Being Indonesian in the Netherlands, Groningen's Corner, [GJ] – Groningen’s Journal

Sedekah ke Mana?

Ada dua asumsi yang saya generalisir mengenai orang Londo, berdasarkan ‘katanya’ dan pengalaman sendiri. Satu, orang Londo itu pelit, itungan, teliti kalo soal materi. Bahasa Sundana mah ‘cedit’ atawa ‘kopet’, bahasa Minangnya ‘sampilik’ atau ‘pancekè’ (bukan pancake yah Siss, haha). Sebagai org Indonesa, kita biasa berbagi, biasa nrimo aja ‘ya udah ikhlasin’ nanti Allah ganti. Jadi ketika berinteraksi dengan orang Londo, ketelitian mereka ini rasanya keitung pelit.

Kedua, kayanya ni yaa mereka kurang peka sama orang lain yg kesulitan dan kekurangan, yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dan kayanya lagi mereka ini gak paham konsep sedekah. Ya gimana kan jarang banget lihat fakir miskin, anak terlantar, dan orang susah di kehidupan sehari-hari. Ada sih program donasi-donasi gitu, tapi ribet aja, mau donasi harus subscribe untuk berapa bulan misalnya dan harus isi data-data dll. Saya juga mikir, mau sedekah di sini, siapa yang mau nerima? Sedekah yang gampang ya misalnya. Kayak kalau di Indo, kita biasa peka, liat anak jalanan dan pengemis jadi tergerak untuk sedekah, lihat mamang jualan kesusahan, ikut ngelarisin. Akhirnya saya juga kalau mau sedekah ya difokusin aja buat ngirim ke badan amal di Indonesia, yang sudah terpercaya, atau nitip ke Mama dan Ibu untuk dikasihin ke orang-orang sekitar yang butuh. Rasanya lebih tetap sasaran aja. Saya mikir, orang Londo ini nerima gaji tiap bulan, bahkan yang udah pensiun dan pengangguran juga tetep ada tunjangan. Tapi mereka sedekah gak ya?

Continue reading “Sedekah ke Mana?”
Just Learning

Yasir Qadhi’s Lecture in Amsterdam – Life Lessons from Rasulullah SAW

Alhamdulillah Hari Minggu, 21 Mei 2023, kami sekeluarga berkesempatan untuk mengikuti kuliah Ustadz Yasir Qadhi di Amsterdam. Biasanya kami sering mendengarkan ceramahnya di Youtube maupun Podcast. Bisa mendengarkan ceramahnya secara live memang rasanya beda. Kayak lebih nanclep aja gitu.

Kami ikut di sesi pertama, dengan tema Practical Life Lessons from the chronicles of the Prophet Muhammad (saw): Dealing with Stress, Grief, Depression & Challenges in Life

Cocok banget buat kita-kita yang merasa hidup tuh kok berat. Gimana sih biar bisa survive? Allah maunya kita gimana sih sama hidup kita? Tema yang sederhana tapi sangat relevan untuk kita, yang banyak ngeluh wae, banyak drama, dan minim syukur. Ustadz Yasir Qadhi menjabarkan 5 poin penting yang bisa kita pelajari dari kehidupan Rasulullah SAW. Bagaimana Rasulullah deal with problem in life.

1. Life is not gonna be easy

Pertma kita harus memahami konsep hidup ini. Hidup memang gak mudah. Pain, trials, and struggle semuanya datang dari Allah. Mau kita orang Islam atau bukan, orang beriman atau tidak, orang baik atau jahat, pasti semuanya akan merasakan yang namanya kesulitan.

If you are a good person, it doesn’t mean you will have a good life. Salah kalau kita pikir orang beriman gak akan diuji dengan kesulitan. Coba orang paling soleh di dunia siapa? Rasulullah SAW. Lihatlah kehidupan beliau yang penuh onak dan duri. Lahir sebagai anak yatim, lalu disusul ditinggal ibunya di usia 6 tahun, hidupnya bersama Kakek dan Pamannya. Bekerja keras sebagai penggembala dan pedagang. Anak-anak lelakinya meninggal saat masih kecil. Ketika diangkat menjadi Nabi banyak tantangan hidup beliau hadapi, mulai dari penghinaan, ancaman, kemiskinan, kebencian, pengucilan, segala rupa. Belum lagi berbagai perang yang dijalani Rasulullah SAW, yang menyebabkan beliau terluka parah, sampai hampir kehilangan nyawa.

