Europe, etc, Travelling time!

Derby Inter vs Milan di San Siro

Masih dalam rangka #30DWC, meski saat ini lagi liburan dan kami keliling-keliling, saya paksakan juga tetap menulis sesuatu. Justru masih dalam suasana libur, jadi cerita yang saya mau tulis masih panas. Kebiasaan kalau sudah pulang, selesai libur, semua cerita yang mau ditulis malah keburu menguap. Sayanya juga terbawa malas. Ditambah pressure menulis yang isinya harus berbobot.

Mumpung masih hangat nih ya.

Menonton bola langsung di stadium sebenarnya bukanlah hal yang benar-benar saya ingin lakukan. Menonton liga-liga terkenal di dunia secara live memang menggiurkan, membayangkan sensasi berasa satu tempat dengan pemain-pemain terkenal. Kali ini suami yang ngebet banget ingin nonton, tim kesayangannya bermain, match derby pula di Milan. Saya sih hayuk-hayuk aja.

Kalau dulu, mungkin saya akan excited banget. Tapi makin ke sini, antusiasme saya dalam menonton bola semakin meluntur (seiring bertambahnya usia haha). Kalau dulu saya akan bela-belain bangun dini malam untuk nonton tim favorit saya berlaga, atau menonton pertandingan seru antar dua tim terkenal. Sekarang mah woles aja, padahal jam nonton bola di Belanda masih bersahabat, kadang siang, sore, atau malam di bawah jam 9. Mending waktu saya dipakai untuk tidur. Dulu saya sampai hapal siapa-siapa pemain, pelatih, siapa yang ada di atas klasemen dan siapa top scorer. Sekarang, cukup tahu siapa yang menang aja.

Jadi sewaktu saya melangkahkan kaki ke Stadium San Siro, stadium yang membesarkan nama pemain favorit saya dulu, Pippo inzaghi, saya merasa biasa-biasa saja. Tidak seperti suami yang heboh banget, beli atribut Inter Milan supaya nonton bolanya makin seru.

Duh penuh gini stadium, kayaknya gak children friendly buat Runa, pikir saya (hyaeyalah). Kami mengantri di gate 9. Ketika sudah lama mengantri dan diperiksa tiket dan identitas, eh kami disuruh ke gate 5, karena bawa anak. Anak-anak ternyata perlu tiket, meski gak bayar. Jadilah kami mengantri lagi. Untung gak lama, kami pun masuk. Ternyata tempat duduk kami di deretan 300 itu berada paliiingg atas. Saya udah cemas aja ketika masuk stadium yang kecium adalah bau rokok, cimeng (ganja), dan gerombolan laki-laki Itali yang gogorowokan. Syukur tempat kami di atas cukup nyaman. Saya dan Runa bisa duduk, sementara suami berdiri di belakang (Runa memang gak dapat tempat duduk). Sebelah Runa adalah anak muda yang minim ekspresi, gak ribut. Sebelah saya adalah bapak-bapak necis yang sibuk berkomentar sepanjang pertandingan. Di depan kami bapak dengan dua anaknya yang mungkin berusia 8-10 th.

Tapi memang beda hawa-hawa nonton di stadium itu. Semua orang bersuka cita menanti timnya berlaga, melakukan yel-yel, teriak-teriak, ber-AH-OH, dan tepuk tangan bersama-sama. Suami udah ikutan aja. Saya sama Runa cukup duduk manis aja, sambil ngemil.Di waktu break, kami yang lapar malah buka kotak bekel makan nasi. Di awal babak kedua, Runa dengan santainya tertidur di pangkuan saya, di tengah berisiknya para penonton. Runa pulas sampai peluit panjang babak kedua ditiup

Kekurangannya nonton live ada juga. Pertama gak bisa lihat siaran ulang. Kedua, gak tahu siapa yang lagi ngegiring bola, bahkan yang ngegol-in. Posisi duduk kami kan jauh dari lapangan. Ketiga, gak bisa nyelonjorin kaki sambil makan kacang kayak kall nonton depan tipi.

Pada akhirnya derby memang berakhir dramatis 2-2. Padahal awalnya Inter memimpin 2-0. Hal ini membuat fans Inter di tempat duduk kami berteriak-teriak kecewa. Tapi mau gimana lagi. Sepak bola memang tak ubahnya candu seperti cimeng dan penuh drama seperti sinetron punjabi. Bagaimanapun juga untuk saya, cukup sekali saja nonton live sambil bawa anak. Besok-besok mending nonton di rumah, itupun kalau saya gak tidur.

Europe, etc, Travelling time!

Trip to Italy? Choose the cities first

Sudah lama gak nulis tentang trip atau jalan-jalan ala Monik and Family. Masih ngutang Trip to Spain (Malaga and Granada), Trip to Bremen (yang udah ketiga kalinya saya ke sana), dan tentunya spiritual trip to Mekah dan Madinah. Deuh utangnya banyak cuy, kenapa saya anggap hutang? Karena menurut saya pengalaman tersebut harus dituliskan, supaya saya pribadi punya kenangan yang bisa dibaca dan dibuka kapan saja, ganjel aja gitu kalau ga dituliskan. Selain itu juga untuk sharing ke orang lain yang mungkin punya rencana trip yang sama dengan saya, jadi memudahkan juga toh.

Okeh, mumpung yang ini masih agak fresh, saya cicil cerita trip saya.

Jadi Trip to Italy ini adalah the first buat saya dan Runa jalan-jalan tanpa Si Ayah. Saya dan Runa “bertugas” menemani Mama dan Papa jalan-jalan ke tanah kelahiran Leonardo da Vinci tersebut, Negara di bagian Eropa Selatan. Suami memang lagi gak bisa nemenin karena cutinya udah tipis, dipakai untuk haji kemarin. Alasan lain saya mau aja berangkat gak sama suami yaa karena saya sendiri belum pernah menjejakkan kaki ke negara pizza tersebut. Yang kedua, kapan lagi ini anaknya bisa ngajak orang tua pelesir ke negara orang (yang juga belum pernah ke sana), yang katanya penuh dengan karya budaya dan berseni tinggi? Continue reading “Trip to Italy? Choose the cities first”