Mommy's Abroad

“Dirijek, dirijek, dirijek aja”

Beberapa pekan lalu saya mengerjakan review manuskrip yang disupervisi oleh supevisor saya. Jadi dalam hal ini saya bertindak selaku reviewer yang diamanahi sebuah jurnal untuk mengecek “kepantasan” suatu manuskrip untuk layak terbit atau tidak. Jurnal tersebut lumayan ternama, masih Q1 di area medicine, edpidemiology, dan pharmacology.

Merupakan pengalaman yang menarik, sebab saya harus mengkritisi isi paper tersebut. Biasanya kan saya, sebagai PhD student, yang selalu kena kritik. Tentu ketajaman saya mengkritik masih selow, dibandingkan dengan si Ibuk supervisor. Dia bisa melihat dari sisi depan-belakang-kiri-kanan kekurangan dan kelebihan paper tersebut. Di beberapa tempat, si Ibuk juga sepakat pada poin-poin strong and weakness poin yang saya tuliskan di review. Sebagai reviewer, kita hanya berhak memberikan penilaian, tapi pertimbangan untuk rejection dan acceptance itu dari pihak editor jurnal. Jadi ya serah editornya. Editor akan menimbang dari kesimpulan major and minor concern dari beberapa reviewer yang dia tunjuk.

Baru kemarin ternyata saya diforwardkan email dari editor tersebut, bahwa paper tersebut bernasib malang. Ah sayang sekali paper tersebut kena reject. Padahal saya sangat mengapresiasi kerja keras authors dalam menuangkan risetnya ke paper tersebut. Saya membayangkan juga bagaimana dia bisa menghasilkan paper tersebut dengan banyak results, figures, dan tables. Pasti sang PhD tersebut pontang-panting menyelesaikannya (ngaca sendiri). Selain daripada dia juga menyitasi paper saya, ehem.. saya sebenarnya berharap papernya di-accept oleh jurnal tersebut. Menurut pandangan editor, dari dua reviewers, kesimpulannya ada major points yang harus diselesaikan dan nampaknya untuk sekarang mereka menolak dulu. Continue reading ““Dirijek, dirijek, dirijek aja””

Cerita Runa

Cerita Cacar Runa

Baru-baru ini Runa kena cacar, kira-kira awal Juni ini. Alhamdulillah sekarang udah sehat. Alhamdulillah sakitnya gak lama-lama. Demamnya dan rewelnya 3 hari. Walaupun masih ada cacarnya di hari ke-4 Runa udah aktif seperti biasa. Bekas cacarnya kering dalam seminggu. Banyak hikmah yang bisa diambil dalam kejadian cacarnya Runa ini.

Kalo orang bilang: Lhoo.. ternyata di Belanda ada cacar juga toh? Ehh jangan salah.. Ini justru cacar berantai di Groningen. Yang mulai penularannya dari Desember tahun lalu. Yang satu sembuh terus 3 minggu kemudian ada anak lain jadi korban. Jadi sejarah mata rantainya begini: Kakak Dita kena cacar, setelah sembuh nular ke Kakak Qiya, lalu kakak Qiya nularin ke Keia. Keia jalan-jalan ke Maastricht, nularin ke Daanish. Waktu ada acara Maastrich cup, anak-anak pada nginep di rumah Daanish, ketularanlah Kakak Piya, Kakak Idang, dan Rifat. Mereka kembali ke Groningen membawa bibit-bibit cacar. Mereka pun “diisolasi” oleh ortunya, katanya sih takut anak-anak yang lain ketularan juga. Di sini kan anak-anak sering main bareng. Setelah sekitar seminggu lebih mereka sembuh. Waktu acara GroensCup Kakak Idang dan Kakak Piya juga dateng, mungkin udah bosen juga di rumah terus. Runa juga dateng dong.. bermainlah mereka.. Tadinya sih rada khawatir juga aduh nanti kalo ketularan gimana. Ternyataa.. seminggu setelah “bergaul” dengan Kakak Piya&Kakak Idang, Runa pun ketularan cacar. *panjang ih, bisa jadi subbab paper dengan judul: Sejarah Penularan Cacar pada Anak-anak di Groningen pada Tahun 2015* Continue reading “Cerita Cacar Runa”