Masya Allah ya Ramadan itu, berkahnya luar biasa. Baik yang terasa langsung ataupun tidak. Jadi saya mau curcol dikit nih tentang kejadian yang menurut saya “kok bisa ya?”, yang Masya Allah skenario Allah gak bisa ditebak.
Mungkin yang dulu pernah baca curcolan saya di masa-masa awal PhD, atau yang baca buku The Power of PhD Mama tahu bagaimana struggle-nya saya saat itu. Gak semuanya tentu saya ceritakan. Dan selama tahun-tahun setelahnya, sampai tahun terakhir saya hampir selesai PhD ini (aamiin), Alhamdulillah semuanya baik-baik. Tidak ada drama lebay banget. Kalau rasa capek, frustasi, beban, mah biasa, tapi itu turun naik. Hubungan saya sama si Ibuk pun stabil, gak kayak rollercoaster lagi. Bahkan dia sangat suportif.
Tapi ternyata mungkin hal yang saya pendam dulu kala dan gak sempat tersampaikan itu ada momennya sendiri untuk terkuak. Suara itu menguar bebasnya di udara, tanpa ada percakapan antara saya dan si Ibuk. Tapi dengan perantara, di waktu yang baik.
Setelah berbulan-bulan ga ke kampus, akhirnya saya berkesempatan juga ngampus lagi. Sekalian ngambil barang yang diperlukan sih. Tapi kan udah di sana mah ya gawe lah sekalian. Kayaknya terakhir ke kampus itu habis lebaran, tapi lupa kapan juga. Sekarang udah boleh ke kampus sekali seminggu, dengan aturan dalam ruangan saya, max cuma boleh 3 orang (seruangan ada 6).
Saya ke kampus dengan bersepeda. Biasalah, kendaraan rakyat, siapa saja punya. Sampai di kampus memang cuma ada saya temui segelintir orang. Salah satunya kawan seruangan saya, seorang post-doc dari Venezuela. Dia termasuk baru di departemen, baru bergabung bulan Juli.
Ternyata saya cukup menikmati space saya di kampus, di office, di room saya. Bisa mengakses kembali desktop tanpa repot harus connect ke sistem citrix, tanpa harus ribet ada waktu diskonek. Saya bisa dengan leluasa bekerja dengan layar yang cukup besar dan internet yang kencang (yah di rumah juga kenceng sih). Padahal saya pikir sebelumnya saya sangat menikmati work from home (wfh) dan mungkin gak ingin balik lagi ngantor.
Ternyata saya juga cukup menikmati interaksi dengan kolega saya, meski saya baru berkenalan dengannya. Ada rasa-rasa kalau saya menikmati percakapan dengan orang baru, tanpa canggung. Dengan bahasa Inggris percakapan yang sudah lama tidak saya pakai. Padahal saya pikir sebelumnya saya gak kehilangan tuh interaksi dengan kolega, haha.. maaf rada ansos.
Ternyata saya juga cukup menikmati kopi dari mesin kopi di departemen. Yang kata orang bilang kopinya rasanya gak enak. Saya memang bukan penikmat kopi sejati, yang tahu kopi mana yang enak dan yang gak enak. Asal bisa memberikan rasa pahit-pahit manis aja udah cukup, dan bikin adrenalin saya cukup terpacu ketika bekerja.
Dan ternyata lebih dari itu, ada hal yang sangat saya rindukan selama hampir 6 bulan wfh ini.
My desk. Standar ketika kerja, ada kopi, ada air putih (itu botol minum lucu dari Kamel, lhoo.. hihi seneng banget ketemu si botol lagi), kertas biasanya berserakan, catatan, pulpen, note, sticky notes.
My room @ UMCG. Empty office
Yang ternyata saya rindukan bukanlah suasana kerja, bukan kolega, bukan space di kantor, tetapi rutinitas naik sepeda ketika pulang dan pergi ke kampus. Waktu-waktu saya di sepeda ternyata begitu berharga. Saya kehilangan hal tersebut.
