Cerita Runa, Cerita Runa dan Senja, Cerita Senja, Mommy's Abroad

Ramadan dan Runa tahun ini

Alhamdulillah kita masih dipertemukan dengan Ramadan tahun ini. Masih ada kesempatan untuk mengumpulkan bekal-bekal pahala yang bertaburan. Masih ada kesempatan untuk memohon ampun untuk dosa-dosa. Padahal dosa selalu nambah aja tiap tahun.

Ramadan ini dimulai dengan suasana mellow. Ya mellow cuacanya (yang sering hujan angin), ya mellow juga perasannya. Ada perasaan, ya Allah pengen saya tu Ramadan lagi di Indonesia, di Bandung, deket keluarga. Udah 7 tahun ya Ramadan di rantau, ternyata ada rasa sedih-sedihnya kerasa sekarang.

Juga tantangan muncul, sebab Runa sudah semakin besar, udah 9 tahun. Sudah harus semakin mengerti Islam, iman, ibadah-ibadah. Bukan maksudnya ngerti gimana banget, tapi ya, terbiasa, dan tahu bahwa ini adalah agama yang jadi pegangan hidup kita sampai mati, yang akan menyelamatkan kita di akhirat nanti. Terus gimana menerapkannya value-value itu pada Runa? Gak gampang, asli. Dulu saya merasa, saya belajar memahami Islam seperti let it flow, semuanya sudah ada, semuanya serba mudah. Itu gak berlaku untuk Runa. Juga untuk saya sebagai orang tua.

Continue reading “Ramadan dan Runa tahun ini”
Cerita Runa, Cerita Runa dan Senja

Permainan Berburu Jam ala Sekolah Runa (Speurtocht naar klokken)

Salah satu yang bikin saya jatuh cinta pada sistem pendidikan di sekolah Runa adalah bagaimana mereka mengajarkan anak-anak bukan hanya sekedar teori dan materi dari papan tulis ataupun dari penjelasan guru, tapi juga melalui PRAKTIK langsung! Meski sederhana, tetapi lebih bisa ‘nempel’ di kepala anak. Nilai plus lainnya, tentu kegiatan praktik langsung ini lebih berkesan. Lain kali saya ingin membahas mengenai kurikulum sekolah Runa yang menganut konsep Jenaplan. Saya pernah membahasnya juga di Buku saya  Groningen Mom’s Journal, part Cerita Runa. Kalau penasaran, boleh segera beli dan baca bukunya (jiyee.. promosii).

Saya selalu mendapatkan update mengenai aktivitas Runa di sekolah melalui portal sekolah. Biasanya ada penjelasan singkat dalam minggu tersebut aktivitas apa saja yang mereka lakukan, kadang ditambah juga foto-foto. Jangan bayangkan kalau foto-foto yang di-upload di portal tersebut adalah foto-foto yang bagus, dengan resolusi tinggi, apalagi dengan edit-touch up sana-sini. Foto-foto yang diambil sederhana saja, -kadang juga blur, anak di mana, fokus kamera di mana- tapi poin yang penting adalah kegiatan tersebut terekam untuk bisa dilaporkan pada orang tua.

Seperti kegiatan di sekolah Runa kali ini. Saya melihat foto-foto dan penjelasan di portal sekolah pada minggu kedua bulan Februari ini. Judulnya kegiatannya speurtocht binnen en buiten school naar klokken atau permainan berburu jam di sekolah dan luar sekolah. Tadinya saya agak bingung, nyari jam buat apaan maksudnya? Setelah saya melihat foto-fotonya baru mengerti.  Jadi mereka berkeliling sekolah untuk mencari jam. Ya, jam, mulai dari jam dinding, jam mainan, jam digital, atau arloji yang dipakai guru/petugas di sekolah. Setelah puas mencari jam di sekitaran sekolah, anak-anak ini melanjutkan petualangan ke lingkungan luar sekolah. Mereka bertemu dengan beberapa orang di jalan, dan melihat kalau orang-orang ternyata memiliki bentuk jam tangan yang berbeda-beda.

