Nulis ini biar inget aja, kalau pernah mengalami pulang kampung ke Indonesia di masa pandemi. Melalui keribetan administrasi dan cek ini itu demi bisa menembus Indonesia.
2020 was not easy, 2021 was not easy either. Both years were struggle for everyone. Kami sudah menjadwalkan untuk pulang ke Indonesia sejak summer 2020 (Juni-Juli). Selain untuk mengunjungi keluarga, juga untuk kepentingan penelitian. Qadarullah pandemi corona melanda. Jadi dua kali niatan ini tertunda. Akhirnya di akhir tahun 2021, sepertinya harus “dipaksakan” dengan segala konsekuensinya.
Jadwal karantina yang berganti-ganti dalam dua minggu
Dari Desember 2021, pemerintah Negara Ki Sanak senang banget ngeganti aturan karantina. Dari 5-7-3-10 hari, ah pokoknya saya sampe lupa urutannya gimana. Selama Bapak Lumut berkuasa mah Negara Ki Sanak diobrak-abrik aja sama dia. Wallahu’alam juga sih kan katanya memang omicron melanda, jadi kudu hati-hati sama orang LN yang mau datang. Tapi tuh kebijakan dibuat kayak mainan aja. Bayar hotel itu kayak ngerampok aja. Daku kan jadi kesel. Mana pake drama untuk booking hotel pula. Udah > 20 hotel kami hubungi, masa semuanya penuh. Trus kami mau ke mana dong? Ke Wisma bisa aja sih. Tapi mempertimbangkan dua anak dan jadwal kerja kami (kami gak cuti selama karantina), tampaknya sangat tricky untuk ke Wisma.
Akhirnya dengan bantuan Papa, bisa juga booking hotel Me*cur*. Itu kami harus booking dua kamar pula. Karena ga memungkinkan untuk ber-4 dalam satu kamar selam 10 hari. Bisa stres. Dan hotel juga bilang gak boleh dengan kapasitas kamar deluxe untuk ber 4. Ya udah bismillah aja.
Saya mau sharing sedikit pengalaman selama mengikuti kuliah online di masa pandemi ini. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, mayoritas kegiatan perkuliahan di universitas dilangsungkan secara online. Ada juga yang menggunakan metode hybrid katanya. Semacam kombinasi aa tatap muka juga, ada online-nya juga. Untuk meminimalisasi adanya kerumunan massa, dan juga untuk tetap memfasilitasi kegiatan perkuliahan yang efektif. Yaa.. tau kan gimana tantangannya kuliah melalui layar laptop. Bagaimanapun tatap muka dan pertemuan fisik tidak bisa digantikan dengan tatap virtual. Banyaklah kekurangan dan kesulitannya.
1. Koneksi
Namanya koneksi suka stabil dan enggak, tergantung rezeki. Namanya juga semua orang lagi wfh, ya bisa aja satu hari koneksi pet pet pet gitu. Video macet, suara ilang-ilang. Gak cuma dari saya aja, kadang dari dosennya, kadang peserta lain. Kalau udah kayak gitu, apa lagi yang bisa dilakukan coba? Emang pas kebetulan aja gak hoki.
2. Komunikasi satu arah
Dosennya kayak ngomong sendiri ke layar gitu. Dia juga merasa desperate sebenarnya. Kayaknya aneh, dan ga ada aktif interaksi. Dia gak bisa melihat apa muridnya memperhatikan apa enggak, mengerti apa enggak. Ya sama, murid juga merasa gitu. Mau nanya ya kagok juga motong omongan dosen pas lagi ngomong. Ada sih pilihan raise hand (tunjuk tangan) kalau mau “nyela” tiba-tiba nanya. Tapi tetep we kagok. Bisa juga nanya lewat kolom chat. Tapi ya ngetik kadang males, atau bingung memformulasikan ke tulisan.
Setelah berbulan-bulan ga ke kampus, akhirnya saya berkesempatan juga ngampus lagi. Sekalian ngambil barang yang diperlukan sih. Tapi kan udah di sana mah ya gawe lah sekalian. Kayaknya terakhir ke kampus itu habis lebaran, tapi lupa kapan juga. Sekarang udah boleh ke kampus sekali seminggu, dengan aturan dalam ruangan saya, max cuma boleh 3 orang (seruangan ada 6).
Saya ke kampus dengan bersepeda. Biasalah, kendaraan rakyat, siapa saja punya. Sampai di kampus memang cuma ada saya temui segelintir orang. Salah satunya kawan seruangan saya, seorang post-doc dari Venezuela. Dia termasuk baru di departemen, baru bergabung bulan Juli.
