Literatur, Review dan Resensi Buku

Medium Ugly – Adhitya Mulya (book review)


Ini diaaa.. yang lama kucari-cari. Baca Medium Ugly ini serasa memuaskan dahaga masa muda waktu zamannya membaca novel Jomblo dan Gege Mengejar Cinta, plus novel Test Pack dan Kok Putusin Gue, dua buku karya istrinya Kang Adhit, Ninit Yunita.

Buku-buku itu saya baca di zaman SMA, minjem di Pitimoss, perpustakaan deket SMA 3. Lalu buku Jomblo saya baca ulang ketika ceritanya diangkat ke layar bioskop. Gaya cerita Kang Adhit dan Teh Ninit senada, kocak, absurd, konyol, tapi tetap natural dalam kegaringannya. Tentu buku Kang Adhit yang lain, Sabtu bersama Bapak juga jadi favorit, tapi dengan aura cerita yang lebih serius dan dewasa.

Membaca Medium Ugly ini benar-benar membuat flash back ke masa-masa saya membaca karya Kang Adhit yang dulu, sekaligus kilas balik ke masa-masa kuliah, ketika saya jadi mahasiswi jurusan Farmasi di Universitas Negeri Bandung (UNB). Jadi gak salah kalau Medium Ugly ini dibilang Kang Adhit sebagai spin off dari novel Jomblo. Dua-duanya sama-sama komedi cinta, tentang mahasiswa jomblo, yang mencari cinta sekaligus dibumbui lika-liku kehidupan semasa kuliah. Bedanya di Jomblo, si tokoh utama, Agus Gurniwa, dan geng jomblonya, bisa dibilang lebih “bandel” karena ceritanya mereka emang nyari pacar, ngejer-ngejer cewe, sampai ada ikutan dugemnya mahasiswa juga. Mana gaya pacarannya juga eheumm, tidak boleh yaa. Sementara si tokoh utama di Medium Ugly, Jaka Gurniwa, alias ponakannya Agus, lebih seperti kaum marginal kampus. Ya cupu, bisa dibilang gak good looking (makanya namanya medium ugly) kepintaran biasa aja, dan secara materi juga pas-pasan. Hidupnya lebih struggle lah, karena Jaka ini anak yatim piatu yang dirawat sama bibinya, Bi Guti. Untungnya Jaka punya sahabat karib—yang sama cupunya, cuma dia lebih encer otaknya—bernama Oded, yang setia menemani hari-harinya di kampus dan mendengar curhatannya.

–maap bagian ini agak spolier, skip aja sampai bawah kalau gak mau bocor–

Jaka—seperti juga Agus—adalah mahasiswa teknik sipil di UNB. Dalam perjalanannya di kampus, ia berusaha mencari pacar, mulai dari teman sekelasnya di jurusan, mahasiswi di jurusan lain yang gak sengaja kenalan di masjid Salman (ini anak farmasi, haha.. kerasa ya aura anak farmasi solehah gini), mahasiswi cantik jurusan biologi yang juga gak sengaja ketemu karena kecelakaan, sampai kakak dari murid les privatenya (yang keluarganya kaya raya). Namun, setiap usaha dan PDKT-nya berujung gagal karena berbagai macam alasan. Entah karena ia kurang pintarlah, IPK-nya kurang memuaskan, bahasa Inggrisnya payah, penampilan Jaka yang gak menariklah, bukan dari keluarga tajirlah, sampai pada bacaan Al Fatihah Jaka yang tidak mutqin (ini yang menurutku paling penting sih untuk jadi kriteria suami, haha, dan yang nolak Jaka gara-gara ini anak farmasi, wkwk).

Salutnya Jaka ini pantang menyerah. Iya dia sedih ketika ditolak dan dikasih alasan yang jleb dan pedas ketika ditolak sang cewe. Tapi Jaka bukannya baper malah ia menjadikan setiap penolakan menjadi bahan bakar untuk perbaikan dirinya. Tadinya yang awalnya ia memperbaiki diri demi merasakan cinta dan mendapatkan pacar, lama-kelamaan ia malah menemukan jati dirinya, membuat ia menjadi seseorang yang tangguh dan mau berjuang dan belajar untuk perbaikan diri sendiri. Urusan jodoh… ternyata pada akhirnya ia mendapatkannya juga. Seseorang yang melihatnya bukan karena fisik menarik, kemapanan secara materi, atau karir yang menjanjikan, tetapi karena kebaikan dan ketulusan hatinya (eciyee…).

Saya suka selipan-selipan nasihat yang sekaligus dibungkus lelucon dan kejenakaan dari penulis. Jadi gak bikin kita merasa dinasihati secara langsung. Dan nasihat utamanya ini yang tersurat emang benar, begitulah seharusnya mahasiswa, masa-masa kuliah jangan dipakai untuk sibuk nyari pacar dan pacaran, tetapi dipakai sebanyak-banyaknya untuk belajar, bertumbuh, berjuang, mencari pengalaman, menikmati kesempatan masa muda yang indah, sampai pada akhirnya siap untuk melesat membangun keluarga, bahkan bangsa.

Bodoran-bodoran Kang Adhit masih seperti yang dulu, ringan dan konyol, khas. Saya dulu sampai berandai-andai kalau bikin novel ingin yang lucunya genuine seperti tulisan Kang Adhit. Cuma sayangnya sampai sekarang belom kesampaian deh itu naskah, haha.

Anyway, buku ini recommended untuk anak muda dan orang tua. Ada nilai-nilai dan pelajaran yang bisa kita petik dari komedi cinta di Medium Ugly ini.

2 thoughts on “Medium Ugly – Adhitya Mulya (book review)”

  1. setuju bgt Mbak! baca buku ini sangat nostalgic — dari segi keinget novel2 ringan zaman dulu, juga kehidupan perkuliahan di ITB. ada satu lg buku Adhitya Mulya yang kubaca, Si Paling Aktor. itu bodor juga, dan mau difilmin. tapi, lebih ngena di Medium Ugly ini, mungkin karena dekat yah ceritanya.

Leave a reply to anishamr Cancel reply