Catatan Hati, Catatan Kajian

Sirah Salahuddin Al-Ayyubi


Saya merangkum sirah mengenai Salahuddin Al Ayubbi versi singkat, Sang Pembebas Baitul Maqdis. Materi ini saya sampaikan di forum lingkaran rutin kami. Kisah ini saya dengar dari ceramah Ustadz Felix Siauw, Ustadz Yasir Qadhi, dan tentunya googling untuk memperjelas informasi yang lebih detail.

Dengan mengenal sirah Nabawiyah, sahabat-sahabat, dan para pejuang muslim dahulu, kita bisa belajar banyak. Bagaimana kita bisa bercermin untuk kondisi sekarang. Saat dunia sedang bergejolak dan Global Sumud Flotilla sedang berlayar dalam misinya ke Gaza. Apa refleksi apa yang bisa kita lakukan, tentunya dibarengi dengan aksi nyata. Bismillah semoga bermanfaat.

Latar Belakang dan Kelahiran

Ṣalāḥ ad-Dīn Yūsuf ibn Ayyūb, lebih dikenal sebagai Salahuddin Al-Ayyubi, lahir pada tahun 1137/1138 M di Tikrit, Irak. Ia berasal dari keluarga Kurdi, sebuah etnis besar di Timur Tengah yang mendiami wilayah yang kini terbagi di Iran, Irak, Suriah, dan Turki. Ayahnya, Najmuddin Ayyub, adalah seorang pejabat yang bekerja di bawah pemerintahan Dinasti Zengid, bawahan dari Kesultanan Seljuk. Pada saat itu pemerintahannya di bawah Sultan Imaddudin Zangi

Ketika Salahuddin lahir, ayah dan pamannya sedang mengalami kesulitan politik hingga harus meninggalkan kota kelahirannya. Masa kecil Salahuddin tidak begitu menonjol; ia tumbuh sebagai anak biasa dengan tugas sehari-hari yang sederhana. Namun, ia dikenal sebagai anak yang cerdas, religius, dan memiliki ketertarikan pada ilmu agama (mazhab Syafi’i), selain minat terhadap ilmu militer. Baru ketika mengabdi pada Sultan Nuruddin Zangi, prestasi militernya mulai terlihat.

Kondisi Zaman Sebelum Lahirnya Salahuddin

Pada masa itu, dunia Islam sedang berada dalam kondisi terpecah belah. Dinasti Abbasiyah masih memimpin, namun kekuatan politik dan militer mereka melemah. Wilayah-wilayah Islam dikuasai oleh penguasa-penguasa kecil yang sering berselisih, sementara para ulama pun terpecah dalam perbedaan mazhab, khususnya antara Syafi’i dan Hambali.

Di sisi lain, Eropa Barat melalui gereja dan kerajaan-kerajaan Kristen melancarkan Perang Salib sejak akhir abad ke-11. Paus Urbanus II menjadi pencetus perang ini, dengan dalih membebaskan Yerusalem (Baitul Maqdis) dari tangan Muslim. Namun, motif sebenarnya juga terkait dengan perebutan jalur perdagangan di Mediterania, kekayaan, dan sumber daya Timur Tengah.

Pada tahun 1099, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib. Ribuan penduduk Muslim, Yahudi, bahkan sebagian Kristen Timur dibantai dengan kejam. Padahal, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (634–644 M), Baitul Maqdis dikelola dengan damai dan memberikan kebebasan beragama. Kondisi inilah yang mendorong munculnya tokoh-tokoh Muslim seperti Imaduddin Zangi, Nuruddin Zangi, hingga Salahuddin untuk berjuang merebut kembali kota suci itu.

Pendidikan dan Pembimbing

Tiga orang berperan besar dalam membentuk kepribadian dan kemampuan Salahuddin:

  1. Najmuddin Ayyub (ayahnya) → mengajarkan administrasi pemerintahan dan nilai-nilai agama.
  2. Asaduddin Syirkuh (pamannya) → seorang panglima perang, dari dialah Salahuddin belajar strategi militer dan semangat jihad.
  3. Nuruddin Mahmud Zangi (mentornya) → Sultan Dinasti Zengid, teladan dalam kepemimpinan, keadilan, dan jihad melawan pasukan Salib.

Karier Militer dan Politik

1. Berguru pada Nuruddin Zangi

Salahuddin muda memulai kariernya sebagai prajurit di bawah bimbingan Nuruddin. Ia belajar strategi perang, kepemimpinan, dan politik.

2. Ekspedisi ke Mesir

Pada 1164 M, Salahuddin ikut serta dalam ekspedisi militer ke Mesir bersama pamannya, Asaduddin Syirkuh. Setelah Syirkuh wafat pada 1169 M, Salahuddin diangkat menjadi wazir (perdana menteri) oleh Khalifah Fatimiyah di Kairo.