Ketika di sepeda, biasanya pikiran saya bebas berkelana ke mana saja. Di waktu pulang ke rumah saya kadang memikirkan to do list di rumah, termasuk mikirin mau masak apa nanti kalau sudah sampai rumah. Kadang saya juga merenungkan pembicaraan saya dengan si Ibuk Supervisor setelah meeting. Sementara di waktu berangkat ke kampus biasanya saya memikirkan kerjaan di kantor, eh paper mana yang harus dibaca, manuskrip ini nanti mau ditulis gimana, dst. Kadang saya juga menyiapkan sedikit kalimat yang akan saya lontarkan sebelum meeting dengan si Ibuk nanti. Pikiran saya sepertinya sangat produktif. Sehingga saat sampai di kantor, saya tahu mau apa, dan ketika sampai ke rumah saya juga tahu mau ngapain. Walaupun sampai rumah biasanya perut keroncongan. Selain itu kadang saya juga memikirkan ide tulisan, naskah, dll.. sehingga lahirnya ide-ide juga tak lepas dari momen nyepeda.
Atau kebiasaan lainnya. Biasanya saya memutar playlist di hp saya, yang lagu-lagunya tidak pernah di-update. Saya gak mengikuti perkembangan musik sih, jadi di playlist ya lagunya itu-itu aja. Dan saya tidak pernah merasa bosan, meski ketinggalan zaman. Kalau lagi soleh, biasanya saya memutar murottal, sekalian menghapal, diulang-ulang terus aja beberapa ayat. Kalau lagi ingin siraman kalbu, saya memutar spotify-nya Ustadz Nouman Ali Khan, Adi Hidayat, atau Abdul Somad.
Momen berada di atas sepeda yang hanya berkisar 15 menit menjadi momen berharga bagi saya. Momen komtemplasi yang hanya ada saya dan pikiran saya yang berbicara. Dan itulah yang ternyata saya paling rindukan. Momen rutinitas bersepeda ke kampus.
Bersepeda di Groningen. Sepeda saya, sepeda suami, dan sepeda Runa.
Sepeda kesayanganku. Saya baru ganti sepeda 2x selama di Groningen. Sepeda pertama saya Gazzelle hijau, yang sudah sempoyongan rodanya. Sepeda kedua saya ini hadiah dari suami biar saya semangat menyelesaikan PhD hihi.. Gazelle juga tapi seri Esprit, dengan warna tosca lembut, yang saya bangettss.
Beberapa pekan lalu saya mengerjakan review manuskrip yang disupervisi oleh supevisor saya. Jadi dalam hal ini saya bertindak selaku reviewer yang diamanahi sebuah jurnal untuk mengecek “kepantasan” suatu manuskrip untuk layak terbit atau tidak. Jurnal tersebut lumayan ternama, masih Q1 di area medicine, edpidemiology, dan pharmacology.
Merupakan pengalaman yang menarik, sebab saya harus mengkritisi isi paper tersebut. Biasanya kan saya, sebagai PhD student, yang selalu kena kritik. Tentu ketajaman saya mengkritik masih selow, dibandingkan dengan si Ibuk supervisor. Dia bisa melihat dari sisi depan-belakang-kiri-kanan kekurangan dan kelebihan paper tersebut. Di beberapa tempat, si Ibuk juga sepakat pada poin-poin strong and weakness poin yang saya tuliskan di review. Sebagai reviewer, kita hanya berhak memberikan penilaian, tapi pertimbangan untuk rejection dan acceptance itu dari pihak editor jurnal. Jadi ya serah editornya. Editor akan menimbang dari kesimpulan major and minor concern dari beberapa reviewer yang dia tunjuk.
Baru kemarin ternyata saya diforwardkan email dari editor tersebut, bahwa paper tersebut bernasib malang. Ah sayang sekali paper tersebut kena reject. Padahal saya sangat mengapresiasi kerja keras authors dalam menuangkan risetnya ke paper tersebut. Saya membayangkan juga bagaimana dia bisa menghasilkan paper tersebut dengan banyak results, figures, dan tables. Pasti sang PhD tersebut pontang-panting menyelesaikannya (ngaca sendiri). Selain daripada dia juga menyitasi paper saya, ehem.. saya sebenarnya berharap papernya di-accept oleh jurnal tersebut. Menurut pandangan editor, dari dua reviewers, kesimpulannya ada major points yang harus diselesaikan dan nampaknya untuk sekarang mereka menolak dulu. Continue reading ““Dirijek, dirijek, dirijek aja””→