Dalam hidup ini, setiap manusia pasti berpegang pada suatu values (nilai-nilai) dan prinsip tertentu yang membuat kita dapat mengukur mana yang penting, mana yang prioritas, dan mana yang kita hargai. Secara tidak disadari, values dan prinisip yang kita pegang itu sedikir banyak dipengaruhi oleh upbringing atau pengasuhan kita dari orang tua maupun pengaruh lingkungan. Kadang kita mengikuti saja pattern yang ada, atau menyerap values yang “ditanamkan” orang tua kita.
Setelah beranjak dewasa, berkarir, berkeluarga, dan memiliki anak, kita memegang dan menerapan values yang kita punyai ini. Values yang kita pegang ini akan terejawantahkan pada pilihan-pilihan hidup kita, cara kita berpikir, cara kita memprioritaskan sesuatu, dan apa warna dalam diskusi kita.
Saya sendiri gak pernah sadar apa yang sudah di’implan’ oleh orang tua saya (terutama), serta komunitas dan lingkungan saya. Ketika saat saya berkeluarga dan punya anak, baru kerasa, apa yang saya bicarakan dengan anak-anak, apa yang saya planning dengan keluarga, tak lepas dari values apa yang saya pegang. Saya bersyukur orang tua saya gak mengajarkan bahwa materi itu adalah sesuatu yang paling penting di dunia. Memang orang sering memandang bahwa menjadi mapan, hidup nyaman, punya rumah bagus, mobil bagus, uang banyak, jabatan tinggi, karir cemerlang, bisa keliling dunia jalan-jalan adalah keberhasilan hakiki. Tapi orang tua saya gak pernah menanamkan values tersebut pada anak-anaknya. Saya juga tidak pernah mendengar orang tua saya membicarakan prestise soal harta ketika berbicara pada keluarga, saudara, maupun kawan-kawannya. Wajar, gak diomongkan, karena bukan values itu yang mereka anggap penting. Orang tua saya lebih menanamkan values mengenai pentingnya pendidikan, pentingnya berilmu, pentingnya belajar. Karena melalui jalan tersebut, kita bisa menjadi manusia mulia.
Orang tua saya bukan keturunan ulama atau lulusan pesantren, tetapi Alhamdulillah Allah membimbing keduanya dalam jalanNya. Memang orang tua saya juga dulu mungkin bukan role model pengasuhan anak dengan parenting Islami, yang ngajarin anaknya Al Quran, Sirah Nabawiyah, atau tarbiyah. Qadarullah Allah mengirimkan jalan lain untuk saya bisa tetap ‘eling’ melalui lingkungan sekolah saya, TPA, dan komunitas tarbiyah. Jadi saya gak lost banget.
Sekarang, memang terasa cara kita memilih circle pertemanan kita, ketika berinteraksi dengan orang-orang, akan dipengaruhi values apa yang kita hargai. Saya merasa agak jengah ketika dalam suatu obrolan bersama sekelompok teman/orang yang dibicarakan adalah persoalan, berapa gajimu, apa posisi kamu sekarang di kantor, mobil apa yang kamu punya, gimana isi rumah kamu, ke mana liburan dengan budget mahal kamu. Yah oke, at some point, that’s ok to discuss about those things, but not for flexing. Only for bertukar pengalaman dan informasi aja. Cuma emang batas antara mo sharing dan mo bragging agak tipis yah, haha. Jadi cukup tahu aja values apa yang orang lain pegang semakin banyak interaksi dengan mereka. Bukan berarti jadi ga temen juga, tapi saya juga butuh circle yang se-visi kalau sedang membicarakan hal-hal krusial, seperti planning ke depan, parenting, dan keputusan penting. Obrolan mengenai kematerialistisan cukup menjadi bumbu-bumbu minor aja.
Nah, anggaplah sekarang saya sudah menyadari values dari orang tua ternyata berpengaruh terhadap pola pikir anak ke depannya. Jadinya dong saya dan suami harus berusaha menurunkan values yang sesuai Islam, etika berbudi luhur, dan berorientasi akhirat. Meskipun cara berpikir saya dan suami ada bedanya, dan values yang kita pegang juga berbeda, Alhamdulillah-nya mah values mengenai agama (sebagai pegangan utama) gak berbeda ya. Suami menjadi imam untuk saya dan anak-anak, menumbuhkan semangat ber-iman dan ber-islam dalam keluarga. Untuk values yang lain, yang bukan sebagai major concern tentu pasti ada yang berbeda. Tapi itu bisa dikompromikan.
Sekarang, it’s up to you, friends, to decide what values you consider important to pass on to your generation.