Rasulullah SAW was someone who got tested the most. When Allah loves somebody, He will test him/her.

Jadi gini, dalam hidup, apa sih yang bisa kita lakukan untuk bisa masuk surga? Seminimnya ya melakukan kewajiban muslim, seperti solat, membaca Al Qur’an, menjauhi larangan Allah. Itu bare minimum. Tapi gimana biar kita bisa dapat A+++? Bisa melalui bonus point. Nah, bonus point ini dapat diraih dari difficulties we face in our life. Bagaimana kita bisa melewati ujian-ujian tersebut. Ketika kita mendapatkan ujian dan kesulitan dalam hidup, ingatlah bahwa: Allah sedang memberikan kita kesempatan to earn the bonus point.

Oiya, tapi tentunya kita juga tidak dianjurkan untuk meminta kesulitan datang. Kita bahkan diminta untuk berdoa agar dihindarkan dari musibah: Allahumma inni as’alukal-‘afwa wal-‘afiyah fid-dunya wal-akhirah. O Allah, I ask You for forgiveness and well-being in this world and in the Hereafter.

‘Afiyah –> absence from test

Kenapa kita minta dihindarkan dari ujian? Sebab kita tidak tahu apakah kita bisa melewati ujian tersebut. Tetapi ketika kita diberikan ujian tersebut, Allah pasti tahu bahwa kita pasti bisa melalui ujian tersebut. Kan Allah tidak pernah salah ngasih soal ujian ke hambaNya. Artinya Allah percaya akan kemampuan kita, walaupun kita sendiri suka gak yakin.

Hal kedua yang harus diingat ketika kita mendapatkan ujian: Allah memberikan kesempatan kedua kepada kita saat mengirimkan musibah ini, agar kita dapat mengintrospeksi diri kita, we can re-assess our life. Apa yang salah, apa yang bisa kita perbaiki. Ini akan membuat kita semakin aware akan keberadaan Allah.

Lalu gimana selanjutnya? Saat kita mendapatkan musibah, kita harus yakin bahwa Allah sama sekali tidak meninggalkanmu. Ad Dhuha: 3, “Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu”.

Continue reading “Yasir Qadhi’s Lecture in Amsterdam – Life Lessons from Rasulullah SAW”
Being a Student Mom, Mom's School stuff, Mommy's Abroad, [GJ] – Groningen’s Journal

Preparation and execution PhD Defence

Entah sudah berapa kali saya melihat defence (sidang) mahasiswa S3 di Groningen. Bahkan auditorium di academic gebouw (academic building) dengan mural the Tree of Knowledge yang terbentang di dinding utama tampak terasa familiar. Entah apa arti mural itu saya juga tidak tahu. Dominasi warna biru dan krem serta tokoh-tokoh di dalamnya kadang membuat bulu roma bergidik, mana rada porno pula hwhwh. Mimbar kayu di depan mural itu menjadi simbol panggung akademia. Ruangan terluas di academic building ini memang memberikan impresi berbeda ketika kita masuk ke dalamnya.

Menghadap mural besar itu, kursi-kursi penonton berjajar di depannya, untuk menyimak diskusi ilmiah antara sang promovendus (PhD Candidate) dengan para opponent, yaitu profesor dan doktor yang mumpuni di bidangnya. Semua mata akan tertuju pada kursi dan meja kecil di depan hadirin yang disediakan untuk PhD candidate.

Huwaahh terasa sangat menegangkan? Jangankan yang duduk di kursi panas PhD, yang menonton aja sering terbawa tegang ketika mengikuti sidang terbuka PhD ini. Sering sih membayangkan bagaimana rasanya duduk di kursi panas itu, ketika saya menyaksikan sidang PhD, ‘Duh ntar giliran saya kek apa yaa.’ Ngebayanginnya aja kadang suka bikin hati saya mencelos tajam. Dan sungguh rasanya berbeda ketika sudah mendapatkan tanggal untuk defence dengan sekedar membayangkannya.

