Dari Abu Dzar RA diriwayatkan bahwa dia berkata, “Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama diletakkan oleh Allah di muka bumi?” Beliau bersabda, “Al-Masjid Al-Haram”. Abu Dzar bertanya lagi, “Kemudian apa?”. Beliau bersabda, “Kemudian Al-Masjid Al-Aqsha”. Abu Dzar bertanya lagi, “Berapa lama antara keduanya?”. Beliau menjawab, “Empat puluh tahun”.
(H.R. Ahmad dari Abu Dzar)
Kalau ada tempat yang dirindukan oleh seluruh umat muslim di dunia, tentu adalah Masjidil Haram. Berjuta-juta manusia menunaikan ibadah umrah dan haji sepanjang tahun, Masjidil Haram tidak pernah sepi. Betapa tidak, di sebuah hadits Nabi disebutkan bahwa menunaikan salat di Masjidil Haram lebih utama 100 ribu kali daripada salat di masjid lainnya, Masya Allah.
Masjidil Haram sudah mengalami beberapa kali perluasan hingga sekarang ini, mulai dari zaman khalifah Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA sampai pada perluasan yang dilakukan di zaman Raja Abdul Aziz tahun 1955 M dan Raja Fahd tahun 1988 M. Tahun 2016 ketika kami ke sana, Masjidil Haram juga masih dalam proses renovasi. Banyak crane-crane besar dan alat berat yang mengelilingi Masjidil Haram.
Masjidil Haram selalu terbuka sepanjang hari bagi orang-orang yang ingin tawaf, itikaf, dan salat. Apa saja yang termasuk dalam Masjidil Haram? Tentunya Ka’bah, tempat tawaf di sekelilingnya, dan bangunan serta halaman untuk salat. Udara panas di Makkah tidak terasa ketika saya menginjakkan kaki di Masjidil Haram. Lantainya berupa ubin marmer yang dingin, ada AC yang terpasang di setiap sudutnya. Ada juga eskalator untuk naik ke lantai satu dan juga ke lantai atap. Air zam-zam tersedia di tiap lantai.
Tempat tawaf
Ada empat pilihan tempat tawaf di Masjidil Haram: di lantai dasar (yang berdekatan dengan Ka’bah), di lantai 1, lantai, 2, dan lantai atap. Waktu itu saya mencoba tawaf di keempat lokasi tersebut. Kelebihan di lantai dasar adalah tentunya dekat dengan Ka’bah (meski sulit mendekatinya karena arus manusia yang padat) dan jarak tempuh lebih dekat. Kondisi padat terutama terasa di titik-titik tertentu, seperti Hajar Aswad, Multazam, Hijr Ismail, dan Rukun Yamani. Sebab di tempat-tempat tersebut, jamaah berlomba-lomba untuk melakukan amalan-amalan sunah. Kekurangannya, ya itu tadi, padat sekali akan manusia. Kita akan terdesak dari kanan-kiri, depan dan belakang. Selain itu terik matahari lebih terasa karena tidak ada atap yang menaungi.
Sedangkan di lantai 1 dan lantai 2, terasa lebih adem dan tidak padat. Tidak ada sengatan matahari langsung ke kepala. Orang-orang yang memakai kursi roda pun bisa tawaf di sana. Kekurangannya, jarak tempuh menjadi lebih jauh daripada di lantai dasar. Sedangkan di lantai atap kesulitannya adalah panas menyengat (tidak ada atap, tapi kurang tahu apa sekarang sudah ditutup atau tidak). Terlihat juga banyak pengguna kursi roda melakukan tawaf di area itu.
Note: Tidak ada doa khusus untuk tiap putaran tawaf. Ketika tawaf diperbolehkan berbicara, namun hanya mengenai kebaikan dan bukan membicarakan masalah duniawi. Juga diwajibkan menjaga jamaah lain, tidak mendorong dan menyakiti sesama. Continue reading “The Masjidil Haram”