Cerita Runa, Cerita Runa dan Senja

Permainan Berburu Jam ala Sekolah Runa (Speurtocht naar klokken)

Salah satu yang bikin saya jatuh cinta pada sistem pendidikan di sekolah Runa adalah bagaimana mereka mengajarkan anak-anak bukan hanya sekedar teori dan materi dari papan tulis ataupun dari penjelasan guru, tapi juga melalui PRAKTIK langsung! Meski sederhana, tetapi lebih bisa ‘nempel’ di kepala anak. Nilai plus lainnya, tentu kegiatan praktik langsung ini lebih berkesan. Lain kali saya ingin membahas mengenai kurikulum sekolah Runa yang menganut konsep Jenaplan. Saya pernah membahasnya juga di Buku saya  Groningen Mom’s Journal, part Cerita Runa. Kalau penasaran, boleh segera beli dan baca bukunya (jiyee.. promosii).

Saya selalu mendapatkan update mengenai aktivitas Runa di sekolah melalui portal sekolah. Biasanya ada penjelasan singkat dalam minggu tersebut aktivitas apa saja yang mereka lakukan, kadang ditambah juga foto-foto. Jangan bayangkan kalau foto-foto yang di-upload di portal tersebut adalah foto-foto yang bagus, dengan resolusi tinggi, apalagi dengan edit-touch up sana-sini. Foto-foto yang diambil sederhana saja, -kadang juga blur, anak di mana, fokus kamera di mana- tapi poin yang penting adalah kegiatan tersebut terekam untuk bisa dilaporkan pada orang tua.

Seperti kegiatan di sekolah Runa kali ini. Saya melihat foto-foto dan penjelasan di portal sekolah pada minggu kedua bulan Februari ini. Judulnya kegiatannya speurtocht binnen en buiten school naar klokken atau permainan berburu jam di sekolah dan luar sekolah. Tadinya saya agak bingung, nyari jam buat apaan maksudnya? Setelah saya melihat foto-fotonya baru mengerti.  Jadi mereka berkeliling sekolah untuk mencari jam. Ya, jam, mulai dari jam dinding, jam mainan, jam digital, atau arloji yang dipakai guru/petugas di sekolah. Setelah puas mencari jam di sekitaran sekolah, anak-anak ini melanjutkan petualangan ke lingkungan luar sekolah. Mereka bertemu dengan beberapa orang di jalan, dan melihat kalau orang-orang ternyata memiliki bentuk jam tangan yang berbeda-beda.

Yang paling menarik adalah bagian ketika mereka melihat jam digital di papan jadwal halte bus. Di halte bus ada beberapa penumpang yang sudah menunggu bus datang.  Anak-anak diberi penjelasan bagaimana caranya para penumpang ini bisa mengetahui kapan bus akan tiba di halte tersebut. Ternyata kuncinya ya dengan melihat jam digital yang tertera di papan tersebut, disertai dengan petunjuk berapa lama lagi bus akan datang. Ketika bus datang, supir bus mengira bahwa banyak sekali penumpang anak-anak yang akan naik bus. Guru pun menjelaskan bahwa mereka sedang belajar mengenai “waktu” dan “jam”. Supir bus bilang bahwa ia harus mengendarai bus dengan baik agar bisa memenuhi jadwal yang sudah tersedia. Tentu saja, setiap bus harus sampai di tiap halte on time. Supir bus juga menambahkan bahwa ia sangat bergantung pada jam/arloji untuk memastikan ia mengendarai bus dengan tepat waktu,

Saya ternganga membaca penjelasan singkat mengeai kegiatan mereka. Sederhana namun mengena. Mungkin kegiatan ini tampaknya memang simpel dan seperti main-main. Tapi saya bisa menangkap apa yang hendak mereka sampaikan pada anak-anak. Pertama, tentunya mereka ingin anak-anak mengetahui pentingnya waktu. Kedua, melihat waktu itu bisa dilihat dari mana? Ya dari jam, jam dinding, jam digital, jam tangan. Ketiga, secara tidak langsung mereka juga memancing rasa ingin tahu anak untuk bisa “membaca” waktu. Ini terasa pada Runa lho. Saya baru sadar, Runa beberapa kali bertanya pada saya mengenai waktu dan jam. Misalnya: Berapa menit lagi teman Runa datang ke rumah? (saat pengajian anak diadakan di rumah kami). Sekarang memang sudah jam berapa? (Runa bertanya sambil menunjuk jam dinding rumah). Atau jam berapa nanti kita mau berangkat ke luar? (Saat kami mau pergi keluar, sedang siap-siap, tapi kok belum pergi-pergi juga). Dan yang keempat, menurut saya ini seperti pengajaran halus pada anak-anak mengenai budaya tepat waktu. Maka tidak salah kalau orang-orang Belanda itu dikenal sangat ketat mengenai schedule dan appointment.

Yah, apapun maksud dan tujuan sekolah mengenai permainan berburu jam ini, tapi yang saya tangkap seperti itu. Mungkin ada interpretasi lain?

Jam mainan di salah satu koridor sekolah
Jam dinding yang ada di salah satu aula sekolah

Berburu jam sampai ke halte di dekat sekolah. Sambil menunggu bus datang, mereka mengamati papan petunjuk jadwal bus yang dilengkapi dengan jam digital
Being Indonesian in the Netherlands

Me VS Dutch: Scheduling Agenda Appointments (part 2)

Beberapa minggu ini ada hal yang menyentil saya untuk kembali menuliskan mengenai topik ini. Setelah sebelumnya pernah saya ceritakan secara singkat di sini. Dua tahun lebih menetap di Belanda membuat saya semakin banyak disiplin dan latihan mengatur jadwal dan waktu. Terutama jika berhubungan dengan orang lain atau kegiatan yang melibatkan orang lain di dalamnya. Tidak hanya dengan Dutch people juga dengan bangsa sendiri.

Saya dan suami pernah mengalami pengalaman yang agak menggelitik dalam scheduling dengan Dutch ini. Mungkin saya dan suami yang agak sensi, atau memang anggapan Dutch pada Non EU atau Non Dutch atau bahkan pada muslim (saya berjilbab) yang agak meng-underestimate (Mudah-mudahan saja bukan karena alasan ini). Sepengalaman saya sih Dutch itu toleran dan cenderung tidak rasis dan membeda-bedakan. Mungkin saja Kami kurang beruntung bertemu Dutch yang kurang begitu respek.  Continue reading “Me VS Dutch: Scheduling Agenda Appointments (part 2)”

Being Indonesian in the Netherlands

Me and Dutch: Scheduling Agenda Appointments

Ada satu hal esensial yang berubah pada diri saya sejak tinggal di Belanda, yang pastinya lebih esensial dari kebiasaan minum kopi yang meningkat, hehe.. Yang ini agak penting dan menyangkut khalayak orang banyak *lebaay*.

Yaitu: scheduling agenda appointments! Awalnya saya mgerasa biasa aja sih. Soalnya dari dulu saya juga udah punya kebiasaan nulis agenda. Misal hari ini janjian ketemu siapa, besok ada rapat apa, lalu jam sekian harus ke bank dan lanjut ke kantor pos, dan sederet rutinitas lainnya, yang saya catet di buku agenda. Jadi enak aja gitu ngeliat planning dan aktivitas dalam seminggu itu mau ngapain aja.. Hal ini juga membuat saya jadi tetep right on the trackga mencla-mencle kemana-mana. Continue reading “Me and Dutch: Scheduling Agenda Appointments”