Karena saya ingin merekam momen-momen bagaimana menuju hari H (biar pembaca ikut merasa tegang, haha), jadilah curcolan ini saya tuliskan. Bahwa hari itu adalah untuk dikenang, tapi tidak untuk diulang. Seperti akad nikah ya, cukup sekali saja seumur hidup.

Tanggal defence saya, sudah tertulis di lauhul mahfudz, Senin, 20 Februari 2023, pukul 11.00 CET

Sekitar H-3 bulan sebelum defence

Sudah menghubungi publisher untuk printing dan design untuk buku thesis. Proses perjalanan ‘melahirkan’ buku thesis saya bisa di baca di sini: The Journey of My PhD Thesis Book. Saran saya kalau bisa sesegera mungkin menghubungi dan berkorespondensi dengan publisher. Walaupun jangka waktu tiga bulan sebenernya pas aja, tapi who knows, ada kendala tidak terduga atau kepotong libur. Seperti saya kepotong libur natal dan tahun baru. Si Publisher gak libur sih, at least designer-nya. Jadi, setelah submit thesis ke Hora Finita, segeralah ancer-ancer untuk mengontak publisher. Ada banyak kan pilihan publisher, jadi pemilihan publisher kalau bisa udah dari sebelumnya malah. Lihat dari segi servis, harga, dan testimoni pengguna sebelumnya.

Saya masih inget sempat kontak-kontak sama designer layout-nya intens pas lagi jalan-jalan sama suami di Malioboro Yogya, kurang romantis apa coba? Haha.

Continue reading “Preparation and execution PhD Defence”
Cerita Runa, Cerita Runa dan Senja, Cerita Senja, Children in the Netherlands

Yang Unik Mengenai Kebiasaan Anak di Sekolah Belanda (2) (untuk orang tua)

Lanjut ya Bun mengenai kebiasaan anak di sekolah Belanda. Biar gak bosen kepanjangan, jadinya saya bikin dua part. Baca mengenai part 1 di sini: https://monikaoktora.com/2023/03/30/yang-unik-mengenai-kebiasaan-anak-di-sekolah-belanda-1/.

Kalau sebelumnya saya cerita tentang gimana anak-anak ini bergaul dan berteman, sekarang saya akan cerita mengenai apa-apa yang biasa dilakukan di lingkungan sekolah, tapi ini info yang lebih melibatkan orang tuanya. Mungkin bukan soal kebiasaan aja, tapi juga soal teknis.

School portal

Komunikasi antara sekolah dan orang tua dilakukan melalui portal sekolah, melalui website atau melalui aplikasi yang bisa diunduh di hape. Nama portal-nya mijnschool.nl (kayaknya ini terorganisir untuk kebanyakan sekolah di Belanda). Info yang biasanya bisa diakses adalah pengumuman kegiatan di sekolah, info-info, agenda sekolah, dokumen-dokumen penting (seperti formulir untuk izin), juga suka ada foto-foto kegiatan anak di sekolah yang di-share, khusus bisa diakses untuk anak kita aja. Oiya untuk bikin janji pertemuan orang tua-guru (oudergespreek) juga di-arrange melalui portal ini (mengenai oudergespreek saya jelaskan di bawah).

Portal atau aplikasi ini cukup efektif untuk komunikasi. Cuma kita harus update aja dengan menyalakan notifikasi kalau ada pesan atau informasi baru yang diposting di portal sekolah. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Tentunya portal sekolah ini dalam bahasa Belanda, jadi kadang kalau gak ngerti ya udah google translate to the rescue.

Aplikasi School portal di hape
Continue reading “Yang Unik Mengenai Kebiasaan Anak di Sekolah Belanda (2) (untuk orang tua)”
Cerita Runa, Cerita Runa dan Senja, Cerita Senja, Children in the Netherlands

Yang Unik Mengenai Kebiasaan Anak di Sekolah Belanda (1)

Haloo Bunda… mau lanjut lagi nih topik mengenai upbringing children in the Netherlands from my Indonesian’s emak-emak prespective. Selalu seru untuk dituliskan, dan menurut saya penting juga, supaya emak-emak lain, baik yang di Indonesia maupun yang di Belanda bisa mengambil hikmah dan pengalaman yang saya ceritakan di sini.

