka ngasih uang jajan lebih (hahaha). Dan masih banyak lagi.

Kadang-kadang saya juga bingung, kenapa papa saya unik begini.. rasanya pengen punya hubungan ayah-anak yang romantis, seperti di pelem-pelem barat itu looh.. hubungan ayah-anak perempuannya itu kan katanya sangat spesial. Seorang ayah yang ingin selalu melindungi putrinya. Tapi memang, mungkin pendekatan hubungan antara saya dan papa berbeda dengan yang saya lihat di film-film tersebut. Namanya juga sifat orang beda-beda ya.

Papa memang jarang (ato ga pernah ya? err..) bilang ‘i love you’ sama anak-anaknya, juga ga mengungkapkan lewat pelukan dan ciuman kebapakan, juga bukan tempat curhat yang baik. Mungkin kasih sayangnya memang tidak disalurkannya melalui hal-hal menye kaya gitu..

Tapi selalu ada hal-hal yang membuat saya yakin walaupun papa bukan tipe romantic father, but he truly loves me.

Ada 1 hal yang unik

Dari sejak saya SD sampai kuliah, kalau berangkat pagi saya selalu diantar papa. Pulang pun kalau sore/malam dijemput papa. Setiap saya semobil dengan papa, saya PASTI SELALU TIDUR di mobil, mau pagi, sore, malem, mau duduk di sebelah papa atau di bangku belakang, pasti saya ketiduran. Yah, mungkin suasana mobil yang sepi, seperti biasa si papa ga banyak ngomong, paling cuma nanya: “gimana ujiannya tadi?” atau karena suara radio elshinta yang isinya berita bikin daku ngantuk, heuheu.. Saya tidur dari awal naik mobil sampai nyampe tujuan. Tapii.. walaupun saya tertidur, di sebelah papa, papa engga pernah sekalipun membangunkan saya atau protes berasa dianggep sopir gitu, ditinggal tidur. Si papa pasti membiarkan saya yang masih ngantuk karena berangkat pagi, atau udah cape karena pulang malem. Padahal papa kan juga cape, terus saya tidur, papa nyetir? Memang anak tida tau diuntung, hahaha.. He never wakes me up, until we arrive to the destination.

Itu aja udah cukup bagi saya untuk menandakan bahwa papa sayang anaknya.

Sifat lain papa yang saya suka adalah. Papa itu orangnya bersih dan apik. Walaupun laki-laki papa ga pernah gengsi buat nyuci piring, nyuci baju, nyapu, ngepel, bahkan masak. Papa melakukan contohnya dengan tindakan, bukan dengan kata-kata (dan itulah sebaik-baiknya teladan). Sifat perfeksionisnya dalam bebersih ini yang nurun ke saya, alhamdulillah karena liat papa pembersih jadi alam bawah sadar saya pun mengikuti polanya.

Nah, sekarang saya punya anak perempuan yang cantik.. I wondering, how my husband will be a father for my daughter? I bet they will be have a special-unique relationship too 🙂

Good luck ayah, for becoming her superdaddy..

“A father has to be a provider, a teacher, a role model, but most importantly, a distant authority figure who can never be pleased. Otherwise, how will children ever understand the concept of God?”
― Stephen Colbert

image

Motherhood, Mumbling, Project

Mencari si Bibik

Bibik atau Mbak biasanya kita memanggilnya. Bahasa kerennya asisten rumah tangga (ART). Buat kita yang tinggal di Indonesia, mungkin udah biasa kalau tiap rumah dibantu sama ART, beberapa keluarga bahkan ketergantungan akan adanya ART. Entah memang budaya kita yang seperti itu, atau kitanya kurang mandiri, atau kita cukup mampu untuk menyewa tenaga kerja di rumah, atau memang tenaga kerja Indonesia yang pendidikannya rendah sehingga hanya bisa sampai jadi ART.

Hmm.. entahlah.. Apapun faktornya.

Sama seperti keluarga pada umumnya, keluarga saya juga bolak-balik pakai jasa ART. Apalagi dulu waktu anak si mama masih dua unyil-unyil, saya sama si kakak yang cuma beda setaun, kebanyang repotnya (baru kebayang sekarang pas udah punya baby, heu). Walaupun mama ini full time mother, yang ada di rumah terus, tetep aja keteteran ngerjain semua kerjaan rumah tangga pleus ngurusin dua anak ingusan yang cengeng dan ga bisa diem (kata mama begitu). Mana zaman dulu belom kenal pampers, belum punya mesin cuci, belum ada sagala macam yang instan-instan-lah. Pengalaman mama sama ART juga macem-macem, ada yang cuma tahan sebulan, ada yang cuma tahan seminggu terus nangis minta pulang, ada yang suka nyubitin saya sama kakak kalo kita rewel (huhuhu.. jahat ya), ada yang tingkah lakunya ga baik, dll. Alhamdulillah-nya ga ada yang sampai parah banget kaya kasus yang suka kejadian di tipi (Nadzubillahimindzalik.. ga mau nyebut kasusnya ah).