Ternyata saya cukup menikmati space saya di kampus, di office, di room saya. Bisa mengakses kembali desktop tanpa repot harus connect ke sistem citrix, tanpa harus ribet ada waktu diskonek. Saya bisa dengan leluasa bekerja dengan layar yang cukup besar dan internet yang kencang (yah di rumah juga kenceng sih). Padahal saya pikir sebelumnya saya sangat menikmati work from home (wfh) dan mungkin gak ingin balik lagi ngantor.
Ternyata saya juga cukup menikmati interaksi dengan kolega saya, meski saya baru berkenalan dengannya. Ada rasa-rasa kalau saya menikmati percakapan dengan orang baru, tanpa canggung. Dengan bahasa Inggris percakapan yang sudah lama tidak saya pakai. Padahal saya pikir sebelumnya saya gak kehilangan tuh interaksi dengan kolega, haha.. maaf rada ansos.
Ternyata saya juga cukup menikmati kopi dari mesin kopi di departemen. Yang kata orang bilang kopinya rasanya gak enak. Saya memang bukan penikmat kopi sejati, yang tahu kopi mana yang enak dan yang gak enak. Asal bisa memberikan rasa pahit-pahit manis aja udah cukup, dan bikin adrenalin saya cukup terpacu ketika bekerja.
Dan ternyata lebih dari itu, ada hal yang sangat saya rindukan selama hampir 6 bulan wfh ini.
My desk. Standar ketika kerja, ada kopi, ada air putih (itu botol minum lucu dari Kamel, lhoo.. hihi seneng banget ketemu si botol lagi), kertas biasanya berserakan, catatan, pulpen, note, sticky notes.
My room @ UMCG. Empty office
Yang ternyata saya rindukan bukanlah suasana kerja, bukan kolega, bukan space di kantor, tetapi rutinitas naik sepeda ketika pulang dan pergi ke kampus. Waktu-waktu saya di sepeda ternyata begitu berharga. Saya kehilangan hal tersebut.
Ketika di sepeda, biasanya pikiran saya bebas berkelana ke mana saja. Di waktu pulang ke rumah saya kadang memikirkan to do list di rumah, termasuk mikirin mau masak apa nanti kalau sudah sampai rumah. Kadang saya juga merenungkan pembicaraan saya dengan si Ibuk Supervisor setelah meeting. Sementara di waktu berangkat ke kampus biasanya saya memikirkan kerjaan di kantor, eh paper mana yang harus dibaca, manuskrip ini nanti mau ditulis gimana, dst. Kadang saya juga menyiapkan sedikit kalimat yang akan saya lontarkan sebelum meeting dengan si Ibuk nanti. Pikiran saya sepertinya sangat produktif. Sehingga saat sampai di kantor, saya tahu mau apa, dan ketika sampai ke rumah saya juga tahu mau ngapain. Walaupun sampai rumah biasanya perut keroncongan. Selain itu kadang saya juga memikirkan ide tulisan, naskah, dll.. sehingga lahirnya ide-ide juga tak lepas dari momen nyepeda.
Atau kebiasaan lainnya. Biasanya saya memutar playlist di hp saya, yang lagu-lagunya tidak pernah di-update. Saya gak mengikuti perkembangan musik sih, jadi di playlist ya lagunya itu-itu aja. Dan saya tidak pernah merasa bosan, meski ketinggalan zaman. Kalau lagi soleh, biasanya saya memutar murottal, sekalian menghapal, diulang-ulang terus aja beberapa ayat. Kalau lagi ingin siraman kalbu, saya memutar spotify-nya Ustadz Nouman Ali Khan, Adi Hidayat, atau Abdul Somad.
Momen berada di atas sepeda yang hanya berkisar 15 menit menjadi momen berharga bagi saya. Momen komtemplasi yang hanya ada saya dan pikiran saya yang berbicara. Dan itulah yang ternyata saya paling rindukan. Momen rutinitas bersepeda ke kampus.
Bersepeda di Groningen. Sepeda saya, sepeda suami, dan sepeda Runa.
Sepeda kesayanganku. Saya baru ganti sepeda 2x selama di Groningen. Sepeda pertama saya Gazzelle hijau, yang sudah sempoyongan rodanya. Sepeda kedua saya ini hadiah dari suami biar saya semangat menyelesaikan PhD hihi.. Gazelle juga tapi seri Esprit, dengan warna tosca lembut, yang saya bangettss.