Baca postingan-postingan sebelumnya di kategori ini: Children in the Netherlands.

Kali ini saya mau membahas mengenai hal-hal unik di lingkungan pergaulan dan sekolah anak di Belanda. Kenapa unik? Karena biasanya beda dari yang biasa ditemukan di Indo, atau beda dari pengalaman masa kecil saya dulu (hyaelayah.. kamu masa kecilnya udah berapa abad yang lalu kali Monik, haha).

Waktu baru-baru masuk ke lingkungan sekolah Belanda, yaitu waktu Runa menginjak usia 4 tahun, banyak hal-hal baruyang saya temukan di lingkungan sekolah dan pertemanan anak. Semakin lama, jadi lebih ngerti, dan menambah perspektif baru juga. Apalagi Runa juga semakin besar, dan sekarang di grup 6, ditambah Senja pun masuk basisschool juga di usia 4 tahun.

Healthy lunch

Di sekolah Belanda, anak HARUS bawa bekal, soalnya gak ada warung, jajanan, apalagi mamang gerobak yang jualan di sekolahan, wkwkwk. Bekalnya terdiri dari dua jenis biasanya, karena istirahatnya juga dua kali. Istirahat pertama sekitar jam 10. Anak-anak disarankan (lebih ke harus sih) untuk membawa buah, bisa pisang, apel, pir, jeruk, anggur, dll. Asal gak durian aja sih, haha. Selain mahal dan cuma dijual dalam bentuk frozen, itu gak lazim juga, wkwk. Kalau anak-anak Londo biasanya bawa apel tu satu buah aja gitu, gak dipotong apalagi kulitnya dikupas. Tapi karena Runa dulu susah makan buah, jadinya apel dan pir selalu dikupas dan dipotong, biar tinggal disodok pake garpu. Alhamdulillah Senja lebih mudah makan buah, jadi dikasih apa aja mau dimakan. Kalau bawa pisang biasanya anak-anak pake wadah khusus bentuk pisang biar gak benyek atau menghitam.

Continue reading “Yang Unik Mengenai Kebiasaan Anak di Sekolah Belanda (1)”
Catatan Hati, Mumbling

Kenapa dengan Introvert?

Belakangan ini saya sering melihat postingan mengenai introvert. Mungkin hal ini muncul setelah pandemi melanda. Adanya masa-masa lock down sepertinya malah melegitimasi keberadaan dan watak para introvert. Jadi para introvert malah merasa merdeka ketika ada masa-masa gak boleh kemana-mana dan minim interaksi di dunia nyata. Kalau di dunia maya mah ya lanjut aja, da ga terbatas. Malah saya juga gak sengaja nemu ada akun instagram yang membahas dan membuat postingan dan reels mengenai sifat dan tingkah laku introvert secara khusus. Misalnya orang introvert itu kalau habis ngumpul-ngumpul, mereka merasa drained atau capek banget karena energinya dipakai semua untuk berinteraksi. Atau fakta bahwa orang introvert memiliki circle pertemanan yang sedikit tapi erat, mereka sangat effort untuk menjalin hubungan dengan orang baru. Which is gapapa sih, namanya juga postingan.

Saya iseng aja nih search di instagram mengenai akun atau hastag introvert dan extrovert. Lucunya, saya banyak menemukan akun dan postingan mengenai introvert, misal ada akun ‘thefunnyintervert’, ‘introvertgaul’, ‘interovertcasual’, etc, yang isinya tentang itu tadi. Tapi berbeda ketika saya search dengan kata extrovert, akun setipe itu gak lebih banyak.