Bagaimanapun, si mama tetep berjuang mengurus rumah tangganya sendiri, ART hanya sebagai perpanjangan tangan untuk bantu sana-sini. (Saya sangat salut sama mama, mo nyeritain soal mama mah 1000 post juga ga akan habis, heu). Kita pun diajarin untuk selalu mandiri dari kecil, ga ngandelin si Bibik. Sejak kita beranjak agak besar, udah ga pernah pake bibik full time, paling bibik part time (gaya yah sekarang bibik aja part time). Mau gamau kita ngakuin emang enak kan ada Bibik: “Biik, cuci piring.. Biik, setrika.. Biik, bersihin kamar.. Biik, ngeronda, dst, dst.” Noted to myself, saya harus bisa mengajarkan anak saya seperti apa yang mama dan papa ajarkan, beberes sendiri!

Sampai mana tadi, oya kebutuhan akan bibik. Saat ini setelah saya balik lagi ke Bandung dan ada kehadiran si Kecil Runa, mulai kerasa bahwa we need Bibik. Konsentrasi saya tercurah sepenuhnya buat si Kecil, si mama ikut riweuh, dan kasian atuh mun si mama pas muda cape, masa hari tua ga bisa sante dikit. Yah, we need ART, buat nyuci popok dan bedongnya yang tiap bentar kotor kena pup ama pipis setiap sejam sekali, buat nyetrika, buat bantuin mama masak, buat beberes rumah, buat gosok kamar mandi, dll.

Saya kebayang nanti kalo saya balik ke Jakarta (Bekasi, ehem) dan tinggal bertiga sama si Ayah, kumaha cerita ya? heu.. Akankah mampu masak-ngurus bayi-beberes rumah-nyuci baju nyetrika seorang diri? (dibantu si Ayah tentuya –Awas kalo ENGGA, *ngancem*–) Kalo pas masih berdua sih oke-oke aja, semua bisa sendiri, Nah.. udah ada si dede ini baru bingung. Sebenernya belom kebayang nasip saya nanti ke depan, gimana kemandirian saya selama apakah bisa teruji. Terpikir untuk mencari si Bibik.. Tapi tentunya jaman sekarang nyari ART tu susah, ga semudah seperti nyari upil di idung, he. Perlu banyak pertimbangan dan pasti gonta-ganti yang cocok (pengalaman si mama), tentunya harus terpercaya dan berbudi luhur (kaya yang di buku PPKn, hehe).

Entah deh, ntar aja mikirnya ya.. semoga Allah memberi kami jalan yang terbaik.

Oya, fenomena ART ini jarang ditemukan di negara maju. Di Eropa, Amrik, Jepang, jarang denger ada keluarga punya ART. Di serial barat Parenthood aja anaknya 3 (1 bayi) ko ga ada ya peran pembantu di dalemnya (apa karena ga ada di naskahnya ya) heuheu. Saya ga akan membandingkan kenapa di Indonesia begini dan kenapa di luar negeri begitu. Tidak adil juga menjudge kita yang di Indonesia adalah orang yang manja sehingga perlu bala bantuan ART sedangkan orang barat atau orang Indonesia yang tinggal di LN mandiri apa-apa bisa sendiri, heu. Kondisinya tentu berbeda. Di sana ada fasilitas yang lebih canggih lagi dari ART. Mau nyuci baju, laundry umum tersedia bisa dioperasikan sendiri. Punya anak bayi, ada tempat penitipan anak profesional yang sekalian tempat belajar (kalo di Bandung kaya Galenia kali ya), kalopun ga dititipin, ada mahasiswa/i yang bersedia bekerja paruh waktu untuk mengurus anaknya –nah kan, yang ngasuh anaknya orang terpelajar kok, ga mungkin macem-macem kan kaya babysitter/pembantu di sini–.

Yah well, udah sih gitu aja. Cuma pengen ngacapruk dikit, mumpung Runa lagi bobo..

See you later pals.