3. Mengakhiri Dinasti Fatimiyah

Pada 1171 M, Salahuddin menghapus kekuasaan Dinasti Fatimiyah (Syiah) dan mengembalikan Mesir ke dalam naungan Khilafah Abbasiyah (Sunni). Dari sinilah berdiri Dinasti Ayyubiyah, yang dipimpin Salahuddin.

Persiapan dan Pembebasan Baitul Maqdis

Salahuddin menyadari bahwa untuk menghadapi pasukan Salib, dunia Islam harus dipersatukan. Ia menyatukan Mesir, Suriah, Hijaz, hingga sebagian Mesopotamia. Persiapan militer dilakukan dengan membangun benteng, memperkuat perbatasan, menyiapkan pasukan, kapal perang, rumah sakit, dan suplai obat-obatan.

Pertempuran Hattin (1187 M)

Puncak jihad Salahuddin terjadi pada 4 Juli 1187, dalam Pertempuran Hattin di Palestina Utara. Pasukan Salib dihancurkan, dan raja Baitul Maqdis Guy de Lusignan ditawan. Kemenangan ini membuka jalan menuju Baitul Maqdis.

Pembebasan Baitul Maqdis (1187 M)

  • 20 September – 2 Oktober 1187: Baitul Maqdis dikepung selama 13 hari.
  • 2 Oktober 1187: Baitul Maqdis dibebaskan oleh pasukan Salahuddin.
    Berbeda dengan pasukan Salib yang melakukan pembantaian pada 1099, Salahuddin menunjukkan sikap penuh toleransi. Penduduk Kristen diberikan jaminan keamanan, sebagian diizinkan pergi dengan damai. Sikap ini membuatnya dikenang sebagai pemimpin yang adil, berakhlak mulia, dan penuh kasih sayang bahkan terhadap musuh.

Jika dihitung dari awal memimpin Mesir (1169) hingga pembebasan Baitul Maqdis (1187), perjuangan itu memakan waktu 18 tahun. Namun, pengepungan Baitul Maqdis sendiri hanya berlangsung 13 hari.

Akhir Hayat

Salahuddin wafat pada 4 Maret 1193 M di Damaskus. Meski seorang penguasa besar yang memimpin wilayah luas dari Asia hingga Afrika, ia meninggal dalam keadaan sederhana. Hartanya hanya tersisa 1 dinar dan 36 dirham, tanpa meninggalkan tanah, kebun, atau kekayaan pribadi. Hampir seluruh hartanya diinfakkan untuk jihad dan kepentingan rakyat.

Pemakamannya digambarkan seperti pemakaman para nabi. Muslim maupun non-Muslim, miskin maupun kaya, semua mencintai dan menghormatinya. Salahuddin dimakamkan bersama pedangnya, sebagai simbol bahwa di akhirat ia akan dikenal sebagai pembebas Baitul Maqdis.

Hikmah

Salahuddin Al-Ayyubi adalah teladan kepemimpinan Islam: seorang panglima yang cerdas, pemersatu umat, dan penguasa yang adil. Ia tidak hanya dikenal karena keberhasilan militernya, tetapi juga karena akhlaknya yang luhur dan pengorbanannya demi kejayaan Islam. Hikmah yang bisa kita petik antara lain:

  1. Salahuddin Al-Ayyubi bukan berasal dari keluarga sultan atau bangsawan. Ia lahir dari keluarga biasa—ayahnya hanya seorang pejabat di pemerintahan Seljuk. Masa kecil hingga mudanya pun tidak banyak yang menyorotinya sebagai sosok istimewa. Namun, ada dua hal besar yang membentuk dirinya: passion dan resilience (ketangguhan).
  2. Pentingnya memiliki mentor dan role model yang tepat untuk menumbuhkan potensi. Kemampuan dan keuletan Salahudin dipelajari dari mentornya (Sultan Nuruddin) dan pamannya (Asaduddin Syirkuh), baik dalam hal politik maupun militer.
  3. Ketika diberi amanah, Shalahuddin menggunakan privilese kekuasaan bukan untuk kepentingan diri atau keluarganya, melainkan untuk kebenaran. Atas perintah Dinasti Abbasiyah, ia diangkat sebagai wazir di Mesir. Perlahan ia menghapus pengaruh Syiah, mengembalikan masyarakat pada ajaran Islam yang lurus. Lalu ia menyatukan Mesir, Suriah, Hijaz, hingga sebagian Irak, demi menghadapi pasukan Salib. Puncaknya, ia berhasil membebaskan Baitul Maqdis.
  4. Dari perjalanan hidupnya kita belajar menghargai proses. Tidak ada hasil besar yang instan—semuanya butuh waktu, strategi, dan keteguhan.
  5. Hidupnya juga menjadi teladan kesederhanaan. Meski menguasai wilayah luas dan menjadi penguasa besar, ketika wafat ia tidak meninggalkan banyak harta. Warisannya yang paling berharga adalah teladan kepemimpinan, perjuangan, dan keteguhan iman.

Leave a comment