Continue reading “Kenapa dengan Introvert?”
Being a Student Mom, Mom's School stuff

The Paranymphs (part 2)

Dulu saya pernah cerita mengenai pengalaman saya menjadi paranim di sidang S3/defense sahabat saya, Sofa, Oktober 2020. Di postingan tersebut saya cerita mengenai the role of paranymph di defense. Mendekati akhir tahun 2022, saya juga menjadi paranim di defense Mbak Afifah (yang menjadi tandem saya di defense-nya Sofa). Mbak Afifah melangsungkan defense secara hybrid, karena Mbak Afifah ada di Jember, Indonesia, dan beberapa pengujinya/oponen secara fisik dan online. Yang hadir langsung di ruangan defense di antaranya supervisornya, beberapa oponen yang berasal dari University of Groningen, dan rector maginificus sebagai moderator/pemimpin upacara. Ternyata dua paranim juga tentu diharapkan datang secara offline. Jadilah saya dan Mas Rifqi datang ke aula academic building, menjalankan tugas sebagai paranim.

Kali ini saat defense saya tiba, saya pun sudah ancer-ancer untuk “melamar” paranim yang secara tulus dan ikhlas mau membantu saya dalam dari urusan tetek-bengek sampai urusan penting soal defense. Paranim seharusnya adalah seseorang yang bisa membuat kita nyaman dan tenang di situasi genting, seperti persiapan ini-itu, sebelum dan di saat hari-H defense. Someone that we can rely on. Pertimbangan lain dalam memilih paranim adalah akan lebih baik jika ia adalah kolega di departemen yang sama agar ia sudah familiar dengan kolega lainnya (penting untuk urusan korespondensi, mock defence, undangan, dll). Selanjutnya kalu untuk preferensi saya, akan lebih baik kalau paranim adalah orang Indonesia juga, mwahaha. Bukannya saya tuh pilih-pilih teman atau gak mau bergaul dengan orang non-Indonesia. Tapi saya merasa lebih nyaman dan ekspresif aja ketika paranim memiliki “latar belakang” yang sama dengan saya. Pas panik dan rempong ngomong enggres kadang ga dapet aja sih feel-nya, haha. Namanya juga bahasa ibu yang paling nyaman, seperti pelukan ibu.

Continue reading “The Paranymphs (part 2)”
Being a Student Mom, Mom's School stuff

PhD Defense in the Netherlands

PhD Defense adalah bagian terujung dari perjalanan PhD di Belanda. Katanya sih hal paling menegangkan sekaligus mengharukan. Walaupun katanya lagi bukan bagian tersulit dari studi PhD. Kenapa? Defense lebih pada seremonial pengukuhan saja, yang didahului oleh serangkaian diskusi antara opponent (penguji) dan promovendus. Oponen yang hadir merupakan reading committe yang menentukan buku thesis si promovendus layak “terbit”, dan profesor/doktor di bidang terkait penelitian di buku thesis. Diskusinya secara umum bukan debat atau bantah-bantahan, ngotot-ngototan. Tapi lebih pada bertukar ide, menanyakan pendapat, mengonfirmasi. Sebelum bertanya bahkan para oponen dengan sangat sopan memuji dan memberi selamat pada promovendus atas buku thesisnya, kerja kerasnya, tak lupa menyelamati promotor/supervisornya juga.

Continue reading “PhD Defense in the Netherlands”
Being a Student Mom, Mom's School stuff

The Journey of My PhD Thesis Book

Yang membuat PhD thesis book di Belanda menjadi sesuatu yang personal adalah adanya kebebasan yang diberikan univeritas pada para PhD untuk mendesain sendiri buku thesisnya. Tentunya content yang paling penting, sebab tidak akan ada buku thesis ini jika isi di dalamnya tidak diapprove oleh reading committe. Setelah supervisors/promotors memberikan lampu hijau pada PhD untuk submit sebenarnya hilal kelulusan sudah hampir terlihat. Tahap berikut setelah submit ke sistem Hora Finita adalah pemeriksaan dari reading committe yang biasanya terdiri dari tiga orang. Siapakah reading committe? Mereka adalah profesor yang merupakan ahli di bidang penelitian kita. Tidak mesti sama persis dengan bidang kita, tetapi ada field mereka yang beririsan dengan penelitian kita. Contohnya reading committe yang memeriksa thesis saya antara lain: profesor/dokter dengan penelitian di bidang diabetes tipe 2, profesor di bidang epidemiologi, dan profesior/internis di bidang geriatrik/multimorbid.

