Journey, Life is Beautiful, Lifestyle

Jauh

Jauh/ja·uh/: panjang antaranya (jaraknya); tidak dekat. Begitu menurut paparan dari KBBI mengenai kata jauh.

Pandangan saya terhadap ‘jauh’ mungkin berbeda dengan yang KBBI bilang. Menurut saya jauh adalah panjang antaranya (jaraknya), tetapi relatif menurut individu tertentu. Sepanjang hidup saya selama 27 tahun ini saya sangat familiar dengan yang namanya ‘jauh’. Gimana enggak, setiap tempat tinggal yang saya huni (di beberapa kota) selalu dikomen orang: “jauh banget rumahnya”. Mungkin jauh sudah menjadi mengalir di darah saya (apa siih).

Saya besar di Bandung, sejak kecil saya tinggal di Kopo. Orang bilang Bandung coret. Emang iya sih, perbatasan kota Bandung dan kabupatennya sudah dilewati sama komplek rumah saya. Tapi saya bersekolah SD, SMP, SMA sampai kuliah di kota (ciyeh, berasa desa ke kota), yang jaraknya dari rumah rata-rata lebih dari 10 km. SD di Kebon Kelapa (Sasak Gantung), SMP di Jalan Sumatera, SMA di Jalan Belitung, kuliah di Jalan Ganesa. Makin tinggi pendidikan saya, makin jauh jarak yang harus saya tempuh. Beruntung papa saya sangat sabar, dari mulai SD sampe saya kuliah selaluuuuuuuu nganterin saya dan kakak saya ke sekolah, bahkan kalo sore-sore sempet ya jemputin juga. Jadi berasa betapa baiknya papaku ini huhu.. dan akunya suka bandel, kalo dijemput papa telat suka ngambek, maafkan anakmu papa.

Sudah biasa buat saya jadi bahan bully-an temen-temen. “Idiihh jauh amat rumahnya”, “Bandung coret yah”, “Ogah, ke rumah Monik entar sampe-sampe ke sana bisa-bisa udah ubanan”. Mungkin sebenarnya selain jauhnya juga, macet jadi masalah di perjalanan dari Kopo ke Bandung. Tapi entahlah.. lagi-lagi macet mungkin juga jadi relatif bagi orang Kopo. Kalo jalanan tersendat-sendat orang udah bilang macet, kita masih bilang lancar merayap. Emang saya juga sempet merasa desperate sama rumah kok ya jauh banget. Lalu si mama akan menjawab panjang lebar sejarah kenapa si papa memilih tempat tinggal di sini. “Dulu ini yaa.. pas mama pertama kali ke rumah ini, sepanjang jalan menuju ke sini itu sawaahh aja.. Mama juga mikir, hah mau tinggal di mana ini.” Baiklah mama.. daku menyerah.. Alhamdulillah juga ya punya rumah. Papa sudah mengambil keputusan terbaik menghuni rumah di Kopo.

Continue reading “Jauh”

Being Indonesian in the Netherlands, Groningen's Corner

Mushola

Sudah lazim ketika kita berpindah ke suatu tempat yang baru, maka kita akan sering membanding-bandingkan kondisi di tempat lama dengan tempat baru. Tentunya kita juga merasa rindu dengan tempat kita dulu. Itulah yang juga saya alami setelah 6 bulan berada di sini. Saya membandingkan semua fasilitas dan keteraturan yang ada di Belanda yang tentunya jauh dengan Indonesia. Saya juga merasa geregetan setiap kali mendengar kabar/membaca berita tentang kondisi politik Indonesia yang carut marut, KPK, polri, Jokowi, Jokowi haters, dan apapun deh. Mengetahui sistem kesehatan Indonesia yang masih suka ga jelas, juga bikin miris. Rasa-rasanya ga pengen sama sekali denger berita-berita seperti itu, bikin kesel dan sedih.

Tapi.. tentunya sebagaimanapun buruknya negeri kita, toh kita tetep cinta, mau sampai manapun kita melangkah jauh, pasti akan kembali pulang. Right or wrong is my country.

Ya sudah, kita tinggalkan dulu berita-berita tanah air yang bikin kesel. Setidaknya masih banyak hal yang bikin saya kangen dengan Indonesia, ya keluarga, ya Bandung, ya kulinernya, dan lain-lain. Tapi ada satu hal juga yang ga bisa terganti di sini, fasilitas ibadah, yang simpel aja mushola. Kalau mesjid sih ada di sini, mesjid Turki dan mesjid Maroko, dan termasuk gampang menjangkaunya. Ini yang lebih simple sih, mushola. Mushola adalah suatu tempat, bisa ruangan atau rumah ,yang diperuntukkan bagi muslim melakukan ibadah shalat, mengaji, dll. Di Indonesia kita bisa menemui mushola di mana-mana, di kampus, di perkampungan, di pusat pertokoan, di mall, terminal, satasiun, bandara, dan tempat-tempat umum lainnya, sehingga kita tidak perlu khawatir untuk berpergian dan akan melaksanakan shalat ketika sedang dalam perjalanan dan ketika beraktivitas, pasti ada tempat untuk shalat.

Berbeda dengan di sini, mushala adalah tempat langka. Kalau mau jalan-jalan ke centrum kita sebisa mungkin mencocokan waktu pergi dan jalan-jalan dengan waktu shalat. Jadi mau jalan siang, ya lebih baik setelah zuhur dan pulang sebelum asar, atau pergi pagi dan pulang sebelum waktu zuhur habis. Ya kalau mepet terpaksa deh kita shalat di jalan, bisa di bus, di kursi cafetaria, atau di toko tempat kita sedang belanja (sambil duduk). Begitu juga kalau di kampus, harus bisa mengatur waktu antara kuliah, istirahat, dan shalat. Ga kaya ketika di ITB semua bisa dilakukan sekaligus di salman (makan dan shalat, sekaligus beristirahat).

Ada mushola di kampus saya, di UMCG, satu-satunya musola di lingkungan UMCG (rumah sakit-univ-pusat penelitian yang luaass bgt). Itupun namanya bukan mushola, tapi stilte room atau silent room. Tempat ini ditujukan bukan hanya untuk shalat tapi juga bisa untuk tempat ibadah agama lain. Bukan hanya untuk muslim, kristen, budha, hindu, apa saja bisa melakukan kegiatan peribadatan di sini.

Stilte Room, UMCG, Musola

Continue reading “Mushola”