Yang paling menarik adalah bagian ketika mereka melihat jam digital di papan jadwal halte bus. Di halte bus ada beberapa penumpang yang sudah menunggu bus datang.  Anak-anak diberi penjelasan bagaimana caranya para penumpang ini bisa mengetahui kapan bus akan tiba di halte tersebut. Ternyata kuncinya ya dengan melihat jam digital yang tertera di papan tersebut, disertai dengan petunjuk berapa lama lagi bus akan datang. Ketika bus datang, supir bus mengira bahwa banyak sekali penumpang anak-anak yang akan naik bus. Guru pun menjelaskan bahwa mereka sedang belajar mengenai “waktu” dan “jam”. Supir bus bilang bahwa ia harus mengendarai bus dengan baik agar bisa memenuhi jadwal yang sudah tersedia. Tentu saja, setiap bus harus sampai di tiap halte on time. Supir bus juga menambahkan bahwa ia sangat bergantung pada jam/arloji untuk memastikan ia mengendarai bus dengan tepat waktu,

Saya ternganga membaca penjelasan singkat mengeai kegiatan mereka. Sederhana namun mengena. Mungkin kegiatan ini tampaknya memang simpel dan seperti main-main. Tapi saya bisa menangkap apa yang hendak mereka sampaikan pada anak-anak. Pertama, tentunya mereka ingin anak-anak mengetahui pentingnya waktu. Kedua, melihat waktu itu bisa dilihat dari mana? Ya dari jam, jam dinding, jam digital, jam tangan. Ketiga, secara tidak langsung mereka juga memancing rasa ingin tahu anak untuk bisa “membaca” waktu. Ini terasa pada Runa lho. Saya baru sadar, Runa beberapa kali bertanya pada saya mengenai waktu dan jam. Misalnya: Berapa menit lagi teman Runa datang ke rumah? (saat pengajian anak diadakan di rumah kami). Sekarang memang sudah jam berapa? (Runa bertanya sambil menunjuk jam dinding rumah). Atau jam berapa nanti kita mau berangkat ke luar? (Saat kami mau pergi keluar, sedang siap-siap, tapi kok belum pergi-pergi juga). Dan yang keempat, menurut saya ini seperti pengajaran halus pada anak-anak mengenai budaya tepat waktu. Maka tidak salah kalau orang-orang Belanda itu dikenal sangat ketat mengenai schedule dan appointment.

Yah, apapun maksud dan tujuan sekolah mengenai permainan berburu jam ini, tapi yang saya tangkap seperti itu. Mungkin ada interpretasi lain?

Jam mainan di salah satu koridor sekolah

Jam dinding yang ada di salah satu aula sekolah

Berburu jam sampai ke halte di dekat sekolah. Sambil menunggu bus datang, mereka mengamati papan petunjuk jadwal bus yang dilengkapi dengan jam digital

Only a Story, Random Things

Obrolan Konyol tentang Pendidikan Runa

Suatu kali saya dan suami terlibat obrolan serius, biasanya banyak becandaan soalnya.

Pembicaraan dimulai dari fenomena pelajar Indonesia di Groningen yang jumlahnya meningkat drastis. Gak cuma yang berbekal beasiswa, tapi juga yang mendapat kucuran dana dari ABF (Ayah Bunda Foundation) alias biaya sendiri. Saya merasakan ternyata orang Indonesia tu sebenernya banyak ya yang kaya, banyak banget yang kuliah di sini pake biaya sendiri, ga cuma yang kuliah S2, yang S1 juga banyaak. Contohnya anak UI yang bisnis itu (katanya) seangkatan sekolah semua di LN, double degree. Biayanya pasti aduhai..

Terus saya tanya sama suami: “Yah kalo nih ya, kalo.. misalnya kita tu orang kayaaa banget, banyak duit, yang duitnya ga berkurang kalo dipake nyekolahin anak ke LN, ayah mau ga Runa disekolahin di LN? Untuk S1 lho ya..” Continue reading “Obrolan Konyol tentang Pendidikan Runa”