Kembali pada bahasan PhD Thesis Book yang unik ini. I do feel that this thesis book is really personal to me. So, I really think about the cover and the layout inside. Saya masih ingat dulu buku skripsi S1 saya yang dijilid berwarna hijau telur asin. Semuanya seragam, hampir tiada beda. Yang membedakan mungkin dari segi ketebalannya saja. Thesis S2/master saya di Groningen bahkan tidak berbentuk buku, “hanya” berupa dua buah research report dari dua penelitian berbeda.

Lain dengan PhD Thesis Book di Belanda yang sangat bervariasi cover dan desainnya. Ketika saya melihat ada cahaya untuk submit thesis di depan mata, saya mulai memikirkan bagaimana rupa buku thesis saya ini, seperti apa ilustrasi utamanya, bagaimana ilustrasi itu menggambarkan isi thesis saya, warna apa yang menonjol, dan yang penting juga siapa yang akan mendesain ini semua?

Continue reading “The Journey of My PhD Thesis Book”
Being a Student Mom, Mom's School stuff

Propositions [stellingen]

“The propositions should be scientific, not religious, and should be defensible scientifically.  I suggest you change both 8-9 into one scientific proposition outside your work.” (EH, my second promotor).

Itu jawaban supervisor kedua saya ketika saya mengajukan propositions (atau dalam bahasa Belandanya stellingen) padanya. Memang propositions itu apa pentingnya? Dan gimana pengaruhnya sih dalam kelulusan seorang PhD?

Penting, sebab propositions adalah salah satu syarat kelengkapan kelulusan PhD sebelum defence. As a PhD in the Netherlands, along with your thesis you have to prepare and defend a few–usually 8 to 10–propositions.

Seperti yang dijawab oleh supervisor saya di atas, propositions are statements that are “opposable and defendable” and also should cover your research topic in the thesis book. Biasanya di urutan awal propositions berupa pernyataan dari chapters yang ada di buku thesis. Lalu, beberapa poin terakhir mengenai topik yang lebih umum, which can resonate or be relatable with everybody outside the research topic. This point can reflect your personality, concern about a specific topic, or what matter to you.

A bit tricky to write propositions, though it seems simple. Beberapa kawan PhD saya bahkan sudah “menabung” propositions dari tahun pertama PhD. Saya? Jangan tanya, saya mah bahkan bertanyea-tanyea, akankah saya mencapai masa dalam menulis propositions? Sering saya terpikir di tengah jalan, di tahun kedua, ketiga, dan keempat PhD saya, ah saya akan menulis ini dan itu. Tapi akhirnya tak ada satupun kalimat propositions yang saya siapkan. Saat itu saya lebih fokus pada membereskan semua riset untuk ditulis di buku thesis dan melakukan submission ke jurnal. Jadi, propositions baru saya tulis sekitar 4 bulan sebelum saya defense, wakwawww.. Itupun ketika diingatkan otomatis oleh sistem monitoring PhD, si ‘Hora Finita’.

Tadinya saya pikir, ah okelah gampang nulis propositions dari chapters thesis, ambil aja secuplik kalimat conclusion atau future prespective dari chapter tersebut, selesai. Lalu sisanya aya berencana mengambil dua poin propositions dari ayat suci Al-Qur’an dan hadits sebagai refleksi PhD journey saya. Tentu saya punya ayat dan hadits favorit yang membuat saya yakin (meski suka pesimis). Statements 1-6 saya ambil dari tiap chapters, statements nomor 7 adalah pandangan/argumen saya untuk topik penelitian saya (yaitu deprescribing) ketika diimplementasikan di Indonesia. Statements nomor 8-9 adalah ayat/hadits favorit tadi.

Eng ing eng, ketika saya ajukan ke supervisor pertama dan kedua, tentunya banyak komen dan perbaikan. Kata Si Ibuk spv tercintah: statements are also not a summary of your findings. Instead, they are based on your findings and should be defendable using your findings when you say (this thesis). I have now rephrased most of them, but feel free to adapt according to what you want to state.

Propositions eike ternyata kena banyak revisi! Karena saya agak ‘menggampangkan’ tadi. Yang saya pikir sebelumnya propositions adalah secuplik kesimpulan dari penelitian. Namun ternyata kita harus agak kritis untuk mencari celah ‘kontroversi’ dari simpulan tadi yang kemudian bisa jadi bahan diskusi saat defense. Akhirnya saya baca baik-baik suggestion dari supervisor pertama saya dan saya perbaiki. Saat itu ia tidak banyak komentar mengenai statements berupa ayat Al Qur’an dan hadits yang saya simpan di nomor 8 dan 9. Supervisor kedua saya yang lalu memberikan komentar pada statements 8 dan 9.

Yang saya tulis adalah:

Whosoever takes a path in search of knowledge, Allah will make easy for him/her a path to Heaven (hadith; HR: Muslim).

Hasbunallah wa ni’mal-wakil. Allah is sufficient, and He is the best disposer of all affairs.

Kedua itu yang menjadi pegangan saya ketika goyah menjalani PhD path ini. Supervisor kedua saya ternyata concern terhadap pernyataan yang saya ajukan di atas. Sebenernya saya sudah beberapa kali mendengar kalau beliau ini against ketika ada PhD yang memberikan statements berupa religious view seperti ayat Al Qur’an. Tapi saking favoritnya kedua ayat/hadits di atas, jadi saya coba aja. Ternyata emang ditolak. Tentunya saya harus nurut dong yaa. Ngeyel mah bisi ntar gak jadi dilulusin kan. Walaupun pernyataan Si Bapak spv saya ini make sense sih. Dengan rendah hati, saya menjawab: I agree with you, it’s true that religion view shouldn’t be debatable. Memang ayat Qur’an bukan sesuatu untuk diperdebatkan karena itu bukan kontroversi.

Akhirnya saya mencari pernyataan yang lebih general untuk bisa saya masukkan ke dalam propositions. Saya ingin tetap memberikan pandangan bahwa Islam adalah agama yang mementingkan ilmu dan pendidikan. Bahkan banyak scholar dari ratusan abad lalu merupakan muslim. Cendekiawan dan penemu yang hasil karyanya dan penelitiannya kita gunakan saat ini merupakan seseorang dengan Islam yang kuat. Yang kedua, saya mencari sebuah statement yang “saya banget”. Apa sih yang menggambarkan PhD journey saya yang penuh liku, tapi kemudian bisa saya lewati juga? Akhirnya jadilah dua statements di bawah yang saya ajukan.

Alhamdulillah akhirnya kesembilan statements yang saya ajukan diapproved: The propositions submitted by you have been judged to be defensible by your supervisors. Kata Hora Finita.

So, saran saya, sebenarnya bagus juga untuk menabung beberapa statements untuk propositions PhD thesis.

  1. Bisa membuat lebih percaya diri dan visioner, bahwa we shall overcome this PhD journey. Gak kayak saya yang punya penyakit pesimis-an,
  2. Bisa membuat lebih mengenal penelitian kita dan mencari celah kontroversi yang menarik untuk didiskusikan
  3. Bisa menjadi bahan refleksi dalam perjalanan ini….. Agar kita menjadi manusia yang lebih bijak (hasek)

Berikut propositions saya:

Oiya, ketika menjelang defense, saya mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan kalau propositions saya ini akan ditanya oleh para oponen. Kadang oponen senang membuka diskusi dengan menanyakan apa maksud dari statement yang kita tulis. Misalnya oponen akan meminta salah satu dari paranim untuk membacakan salah satu statement. Kemudian mereka akan bertanya, “Can you elaborate more of what you state there?” Dari kemungkinan tersebut, saya merangkai jawaban dari setiap statement yang saya maksud: ini merujuk ke chapter berapa, dan apa data/result pendukung pernyataan sata itu. Dengan begitu, saya lebih agak pede menuju persiapan defense.

Begitulaah, sekian dulu. Saya akan post reli mengenai PhD journey in Netherlands. Supaya ada gambaran bagi yang penasaran gimana sihhh S3 di Londo.

Doei!